- Randy Wirayudha
- 15 Mei
- 5 menit membaca
GENCATAN senjata jadi lema yang bikin alergi zionis Israel. Terlepas dari pembebasan Edan Alexander, tawanan berkewarganegaraan ganda Israel-Amerika Serikat, pada Senin (12/5/2025), Israel masih membabi-buta membunuhi warga sipil Palestina dengan pembiaran oleh dunia internasional. Tidak hanya dengan senjata tapi juga dengan blokade yang mengakibatkan bencana kelaparan di Jalur Gaza.
Setelah gencatan senjata selama dua bulan, sejak awal Maret silam Israel memblokade semua jalur –baik darat, laut, dan udara– bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza selama lebih dari 70 hari. Padahal, gudang-gudang logistik World Food Programme (WFP) dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pengungsi Palestina UNRWA kian menipis stoknya, sementara ribuan truk bantuan kemanusiaan masih tertahan di perbatasan Mesir-Israel dan Yordania-Israel.
Ancaman bencana kelaparan pun mengintai sekitar 2,1 juta populasi Gaza yang hampir setengahnya adalah anak-anak. Menukil laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) pada Senin (12/5/2025), sekitar 470 ribu dari 2,1 jiwa sudah masuk klasifikasi “Fase 5 – bencana” dan mengancam sekitar 71 ribu anak-anak dalam krisis kekurangan gizi akut.
Mirisnya, para petinggi Israel sejak sebulan lalu tak malu-malu menggunakan bencana kelaparan sebagai senjata ketika belum juga sanggup mematahkan perlawanan pejuang Hamas. Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-menyatakan bahwa selama para tawanan mereka masih ada di terowongan-terowongan di Gaza, tidak ada alasan satu gram pun makanan atau bantuan masuk untuk warga sipil di sana.
“Penghentian bantuan kemanusiaan adalah salah satu alat untuk menekan Hamas. Kembalinya bantuan ke Gaza sebelum Hamas bertekuk lutut dan pembebasan semua tawanan kami akan jadi kesalahan historis,” tegas Ben-Gvir, dikutip The New York Times, 16 April 2025.
Kebijakan Israel tak hanya bikin gusar Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Pembangunan Internasional Norwegia Åsmund Aukrust tapi juga berbagai pihak lain, termasuk PBB. Pasalnya blokade Israel juga sempat menimbulkan insiden dengan para aktivis kemanusiaan yang mencoba menembus blokade laut. Kapal Conscience mereka yang berlayar melintasi Laut Mediterania dengan membawa bantuan kemanusiaan pada 2 Mei 2025 lalu justru diserang misil-misil yang ditembakkan dari sejumlah drone Israel di perairan Malta. Sinyal darurat SOS kapal itu sempat diabaikan militer Malta dan situasi pelik itu baru berakhir ketika datang pertolongan dari Siprus.
Sudah sejak Desember 2023 silam Afrika Selatan menuntut Israel atas kejahatan perang yang salah satunya dengan menggunakan kelaparan sebagai senjata perang menuju genosida. Kala itu Afrika Selatan menyeret Israel ke International Court of Justice (ICJ). Setahun berselang, International Criminal Court merilis perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas blokade akses makanan, air, bahan bakar, listrik, dan obat-obatan.
“Kelaparan menyebarluas dan orang-orang kelelahan, mereka kelaparan. Kita bisa menantikan dalam pekan-pekan ke depan banyak yang akan meninggal jika tidak ada bantuan yang datang. Korban jiwa takkan berjatuhan karena pemboman tapi karena kekurangan makanan. Ini sama saja mempersenjatai bantuan kemanusiaan. Tidak diragukan lagi (Israel gunakan kelaparan sebagai senjata perang), bahwa kita bisa saksikan selama 19 bulan terakhir, khususnya dua bulan ini. Itu adalah kejahatan perang. Perhitungan hukum akan datang dari ICJ, bukan dari saya tapi yang bisa saya katakan adalah, apa yang kami lihat dan amati, makanan dan bantuan kemanusiaan jelas-jelas digunakan untuk mencapai tujuan politik dan militer dalam konteks Gaza,” ujar Komisioner-Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini kepada BBC, Selasa (13/5/2025).

Bencana Kelaparan di Leningrad hingga Biafra
Bencana kelaparan yang terjadi akibat konflik dan peperangan sudah terjadi sejak umat manusia mengobarkan perang berabad-abad lampau. Namun dalam konteks menggunakannya sebagai senjata untuk mencapai tujuan dan militer, pernah terjadi dalam Pengepungan Leningrad oleh pasukan Jerman-Nazi di Perang Dunia II.
Menurut David Glantz dalam The Siege of Leningrad, 1941-44: 900 Days of Terror, Pengepungan Leningrad (8 September 1941-27 Januari 1944) berlangsung ketika Jerman berambisi merebut kota Leningrad (kini St. Petersburg) lewat Operasi Barbarossa. Ada tiga motif utama dalam pengepungan itu: politik, sebagai bekas ibukota Kekaisaran Rusia dan simbol pusat Revolusi Bolshevik yang dibenci Nazi; ekonomi, karena perindustrian Leningrad menyumbang 11 persen perekonomian Uni Soviet; dan militer, karena Leningrad jadi pangkalan utama Armada Baltik Angkatan Laut Soviet. Maka Adolf Hitler punya ekspektasi besar agar pasukan bajanya bisa merebutnya.
Pasukan Jerman dari Grup Angkatan Darat (AD) Utara (Heeresgruppe Nord) pimpinan Marsekal Wilhelm Ritter von Leeb mengerahkan 26 divisi untuk pengepungan Leningrad dari berbagai arah, termasuk memblokade Danau Ladoga dan Teluk Finlandia. Marsekal Von Leeb dibantu tiga korps Pasukan Pertahanan Finlandia di bawah Marsekal Carl Gustaf Emil Mannerheim, satu skadron Regia Marina (Angkatan Laut/AL Italia) di bawah Kolonel Giuseppe Bianchini, dan satu divisi pasukan sukarelawan Spanyol Divisi Infantri ke-250 “División Azul” pimpinan Jenderal Esteban Infantes.
Sementara, pertahanan kota Leningrad yang berpopulasi sekitar 3,4 juta jiwa itu tidak hanya bertumpu pada para milisi sipil. Di dalam kota juga diatur kubu-kubu pertahanan Tentara Merah dari 20 divisi pasukan Front Utara pimpinan Letjen Markian Popov.
“Pertahanan Leningrad menghadapi pasukan militer terbaik, paling terlatih, dan paling teruji di dunia saat itu. Hitler dengan cermat memberi urutan perintah (pada Agustus 1941, red.), ‘Leningrad yang utama, Lembah Donetsk kedua, baru setelah itu Moskow.’ Dalam konteks geografis, artinya apa yang terjadi antara Samudera Arktik dan Danau Ilmen adalah bagian rencana Jerman untuk mengepung Leningrad. Ketika pasukan Finlandia memutus jalur kereta ke Leningrad, pengiriman bantuan senjata Amerika dan suplai makanan dari Inggris ke Leningrad akan terputus pula,” tulis buku World War II Leningrad: A History from Beginning to End.
Terlepas dari serangkaian baku tembak, pasukan Soviet berupaya ekstra keras menembus blokade, setidaknya di Danau Ladoga. Dari jalur air inilah beberapa kali evakuasi bisa dilakukan untuk membawa keluar lebih dari 1,7 juta warga sipil dengan lebih dari 414 ribu di antaranya anak-anak. Pasalnya terancam senjata-senjata Jerman, warga sipil itu diintai bencana kelaparan.
“Sayangnya untuk menggembar-gemborkan pertahanan heroik, media massa (Soviet) justru menonjolkan ancaman peluru dan bom-bom Jerman, bukan korban-korban tewas akibat kelaparan. Di Leningrad sendiri kelaparan mulai meluas pada akhir 1941 namun media-media lokal tidak menyebutkan lema golod (bencana kelaparan). Padahal korban tewas karena kelaparan memuncak pada awal Desember (1941),” ungkap Lisa A. Kirschenbaum dalam The Legacy of the Siege of Leningrad, 1941-1995: Myth, Memories, Monuments.
Saat musim dingin tiba, hanya tersedia 125 gram roti per hari untuk setiap warga sipil. Laporan-laporan NKVD (polisi rahasia Soviet) bahkan menyebut adanya kasus-kasus kanibalisme sepanjang musim dingin 1941-1942 saking tiadanya suplai makanan. Ketika akhirnya pasukan bantuan Soviet dari Front Baltik ke-2 datang mulai Januari 1944, korban tewas akibat kelaparan sudah mencapai 1,6-2 juta jiwa baik sipil maupun militer.

Hal serupa juga terjadi dalam Perang Biafra atau Perang Saudara Nigeria (6 Juli 1967-15 Januari 1970). Perang itu pecah akibat konflik anti-etnis Ibo dan berdirinya Republik Biafra, yang kemudian memicu pemimpin negara federal Nigeria Jenderal Yakubu Gowon mengerahkan militernya ke area-area etnis Ibo di Biafra.
Meski mengalami keterbatasan kekuatan militer, Jenderal Gowon menetapkan blokade ketat di darat dan laut sepanjang 320 kilometer garis pantai dengan kapal-kapal AL dan pesawat-pesawat Angkatan Udara (AU) Nigeria sejak pekan-pekan pertama perang saudara. Pemerintah federal memutus semua suplai logistik di pelabuhan-pelabuhan dan bandara, termasuk suplai pos, telekomunikasi, hingga mata uang. Mereka juga tidak mengizinkan pengiriman bantuan internasional berupa obat-obatan dan makanan.
“Semua itu wajar dalam perang dan kepalaran adalah salah satu senjata perang. Saya tak melihat alasan kenapa kami harus memberi makan pada musuh kami yang akan membuat mereka melawan lebih keras,” ujar Wakil Ketua Dewan Eksekutif Federal dan Komisioner Keuangan Nigeria Obafemi Awolowo,” dikutip Obinna Chukwunenye Nweke dalam artikel “Hunger as a weapon of war: Biafra, social media and the politics of famine rememberance” di Jurnal Third World Quarterly, Volume 45 tahun 2024.
Secara teknis, militer Republik Biafra yang berkekuatan sekitar 100 ribu prajurit memang tak sebanding dengan militer pemerintah federal dengan 250 ribu personelnya. Maka kemenangan pemerintah federal sekaligus menandai lenyapnya Republik Biafra berikut sekitar 100 ribu personel militernya tewas. Tercatat antara 500 ribu hingga 2 juta warga sipil Biafra tewas dalam bencana kelaparan akibat blokade dan antara 2-4 juta warga lainnya jadi tunawisma.*
Comments