top of page

Sejarah Indonesia

Perempuan Korban Kerusuhan Mei 1998

Sejumlah perempuan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Hal ini mendorong aktivisme memperjuangkan keadilan bagi korban dan awal terbentuknya Komnas Perempuan.

Oleh :
14 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sejumlah aktivis menggelar unjuk rasa untuk menuntut perlindungan terhadap saksi dan korban kekerasan. (Carla Bianpoen/Repro Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan).

LEBIH dari dua dekade telah berlalu, namun ingatan tentang kerusuhan Mei 1998 masih membekas dalam memori orang Indonesia. Serangan terhadap kelompok minoritas Tionghoa hingga kelompok miskin kota, tak hanya menghancurkan berbagai bangunan, tetapi juga menyebabkan kematian ribuan orang. Sementara beberapa orang lainnya terluka dan menjadi sasaran kejahatan seksual.


Dimulai pada akhir 1997 dan awal 1998, ketika krisis ekonomi mulai berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat, tuntutan gerakan pro-demokrasi semakin kencang. Gerakan perubahan ini mencapai puncaknya pada pertengahan Mei 1998. Sejarawan Katharine E. McGregor mencatat dalam Systemic Silencing: Activism, Memory, and Sexual Violence in Indonesia, dari tanggal 12 hingga 14 Mei, serangkaian penembakan oleh aparat keamanan yang menyasar para demonstran mahasiswa, kerusuhan di kota-kota besar yang menghancurkan toko-toko dan berakibat tewasnya banyak orang, serta pemerkosaan terhadap sejumlah wanita keturunan Tionghoa mengubah Indonesia secara menyeluruh.


“Sifat dari kekerasan tersebut menyebabkan sorotan yang begitu besar terhadap polisi dan militer yang dianggap tak berbuat banyak selama kerusuhan, dan yang paling buruk, memainkan peran kunci dalam kekerasan itu sendiri. Terungkapnya kekerasan seksual terhadap perempuan keturunan Tionghoa mendorong para aktivis hak-hak perempuan utnuk menyuarakan protes keras terhadap kekerasan seksual secara umum dan menuntut pertanggungjawaban atas pemerkosaan pada Mei 1998,” tulis McGregor.


Kecurigaan bahwa kerusuhan itu telah dipersiapkan bukan tanpa alasan. Menurut Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, dalam kasus-kasus kekerasan massal yang terjadi di berbagai kota, para saksi melaporkan adanya kelompok-kelompok pria terorganisir yang bertindak atas perintah. Mereka juga melaporkan adanya kelompok besar pria, wanita, dan anak-anak dari segala usia yang mengambil keuntungan dari situasi tidak terkendali untuk menjarah barang-barang dari toko-toko dan pusat perbelanjaan. Sementara pasukan keamanan tidak ada atau tidak aktif.


“Insiden kekerasan terjadi hampir secara bersamaan di seluruh kota. Sedikitnya seribu orang tewas dalam kebakaran di pusat-pusat perbelanjaan, terutama di Klender dan Jatinegara di bagian timur Jakarta. Kekerasan melanda sebagian besar kota dari Glodok, kawasan pecinan Jakarta, di mana area komersial utama, termasuk pusat perbelanjaan, toko-toko elektronik, dan pasar tradisional, mengalami kerusakan parah. Dari Tanjung Priok di utara dan Tangerang di barat, hingga Kebayoran dan sekitarnya di selatan, ribuan toko, ruko, mal, dan tempat parkir hancur. Sebagian properti yang menjadi sasaran milik keturunan Tionghoa,” tulis Purdey.


Kekerasan itu jarang sekali dihentikan oleh aparat keamanan. Para saksi dan korban menceritakan bahwa mereka berusaha meminta bantuan polisi namun tidak berhasil. Ketika polisi membubarkan para penjarah, mereka segera kembali lagi. Di kawasan niaga Glodok yang menjual barang-barang elektronik, pemilik beberapa toko yang dapat menyelamatkan diri dan barang-barangnya dari penjarah mengaku membayar preman untuk melindungi mereka, meski hal ini tidak selalu menjadi jaminan.


Insiden-insiden kekerasan seksual dan pemerkosaan terungkap dalam beberapa hari dan minggu setelah kekerasan terjadi. Para perempuan, kebanyakan etnis Tionghoa, tetapi juga penduduk lokal dan warga negara asing, diserang di jalan-jalan dan rumah mereka oleh gerombolan laki-laki. Penyerangan ini terjadi di seluruh kota, terutama di Jakarta Barat dan Utara, yang memiliki jumlah penduduk Tionghoa yang tinggi.


“Laporan yang dikumpulkan dari para korban pemerkosaan oleh Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TruK) dan kelompok-kelompok perempuan seperti Kalyanamitra merinci penyerangan yang brutal, sering kali dilakukan di depan anggota keluarga lainnya dan termasuk penyiksaan. Para saksi dan korban melaporkan bahwa para penyerang mereka meneriakkan slogan-slogan anti-Cina dan pelecehan lainnya. Pemerkosaan berlanjut setelah kekerasan mereda. Para korban dan keluarga mereka diperingatkan agar tidak melapor ke polisi dan diancam akan mengalami kekerasan lebih lanjut,” jelas Purdey.


Laporan kerusuhan Mei 1998, khususnya kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual, mengejutkan masyarakat dan menimbulkan reaksi beragam. McGregor mencatat, beberapa pejabat pemerintah menanggapi dengan defensif anggapan bahwa Indonesia dipermalukan di dunia internasional terkait kasus-kasus kejahatan seksual dalam kerusuhan Mei. “Jenderal Wiranto, yang kala itu menjabat sebagai Panglima TNI dan Menteri Pertahanan, berulang kali menyangkal bahwa pemerkosaan telah terjadi,” tulis McGregor.


Ada pula pihak yang berpandangan bahwa laporan pemerkosaan dan kejahatan seksual yang dialami sejumlah perempuan sengaja diembuskan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu.


Menurut Ariel Heryanto, dalam “Rape, Race, and Reporting”, termuat di Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, polemik ini pada akhirnya mengaburkan sorotan utama terhadap peristiwa ini, pertanyaan yang seharusnya mengarah pada siapa yang harus bertanggung jawab, cara yang tepat untuk menangani kasus ini, atau apa yang dapat dilakukan negara untuk membantu dan memberi keadilan bagi para korban justru terlupakan, karena yang ramai diperbincangkan justru apakah pemerkosaan benar-benar terjadi selama kerusuhan Mei 1998.

Polemik semakin memuncak karena sejumlah pihak meminta bukti atas kebenaran terjadinya pemerkosaan tersebut. Hal yang sulit dipenuhi karena kebanyakan korban pemerkosaan memilih untuk menyembunyikan penderitaan yang mereka alami. Di antara sedikit yang melakukannya, potensi ancaman stigmatisasi membayangi mereka.


“Kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, termasuk dalam kategori kekerasan yang sangat berbeda dengan kekerasan fisik yang bermotif politik. Indonesia di masa kontemporer telah menyaksikan dua insiden kekerasan politik yang dipublikasikan dengan baik yang menunjukkan perbedaannya dengan jelas... Luka-luka fisik yang dialami para aktivis korban penculikan di masa Orde Baru, di mana semuanya adalah laki-laki, dianggap sebagai tanda kepahlawanan politik. Luka-luka itu seakan menjadi tanda keberhasilan mereka bertahan hidup dari cobaan politik dalam memperjuangkan reformasi politik, ekonomi, dan mental yang sudah lama tertunda. Itulah yang membedakan mereka dengan para korban pemerkosaan,” jelas Heryanto.


Alasan dari perbedaan ini tidak berasal dari tubuh perempuan, tetapi dari nilai-nilai yang dikonstruksikan secara sosial dan historis yang diasosiasikan dengan tubuh perempuan. Dua kata yang biasa digunakan untuk mengekspresikan nilai-nilai tersebut adalah “keperawanan” dan “kesucian” perempuan. Selama berabad-abad, dunia yang didominasi oleh laki-laki menuntut perempuan untuk menjaga “kesuciannya” dengan hanya memiliki satu hubungan seksual dengan laki-laki yang menikahinya secara sah.


Akibatnya, dalam lingkungan masyarakat, pemerkosaan seringkali tidak dipandang sebagai serangan terhadap martabat perempuan, tetapi secara dangkal dianggap sebagai hilangnya “kesucian” seorang perempuan.


“Berbeda dengan aktivis yang disiksa, korban pemerkosaaan di seluruh masyarakat cenderung merendahkan diri, menderita rasa malu yang luar biasa, dan kehilangan harga diri, terlepas dari apakah orang lain meremehkan mereka atau tidak. Oleh karena itu, kasus-kasus individual pemerkosaan dan pemerkosa hanyalah bagian dari masalah. Menyalahkan atau menuntut pemerkosa saja tidak banyak membantu meringankan penderitaan korban pemerkosaan, atau mencegah kemungkinan terjadinya pemerkosaan,” tulis Heryanto.


Walau begitu, penyangkalan terhadap pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dialami sejumlah perempuan selama kerusuhan Mei 1998 tak mengendurkan semangat beberapa aktivis untuk mendampingi dan membantu para korban memperjuangkan keadilan bagi mereka. Kendati mendapat ancaman, aktivis-aktivis dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat dengan lantang menyerukan agar pemerintah mengambil sikap terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia.


Hasil dari upaya kolektif menekan Presiden B.J. Habibie untuk mengakui dan bertanggung jawab atas pemerkosaan Mei 1998 adalah terbentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dewi Anggraeni menulis dalam Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan didirikan dan diperkenalkan di hadapan anggota Kabinet Reformasi di Bina Graha pada 22 Juli 1998. Keputusan Presiden No. 181/1998 yang menurunkan mandat dan keanggotaan Komnas Perempuan baru keluar 15 Oktober 1998, setelah presiden turun tangan sendiri mengurai kesulitan birokratisnya. Komisi ini beranggotakan para akademisi, tenaga medis profesional, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan anggota lembaga negara.


“Lahir dari semangat, keyakinan, dan energi yang memancar dari Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kelompok yang terhimpun dari berbagai spektrum politik, dan melintasi beberapa generasi, Komnas Perempuan mewarisi potensi kapasitas yang luar biasa. Ia berwajah perempuan Indonesia universal, tidak berafiliasi dengan partai tertentu, golongan tertentu, usia tertentu, ataupun kelompok etnis tertentu. Ia merangkul semuanya. Tak hanya menyorot pada hak-hak asasi perempuan, tetapi juga memperjuangkannya di mana ada kelemahan pelaksanaannya,” tulis Anggraeni.


Setelah disahkan dengan Keputusan Presiden No. 181/1998, Komnas Perempuan mulai bekerja, mengadakan dialog publik, berbagai seminar dan workshop dengan tujuan memberi pencerahan kepada publik, menggugah kepekaan publik terhadap kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan.*

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
bottom of page