- Martin Sitompul
- 8 Mei
- 3 menit membaca
ADA pemandangan tak biasa di warung tegal (warteg) milik Suheti di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Biasanya pengunjung yang menyambangi warungnya hanyalah warga kelas biasa. Namun, hari itu, 24 Maret 1998, warungnya kedatangan sejumlah menteri.
“Ini isinya apa?” tanya Menteri Sosial Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut seraya menunjuk tumpukan nasi bungkus.
“Nasi, telur, dan sayur, Bu,” jawab Suheti ramah.
Mbak Tutut pun menyantap sajian nasi bungkus di warung nasi sederhana itu. Putri sulung Presiden Soeharto itu tak datang sendirian. Menurut Kompas, 25 Maret 1998, Mbak Tutut didampingi Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Kesehatan Farid A. Moeloek, Menteri Negara Peranan Wanita Tutty Alawiyah, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol.) Hamami Nata, dan Kasdam Jaya Brigjen TNI Sudi Silalahi. Kehadiran mereka dalam rangka sosialisasi sekaligus membagi-bagikan kupon makan gratis kepada masyarakat.
Kupon makan gratis yang digagas Mbak Tutut merupakan bagian dari Program Penanggulangan Dampak Sosial Krisis Moneter (PPDSKM). Memasuki 1998, Indonesia diguncang krisis ekonomi hebat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terjun bebas hingga level Rp15.000, yang di tahun sebelumnya hanya berkisar Rp2.300 per dolar. Keadaan itu menyebabkan banyak perusahan maupun bank jadi bangkrut diikuti dengan gelombang PHK di mana-mana. Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik. Sekadar untuk mencari makan saja orang-orang kesusahan. Begitulah suasana zaman yang terjadi pasa masa krisis moneter atau yang lebih dikenal dengan istilah “Krismon” itu.
Dalam rapat koordinasi lintas kementerian, Mbak Tutut menerangkan kupon makan gratis jadi solusi jangka pendek untuk mengatasi krisis moneter. Sementara solusi jangka panjangnya dengan mengupayakan penyediaan lapangan kerja bagi yang terkena PHK. Dana pengadaaan makan gratis lewat sistem kupon ini berasal dari pemotongan gaji presiden dan para menteri selama setahun. Selain itu, pihak swasta juga diundang berpartisipasi untuk menyumbang pembiayaan makan gratis.
Uji coba kupon makan gratis bermula di Jakarta dan sekitarnya. Secara teknis, dana makan gratis disalurkan dari gubernur ke walikota kemudian ke kelurahan. Dari keluarhan, dana tersebut disalurkan lagi ke warung makan yang ditunjuk untuk melayani penukaran kupon makan gratis. Sementara itu, pembagian kupon juga didistribusikan kelurahan melalui RT/RW kepada mereka yang terdampak krismon atau PHK. Secarik kupon dapat ditukar dengan sebungkus nasi berikut sayur dan lauk-pauk senilai Rp1.500.
Awalnya, orang-orang merasa terbantu dengan kehadiran kupon makan gratis. Walau dengan menu sederhana, mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan di tengah kesulitan ekonomi. Begitu juga dengan pemilik warung makan yang mendapat tambahan pemasukan setelah sebelumnya mengalami kelesuan akibat krismon. Pihak swasta yang masih mapan pun berdatangan untuk mendonorkan bantuan pembiayaan. Dari Jakarta, kupon makan gratis mulai dinikmati masyarakat daerah lain di Jawa.
Seperti yang terjadi di Surakarta, ketika Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) mengadakan makan gratis pada 13 April 1997. Para tukang becak berbondong-bondong menyerbu hajatan yang sedang menyediakan menu nasi soto berikut lauk tempe goreng dan kerupuk itu. Pengadaan makan gratis itu disponsori oleh pihak swasta, yaitu PT. Solo Citra Perkasa (SCP) selaku pengelola TSTJ. Sebanyak 500 kupon dibagikan kepada tukang becak yang tinggal di wilayah Kecamatan Jebres.
“Kupon itu tidak harus digunakan oleh tukang becak. Istri atau anaknya pun boleh menggunakan kupon untuk makan di sini,” kata Direktur PT. SCP Selo Budhiarso dikutip Solopos, 14 April 1998.
Program kupon makan gratis, menurut Arwan Tuti Artha, cukup melambungkan Mbak Tutut. Namanya begitu populer di kalangan pemulung, buruh pelabuhan, sopir bajaj dan taksi, serta tukang becak. Itu semua tak lain karena kupon makan gratis yang dia tebar di Jakarta sebagai bagian dari program PPDSKM. Begitulah pada awalnya.
Namun, pada kenyatannya kemudian, kupon makan gratis tak cukup ampuh menyelesaikan persoalan perut masyarakat. Setelah tiga bulan berjalan, muncul banyak keluhan maupun penyalahgunaan di lapangan. Dalam Kompas, 2 Juni 1998, proyek makan gratis lewat kupon membuat beberapa warung nasi merugi. Banyak orang yang tiba-tiba minta makan gratis mesti tidak memegang kupon tanda untuk diberi makan gratis. Sementara itu, orang yang seharusnya bisa makan dengan kupon malah jatahnya diserobot oleh orang lain.
“Ada yang ngeloyor begitu saja setelah makan, tanpa mau bayar. Bahkan ada warung yang tidak ditunjuk untuk melayani makan gratis pun didatangi banyak orang yang minta makan gratis, dengan alasan kena pemutusan hubungan kerja (PHK),” lansir Kompas.
Eep Saefulloh Fatah dalam kumpulan opininya Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi Awal Demokrasi, menyebut program kupon makan gratis ini sebagai “paradigma salah garuk”. Ibaratnya, menggaruk pantat ketika kening gatal. Menurutnya krisis moneter yang memiliki akar sangat sistemik dan struktural tak cukup dipecahkan ala kupon dan warteg. Tak hanya memberi ikan tanpa kail, melainkan juga menggiring publik untuk memahami akar masalah krisis moneter secara salah.
“Dan krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan sejak tengah tahun hingga sekarang, membuktikan bahwa cara kerja macam itu makin lama makin sia-sia,” catat Eep dalam Republika, 5 April 1998 yang termuat dalam kumpulan opininya.
Karena kurang efektif dan rawan terjadi pelanggaran di lapangan, program kupon makan gratis pun dihentikan. Sementara itu, solusi jangka panjang yang sempat dijanjikan tak sempat terealisasi. Sebab, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur diikuti dengan jajaran menteri Kabinet VII yang menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru.*
Kommentare