top of page

Sejarah Indonesia

Perjalanan Kapten Pahlawan Laut

Kapal ini mengantar para pejuang hingga kandas dan dibakar Belanda. Jauh setelah itu, dua penumpangnya yang sudah sukses tak melupakannya.

2 Januari 2024
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kapal Kapten Pahlawan Laut (Repro "Buletin Akademi Angkatan Laut" edisi 2)

Suatu hari di masa Perang Kemerdekaan sedang berkecamuk, di Pelabuhan Situbondo terdapat sebuah kapal yang sedang mengisi muatan dari Pulau Kalukalukuang. Perahu itu milik Hajah Siti Hawa.


Letnan M Amier melihat perahu itu dan mendatangi pemiliknya. Setelah sebuah pembicaraan, kapal milik Siti Hawa itu kemudian digunakan oleh Republik Indonesia.


“Perahu yang diserahkan oleh Haji Siti Hawa adalah jenis lete, dibuat pada tahun 1931 oleh Almarhum Haji Mochamad Thohir suami Haji Siti Hawa dengan nama asli Kapten Baru. Perahu yang mempunya daya muat 15-20 ton itu apabila untuk mengangkut orang bisa memuat 40-50 orang,” catat F Purwono dalam Perjalanan Kapten Pahlawan Laut.


Kala itu kapal ini dinahkodai Haji Puang Menda. Awak lainnya adalah: Ibnu Hadjar, N Idris, M Amin, Kunding, dan Nurdin.


Pada 28 Januari 1947, kapal tersebut meninggalkan Situbondo. Kapal berlayar dengan menangkut 36 anggota ekspedisi dan 7 awak. Komandan ekspedisi adalah Kapten Laut Hasan Rala. Meurut Abd Rachman Hamid dalam “Pelayaran Lintas Selat Makassar” di Jurnal Sejarah Abad Volume 2 Nomor 1, Juni 2018, kapal itu mengangkut 12 ton gula, 2 peti obat-obatan, 9 peti granat serta 45 pucuk senapan beserta amunisinya.


Kendati dihantam ombak di antara Pulau Raas dan Pulau Kalukalukuang, kapal itu tiba di Kalukalukuang sekitar 2 Februari 1947. Rehat sejenak, sekitar 13 Februari 1947 kapal tersebut berlayar lagi ke arah utara. Tiga hari kemudian, kapal Kapten Baru itu berlayar lagi.


“Satu hari kemudian akibat cuaca buruk, perahu kandas di Pantai Kampung Campae, Barru,” catat Abd Rachman Hamid.


Kapal kandas dan terjebak karang, padahal daratan Barru, Sulawesi Selatan tinggal 1 mil lagi. Mau tak mau para anggota ekspedisi keluar dari kapal dan berenang ke pantai secara bergelombong. Mereka kemudian mencapai Bukit Campae.


Keberedaan kapal itu akhirnya disatroni patroli laut Belanda. Kapal itu pun ditembaki. Abd Rachman Hamid mencatat, dalam usaha pendaratan itu 2 anggota ekspedisi terbunuh. Setelah peserta eksepedisi turun dari kapal, kapal patroli Belanda yang mencurigai kapal itu pun langsung membakarnya. Api membuat atapnya habis terbakar.


Kapal itu kemudian ditahan oleh aparat Belanda. Dengan dua kapal motor, kapal itu dibawa ke Pare-pare lalu ditambatkan ke Pantai Labukang. Selama tiga bulan kapal ini terlantar.


Haji Siti Hawa lalu meminta kepada otoritas Belanda untuk membebaskan kapal itu. Suami Siti Hawa, Mohammad Jafar, membantu mendapatkan perahu itu. Izin kemudian diberikan pihak Belanda. Setelah itu, kapal diperbaiki oleh Puang Menda lalu dibawa ke Pulau Kalukalukuang.


Belasan tahun kemudian, kapal itu dicari mantan penumpangnya. Adalah Kolonel Andi Abdul Rivai (1924-2001) yang –telah menjadi gubernur Sulawesi Selatan– pada 1964 mencarinya. Dia salah satu anggota ekspedisi yang menumpang kapal berbobot 15 ton itu pada masa Perang Kemerdekaan. Andi Rivai lalu meminta kapal tersebut untuk dimuseumkan. Oleh pemiliknya, kapal KaptenBaru pun diserahkan. Pada 14 Juni 1964, nama Kapten Baru diubah menjadi Kapten Pahlawan Laut.


Setelah 1966, penumpang lain yang juga menjadi anggota ekspedisi kapal Kapten Pahlawan Laut di era revolusi, Ahmad Lamo (1920-1996), juga menjadi gubernur Sulawesi Selatan. Di masa pemerintahannya, kapal Kapten Pahlawan Laut diserahkan ke Museum Angkatan Laut.


“Kapal Kapten Pahlawan Laut diserahkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Ahmad Lamo kepada KASAL Laksamana TNI RS. Subiyakto pada tanggal 4 Desember 1976 jam 12.30WIB di Museum TNI Angkatan Laut Bumimoro Surabaya,” tulis Buletin Akademi Angkatan Laut edisi 2, April 2021.


Baik Rivai maupun Lamo mencapai pangkat Jenderal di Angkatan Darat. Kapal Kapten Pahlawan Laut lalu dijadikan koleksi Museum Loka Jala Srana. Miniaturnya bahkan dibuatkan pada sebuah jembatan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep).

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
Misteri Sulap

Misteri Sulap

Berusia setua peradaban manusia, sulap pernah bersanding dengan sihir. Sulap modern masuk pada masa kolonial Belanda. Pesulap Indonesia umumnya keturunan Tionghoa.
bottom of page