top of page

Sejarah Indonesia

Pramoedya Ananta Toer Tentang Kota Jakarta

Pramoedya Ananta Toer Tentang Kota Jakarta

Pramoedya Ananta Toer membahas permasalahan kota Jakarta. Mengusulkan agar dibangun flat untuk warga kota agar bisa hidup layak.

Oleh :
4 Oktober 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pramoedya Ananta Toer. (ANRI).

“KAWAN, engkau sudah pernah dengar nama kampungku, bukan? Kebun Jahe Kober –500 meter garis lurus dari istana. Dan engkau pun sudah tahu juga, bukan? Got-gotnya diselubungi tai penduduk kampung.”


Itulah pembuka cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul “Kampungku” yang termuat dalam buku Cerita dari Jakarta.


Melalui “Kampungku”, Pramoedya mengabarkan kepada pembacanya tentang kehidupan warga kota Jakarta di sebuah kampung pada 1950-an. Tingkat kematian di kampung ini sangat tinggi. Ada saja orang mati setelah mengidap berbagai macam penyakit seperti tetanus, TBC, dan penyakit kotor.


Meski cerita tersebut fiksi, gambaran Pramoedya tentang persoalan kampung di Jakarta mendekati akurat. Dalam Kotapradja Djakarta Raya bikinan Kementerian Penerangan dan terbit pada 1952, tersua gambaran nyata tentang kehidupan kampung. Tak jauh berbeda dari gambaran dalam “Kampungku”.


Kotapradja Djakarta Raya memuat tingginya angka kematian, penularan penyakit, rendahnya fasilitas kesehatan, dan usaha-usaha pemerintah kota untuk memperbaiki kesehatan warga kampung di kota. Di dalamnya tersurat pula keterangan tentang penyakit khas warga kampung seperti TBC, Kolera, dan patek (frambusia).


Selain “Kampungku”, Pramoedya juga menulis cerita lainnya tentang permasalahan kota seperti urbanisasi wilayah kampung, migrasi dari desa ke kota, pengangguran, dan pelacuran. Semuanya termaktub dalam buku Cerita dari Jakarta. Dia menulis cerita itu sepanjang 1947–1956 ketika tinggal di Jakarta.


Kumpulan cerita bertema kota itu menunjukkan minat Pramoedya pada tetek bengek dan seluk-beluk masalah warga kota. Dia menggunakan sastra untuk menyampaikan kegundahannya terhadap masalah-masalah tersebut. Kemudian dia secara terbuka menyatakan gagasannya tentang kota lewat esainya, “Mari Mengubah Wajah Jakarta”.


Terbit dalam majalah Republik edisi 13 April 1957, esai Pramoedya menyoroti gagalnya pemerintah kotapraja dalam mewujudkan konsep kota ideal bagi warganya. Bagi Pramoedya, “Jakarta bukanlah kota dalam pengertian sosiologis dan ekonomis”.


Pramoedya menyebut Jakarta sebagai “tumbukan desa-desa dan kampung yang dipaksa berfungsi sebagai kota dalam segi-segi sosiologis dan ekonomis”. Dia mencontohkan tempat tinggal tak layak huni. Satu keluarga hidup berjejal dalam satu ruang sempit. Padahal menurutnya, tempat tinggal harus mempunyai ruang privat dan khusus bagi setiap anggota keluarganya. Pramoedya menyebutnya “garis minim akomodasi”.


Jika garis minim akomodasi itu tak terpenuhi, kehidupan keluarga akan kacau. “Kakek dan nenek kehilangan haknya untuk menempuh hidup tuanya dengan aman dan damai setelah puluhan tahun lamanya berjuang untuk penghidupannya,” catat Pramoedya.


Sementara anak-anak bakal kehilangan ruang bergerak untuk bermain di dalam rumah. Akibatnya, mereka merambah daerah di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan asasinya tersebut. Yaitu dengan bermain di jalan raya.


“Tumbuh tanpa kasih orang tua yang ditundung kesulitan perumahan ini, mereka pun kehilangan kasih terhadap orang tua dan lingkungannya,” sebut Pramoedya.


Dalam esainya, Pramoedya juga mengkritik pembangunan kotabaru Kebayoran. Tadinya kota ini diniatkan untuk memenuhi kebutuhan perumahan pegawai kecil. Tapi nyatanya pembangunan itu justru merugikan orang tempatan di sekitar kotabaru tersebut. Bahkan Pramoedya menyebut ada indikasi korupsi dalam pembangunannya.


“Memendekkan tinggi rumah-rumah batu dengan satu batu, serta mengganti eternitnya dengan kacang merah,” ungkap Pramoedya.


Pramoedya mengajukan solusi atas masalah hunian ini. “Aku sendiri lebih setuju, bila kota tumbuhan ini terdiri atas gedung-gedung flat dari dua atau tiga tingkat,” kata Pramoedya. Masing-masing tingkat terbagi atas ruang makan, dapur, ruang tidur, dan tempat kerja.


Pembangunan flat juga hendaknya menyertai kebutuhan taman bermain untuk anak-anak. “Dan jangan pula dilupakan kepentingan kanak-kanak yang selama ini jarang sekali teringat: kebun kanak-kanak, perpustakaan kanak-kanak, tempat kanak-kanak berhimpun –agar kanak-kanak ini tumbuh menjadi dewasa melalui masa anak-anak yang sesungguhnya,” kata Pramoedya.


Usul Pramoedya ini sejalan dengan rencana Sudiro, walikota Jakarta 1953–1959, untuk membangun flat. Tapi rencana ini terbentur oleh protes anggota Dewan Perwakilan Kota Sementara. Baru pada 1980-an, flat pertama, atau disebut rumah susun (rusun) untuk warga jelata dibangun di Jakarta.*

Yorumlar

5 üzerinden 0 yıldız
Henüz hiç puanlama yok

Puanlama ekleyin
WR Supratman Tutup Usia di Rumah Kakaknya

WR Supratman Tutup Usia di Rumah Kakaknya

Rumah antik di Jalan Mangga Surabaya ini saksi bisu mangkatnya W.R. Supratman sang penggubah "Indonesia Raya".
Benteng Pendem Van Den Bosch

Benteng Pendem Van Den Bosch

Penggagas tanam paksa, Johannes Graaf van den Bosch diabadikan namanya dalam sebuah benteng di Ngawi, Jawa Timur. Benteng ini dijadikan pusat pertahanan Belanda pada masa kolonial.
Kerusuhan Rasial Terhadap Tionghoa

Kerusuhan Rasial Terhadap Tionghoa

Sejarah mencatat betapa kerusuhan rasial terhadap Tionghoa bak api dalam sekam.
Amat “Kocolan”, Jagoan Betawi yang Selicin Ikan Gabus

Amat “Kocolan”, Jagoan Betawi yang Selicin Ikan Gabus

Dulu, di Batavia harga nyawa seseorang setara 15 gulden. Segitulah harga yang dipatok Amat "Kocolan" salah satu jago untuk urusan menghilangkan nyawa.
Gegara Perkara Lima Sen, Jago Tanah Abang Meregang Nyawa

Gegara Perkara Lima Sen, Jago Tanah Abang Meregang Nyawa

Amat dan Salihoen bertarung setelah masalah lima sen. Pajak atau jatah preman ditarik oleh preman pemenang.
bottom of page