- Petrik Matanasi
- 12 Mei
- 2 menit membaca
SEMUA tahu, Tanah Abang daerah basah meski kawasan niaga ini sudah uzur. Perang antarkelompok preman di kawasan niaga ini sudah tentu telah ada sejak lama. Sebagian orang masih ingat, sekitar 1996 kelompok Hercules dikalahkan kelompok Bang Ucu di Tanah Abang.
Kejadian perang antar-gangster seperti itu pernah ada juga di tahun 1936. Ketika itu, istilah “gangster” baru populer karena film-film Hollywood, sementara istilah “preman” belum dipakai seperti sekarang –preman saat itu masih digunakan untuk menamakan orang umum non-formal.
Di Tanah Abang kala itu, ada jagoan yang amat ditakuti. Namanya Salihoen. Bataviaasch Courant tanggal 22 April 1936 menyebut, Salihoen tak hanya ditakuti tapi suka menarik pajak kepada para supir taksi yang besarannya adalah 5 sen per orang per hari. Uang 5 sen, menurut Probosutedjo dDalam memoarnya yang disusun Alberthiene Endah, Saya dan Mas Harto, di era 1930-an dengan bisa membeli satu kilogram beras. Jika Salihoen bisa memalak 10 atau 20 supir saban hari, tentu dia bisa lebih dari sekadar makan kenyang tiap harinya.
Salihoen punya aturan keras. Pukulan keras adalah harga yang diberikan Salihoen kepada orang yang menentang kebijakannya sebagai gangster alias preman di Tanah Abang. Tak bayar lima sen berarti akan dipukul Salihoen. De Indisch Courant tanggal 23 April 1936 mengisahkan: suatu hari seseorang anak muda bernama Abdul Rachman menolak untuk menyerahkan lima sen. Salihoen memberi pengingat kepada Abdul Rachman dengan sebuah pukulan di wajah.
Mengetahui Abdul Rachman dipukul Salihoen, Amat bin Peni yang merupakan paman Abdul Rahman tidak terima. Bagi sang paman, itu adalah pelecehan harga dirinya sebagai gangster pula. Salihoen pun dicarinya.
Bersama sepupunya bernama Apas, Amat langsung mencari Salihoen di Tanah Abang. Di pasar Tanah Abang, Salihoen pun berhasil ditemukan. Amat pun langsung menuntut pertanggungjawaban Salihoen atas penganiayaan terhadap keponakannya.
Salihoen menanggapinya sebagai gangster lokal. Dia mengeluarkan parang. Amat yang tidak takut, merespon sama. Kontak fisik pun terjadi antara Amat dan Apas melawan Salihoen. Amat berhasil merebut senjata Salihoen. Peran Apas adalah memegangi Salihoen dari belakang. Salihoen mendapat empat hantaman keras hingga jatuh ke tanah. Amat menyerang lagi hingga pergelangan kedua kaki Salihoen luka parah.
Setelahnya, polisi menangkap Amat dan Apas. Sementara, Salihoen sudah pindah ke alam lain setelah perkelahian itu. Kepada polisi Amat mengaku tak ingat apapun setelah merebut parang Salihoen. Amat seolah dirasuki hingga parang di tangannya melayang-layang ke arah Salihoen. Amat juga mengaku dirinya langsung menyerahkan diri ke polisi setelah kejadian. Sementara, kepada polisi Apas mengaku sempat ingin mencegah perkelahian.
Namun, pengakuan Amat dan Apas itu berlainan dari keterangan Istri Salihoen. Menurutnya, 10 tahun sebelum kejadian (pemalakan berujung pemukulan Abdul Rachman) itu pernah terjadi perkelahian antara Amat dan Salihoen. Tampaknya Amat kalah dan Salihoen keluar sebagai pemenang. Maka penarikan “pajak” dilakukan oleh Salihoen. Dalam dunia bawah atau dunia hitam, “pajak” ditarik oleh pemenang. Maka, dalam kasus duel yang berujung tewasnya Salihoen, istri Salihoen menyebutnya Amat sedang membalas dendam kepada suaminya.
Kasus perkelahan yang berujung kematian Salihoen itu menarik perhatian banyak orang, termasuk perwira polisi kolonial yang orang Belanda. Ini karena Salihoen bukan orang sembarangan di Tanah Abang. Salihoen semasa berkuasa di sana ibarat hukum yang mengatur dan menengahi persengketaan di antara para supir yang dipalakinya.*
Comments