top of page

Hasil pencarian

9539 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Barak-barak Soeharto

    BILA dalam teks-teks biografi Soeharto selama ini terdapat sejumlah kejanggalan dan pengakuan yang tak masuk akal, terutama mengenai karier militernya selama pendudukan Jepang, David Jenkins mengurainya dalam buku ini. Jenkins seorang wartawan-cum-peneliti asal Australia yang memiliki daya jelajah luas sehingga berhasil mewawancarai sejumlah perwira militer Jepang yang sempat bersinggungan dekat dengan Soeharto. Dia kali pertama mempublikasikan risetnya ini dalam jurnal terbitan Cornell University, Indonesia , dengan judul “Soeharto and The Japanese Occupation” pada Oktober 2009. Sebagai wartawan The Sidney Morning Herald , Jenkins bukanlah sosok asing lagi dalam tautannya dengan Soeharto. Dia salah satu dari segelintir wartawan yang pernah mewawancarai Soeharto. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” sempat membuatnya dicekal masuk Indonesia sampai 1994. Seperti penelitian Jenkins sebelumnya, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics , dalam buku ini tak ada petikan wawancara dengan Soeharto. Tak mudah mendapatkan kesempatan wawancara empat mata dengan tokoh kontroversial itu, terlebih wawancara soal politik (Orde Baru). Untung, ada sejumlah buku dan artikel tentang Soeharto yang membantu Jenkins melacak karier militer Soeharto pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945). Tahun 1942 menjadi momen akhir sekaligus awal bagi karier kemiliteran Soeharto: masa akhir sebagai serdadu KNIL ( Koninklijke Nederlandsch-Indisch Leger ) dan awal karier sebagai perwira Peta (Pembela Tanah Air). Sebelum mendaftar Peta, Soeharto sempat masuk dalam korps kepolisian Jepang. Dia menjalani pelatihan selama tiga bulan, lalu ditempatkan di Yogyakarta. Setahun lamanya Soeharto menghabiskan waktu dalam institusi yang sangat ditakuti rakyat masa itu. Di sinilah Soeharto ditempa dalam disiplin tinggi, otoriter, dan paternalis. Selama berdinas di Yogya, Soeharto ingat pangkatnya adalah keibuho  (inspektur polisi). Inilah yang dicatat Jenkins dari keterangan Soeharto sendiri dalam buku OG Roeder ) The Smiling General: President Soeharto of Indonesia  dan otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Keibuho  merupakan jenjang kepangkatan keempat dalam tangga promosi setelah anggota polisi ( junsa ), polisi senior ( junsacho ), lalu sersan polisi ( junsabucho ). Menurut penelusuran Jenkins, di Jepang saja, pangkat keempat hanya bisa disandang perwira polisi yang berpengalaman atau pemuda lulusan universitas –dan selalu Universitas Kekaisaran Tokyo (kini Universitas Tokyo). Jenkins menduga, Soeharto salah menyebutkan istilah Jepang untuk menunjuk kesatuan polisi ( keimubu ) dengan keibuho . Jenkins pun sangsi atas keterangan Soeharto yang sukses menyembunyikan fakta sebagai bekas KNIL ketika mendaftar sebagai polisi Jepang. Kecuali, Jepang benar-benar terpesona dengan kepintaran Soeharto –di tengah keterbatasan jumlah pribumi terdidik yang diharapkan mendaftar dalam kesatuan polisi. Dan, itu pun tak cukup menghalangi tangga kehidupan Soeharto berikutnya sebagai prajurit Peta. Pada Oktober 1943, Soeharto mendaftar sebagai tentara sukarela Peta. Sekelompok pemuda Indonesia memperoleh kursus militer dalam waktu singkat sebagai kekuatan perang cadangan bila Sekutu menyerang Jepang, yang diperkirakan dari pesisir selatan Jawa. Hingga Peta dilucuti senjatanya oleh Jepang pada Agustus 1945, praktis keseharian Soeharto hanya beranjak dari satu barak pelatihan ke barak lainnya. Dia bukan sosok yang taktis untuk mengambil kesempatan dari pembentukan Peta sebagai kekuatan “pemberontak” layaknya Supriyadi. Enam minggu pertama setelah dinyatakan lolos, Soeharto menjalani pemusatan pelatihan komandan peleton ( shodancho ) di Bogor, bersama 230 calon shodancho  dari Jawa Tengah di Kompi Empat. Setiap perwira Peta mengenang periode pelatihan keras itu, yang pada akhir 1944 melahirkan 37.000 tentara dari golongan pribumi. Tak salah bila Peta kemudian menjadi anatomi angkatan bersenjata Indonesia pascaproklamasi. Para perwiranya pun mengisi jabatan tinggi dalam militer Indonesia selama 30 tahun pertama. Walau bukan lulusan terbaik Peta, Soeharto termasuk sedikit shodancho  yang dipercayai militer Jepang. Dari 10 Mei sampai 10 Agustus 1944, Soeharto “ditarik kembali” ke Bogor untuk menjalani pelatihan sebagai komandan kompi ( chudancho ), yang akan membawahkan tiga peleton. Soeharto pun tercatat sebagai komandan yang selama lima bulan (dari Maret sampai Agustus 1945) melatih sisa-sisa prajurit batalyon Peta Blitar, yang sudah tak dipersenjatai dan ditepikan di kaki Gunung Wilis menyusul aksi “pemberontakan” pada Februari 1945. Maka, kalau dalam berita Watashi no rirekisho  (Sejarah Pribadi Saya) yang dimuat koran Nihon Keizai Shimbun  pada 6 Januari 1998, Soeharto memoles citranya sebagai orang yang diamat-amati Kenpeitai (polisi militer Jepang) lantaran bersikap kritis terhadap Jepang, tak sedikit mantan perwira militer Jepang yang menyangkalnya. Marimoto Takeshi, penulis buku Jawa boei giyugun-shi  (Sejarah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) yang juga bekas tentara Jepang, mengatakan, “Semua orang, termasuk saya sendiri, diawasi oleh Kenpei. Jadi dia bukan satu-satunya.” Soeharto memang tak ingin kita mengenalnya bukan dari siapa dia melainkan dari bagaimana dia ingin kita mengenalnya. Dalam konteks keikinian, terutama di tengah pasang-surut wacana penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto, buku ini amat berguna sebagai bahan pertimbangan objektif. Selama beberapa tahun terakhir, wacana tersebut selalu mengemuka dan pandangan pro-kontra tak pernah berhenti bergulir. Kelak, tak ada jaminan perdebatan serupa bakal tutup buku atau minimal dipandang tak perlu diulang-ulang. Yang jelas, Jenkins menutup buku ini dengan kesimpulan sinis. Dia melihat sosok Soeharto sebagai orang yang “mengabdi pada dua kubu militer” (Belanda dan Jepang) justru saat para tokoh nasionalis Indonesia tengah jatuh-bangun meniti kemerdekaan republik. Soeharto “mendapat cukup makanan, pakaian yang baik, dan gaji yang bagus” justru ketika rakyat Indonesia tersungkur dalam kemelaratan oleh praktik kerja paksa Jepang ( romusha ). Kontras seperti itu tentu tak bisa ditelan mentah-mentah dan dipahami sebagai realitas sejarah an sich . Jenkins, biarpun tekun meneliti sosok Soeharto, bukanlah seorang dokumentator dan sejarawan murni. Acapkali dia terjebak untuk memungkasi tulisan dengan kalimat-kalimat spekulatif dan berani. Semisal ketika menulis, Soeharto “pasti akan dipandang dengan penuh skeptisisme oleh para pemimpin nasionalis, sebagian karena dia pernah berdinas di KNIL dan sebagian karena dukungannya tanpa kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai fasisme Jepang”. Padahal buku ini jelas tak sedang mendalami hubungan Soeharto dengan kelompok nasionalis pada masa-masa sensitif dan tak keruan di awal pembentukan republik. Di luar itu, riset Jenkins ini tak memberi ruang secara menyeluruh, kalau memang dipersoalkan, terhadap orang-orang di lingkaran keluarga Soeharto. Jenkins tak memasukkan mereka dalam daftar narasumber yang diwawancarai. Baik dari anggota keluarga setelah Soeharto menikah dan membangun dinasti politik Orde Baru maupun anggota keluarganya semasa muda. Tentu hal itu tak lepas dari sosok Soeharto sebagai pribadi yang cenderung tertutup dan tak ingin diketahui masa lalunya.*

  • Transs, Pengusik Lagu Cengeng

    MUSISI Fariz RM tak nyaman bila mendengar kata “reuni”. “Saya tu trauma sama reuni,” ujarnya kepada Historia  di sebuah studio musik di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Perasaan itu muncul dari pengalaman. Rencana reuni tiga band terpenting yang pernah dibentuknya selalu menemui kegagalan. Salah satunya, Transs. Rencana reuni pernah dibicarakan dalam suatu pertemuan di antara mantan personel Transs di rumah Fariz di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. “Eh Uce meninggal [tak lama kemudian]. Wibi meninggal juga, [karena] ginjal. Haduh… trauma kan aku.”

  • Behind the Beauty of Policewomen

    IN THE 1960s, the people of the capital were restless. Dozens of “tante girang” , a term for married women with high sexual desire or cougars, were rampant in Jakarta. Aside from it being a social problem, the cougar phenomenon was also seen as moral crimes.

  • Kisah Polwan yang Tak Selalu Menawan

    PADA 1960-an, masyarakat ibukota resah. Puluhan “tante girang”, sebutan untuk perempuan bersuami dengan hasrat birahi tinggi, beroperasi di Jakarta. Tak hanya menjadi masalah sosial, fenomena tante girang memasuki ranah tindak kejahatan susila.

  • Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

    SOEHARTO menjadi satu dari 10 tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 10 November lalu. Mantan presiden RI kedua itu dianggap berjasa dalam Perang Kemerdekaan dan pembangunan. Penganugerahan itu memicu pro-kontra masyarakat, khususnya di di jagat maya. Para pendukung dan penentang pemberian gelar itu saling serang. Seperti yang terjadi antara pegiat media sosial Chusnul Chotimah dan elite Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi. Ada pula yang meributkan pemberian gelar itu dengan membanding-bandingkan sosok Soeharto dan Sukarno, presiden Indonesia pertama. Banyak unggahan ataupun komentar yang dikeluarkan para pendukung Soeharto menyebut Sukarno sebagai “mandor romusha” ataupun “antek Jepang”. Pendapat tersebut berangkat dari fakta pernah kerjasama Sukarno dengan Jepang dalam hal romusha atau kerja paksa untuk membangun proyek-proyek Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Di sisi lain, pada periode yang sama juga ada fakta bahwa pemuda Soeharto masuk menjadi PETA, organisasi paramiliter bentukan Jepang di Indonesia. Masuknya Soeharto ke dalam PETA lebih karena alasan pragmatis ketimbang ideologis, sebagaimana ia sebelumnya bergabung dengan tentara kolonial Koninklijke Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Soeharto mengakui memang menyenangi profesi tentara. “Saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini,” aku Soeharto dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Masuknya Soeharto ke dalam KNIL dilatarbelakangi kehidupan sosial-ekonominya yang sulit. Bukan “darah biru”, punya titel, apalagi uang, pendidikan formallah yang membuat Soeharto bisa masuk KNIL. Kendati menjadi hal mewah, pendidikan formal di zaman Hindia Belanda amat menentukan masa depan seseorang. Soeharto sebagai pemuda asal Desa Kemusuk, Yogyakarta merasakannya betul. Bermodal ijazah Schakelschool (sekolah lanjutan dari Sekolah Rakyat tiga tahun; tamatannya disamakan dengan pendidikan dasar Hollandsch-Inlansche School/HIS) milik Muhammadiyah di Yogyakarta, Soeharto bisa mendaftar masuk calon bintara KNIL dan diterima. Lebih Cocok di Barak Permulaan Juni 1940, Eropa kian “terbakar” bara api Perang Dunia II. Belanda yang menyatakan netralitasnya turut diserbu pasukan baja Adolf Hitler pada 10 Mei 1940 dan sepekan kemudian Belanda telah diduduki. Alhasil Hindia Belanda sebagai koloninya mulai ketar-ketir oleh potensi ancaman Jepang –sekutu Jerman di Perang Dunia II– yang sudah membangun angkatan perangnya. Di masa-masa pergolakan global itulah Soeharto beralih pikiran soal kariernya, yakni ke (militer). Kebetulan, menurut Robert Edward Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik , pemerintah Hindia Belanda membuka rekrutmen KNIL besar-besaran sejak 1938. Dengan menjadi prajurit di bawah panji Ratu Wilhelmina, Soeharto bakal punya gaji tetap. “Tak dinyana, kesempatan datang untuk melamar masuk KNIL. Pada mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan,” tutur Soeharto. Saat itu, lanjut Soeharto, ada dua jalur untuk mendaftar KNIL: langverband atau dinas jangka panjang, lazimnya menerima rekrutan kalangan bumiputera tanpa pendidikan sama sekali; dan kortverband atau ikatan dinas pendek, yang menerima lulusan setidaknya setara HIS. Pelatihan dasar (latsar) jalur langverband diadakan di Depo Purworejo, sementara latsar kortverband di Depo Gombong. Berbekal lulusan schakelschool , Soeharto pun memilih opsi kedua. Pasalnya melalui jalur kortverband , seorang rekrutan bisa langsung melanjutkan ke kader school untuk lulus dengan pangkat kopral dan dengan lima tahun pengabdian berikutnya bisa promosi sampai pangkat sersan. Dengan masuk jalur kortverband pada 1 Juni 1940, Soeharto mulai ikut melakoni latihan dasar di markas Batalyon Depot ke-3 KNIL Depo Gombong. Sedari pagi sampai malam, Soeharto dan para rekrutan lain digembleng aneka disiplin militer, latihan baris-berbaris, pendidikan formal di kelas, latihan militer di luar ruangan, hingga dimanfaatkan jadi “jongos” untuk membersihkan senjata sampai peralatan dapur umum. Soeharto amat menikmatinya. Seakan menemukan “tempatnya” di barak militer itu. “Pengalaman ini berbeda sekali dengan sewaktu sekolah ataupun sewaktu menjadi pembantu klerk bank. Tetapi saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini. Saya menyadari bahwa saya cocok terhadap kehidupan disiplin ketentaraan,” katanya. Setelah enam bulan latihan dasar di Batalyon Depot ke-3 di Gombong, Soeharto dalam otobiografinya mengaku jadi lulusan terbaik. Ia lalu ditempatkan di Batalyon ke-13 KNIL di Rampal, tak jauh dari kota Malang, tepatnya peleton yang dipimpin Letnan Hyneman dan kompi pimpinan Kapten Dryber. Tak berapa lama setelah keluar dari rumahsakit akibat malaria, Soeharto balik kanan ke Gombong untuk masuk kader school demi bisa mencapai pangkat sersan. Sial baginya, Jepang keburu datang. Pemerintah Hindia Belanda bubar setelah kapitulasi di Kalijati pada Maret 1942. Menurut A. Yogaswara dalam Biografi Dari Pada Soeharto: Dari Kemusuk hingga Kudeta Camdessus, ketika itu Soeharto, yang sudah lulus sekolah kader berpangkat sersan, baru bertugas di pasukan cadangan KNIL di Cisarua selama seminggu. Maka dengan pikiran was-was jadi tawanan Jepang, Sersan Soeharto dan rekannya yang sudah ia kenal selama di Rampal, Amat Sudono, memilih menanggaglkan seragam KNIL demi kabur pulang ke Yogyakarta dengan uang hasil taruhan main kartu. “Jepang berkuasa di tanah air kita. Saya tidak mau ditawan. Dalam keadaan menunggu nasib seperti itu, saya main kartu cemeh dengan kartu Londo. Waktu mulai main cemeh itu saya hanya punya uang satu gulden. Tetapi dalam permainan kartu itu uang saya bertambah menjadi 50 gulden. Dan uang itulah yang saya pergunakan bersama Amat Sudono pulang ke kampung. Kami pergi ke Cimahi dulu, membeli pakaian, lalu terus langsung ke Yogya naik kereta api,” tandasnya.

  • Bus Pasar, Bus Kaum Pedagang

    BUS Transjakarta berdek rendah berhenti menyerong. Badan besarnya menutup seluruh jalan. Petugas bus sedang mengatur ulang karung-karung milik penumpang di dalam bus. Karung-karung itu menutup ruang berdiri penumpang lain. Si empunya karung bekerja sebagai pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Dia terpaksa menggunakan Transjakarta untuk pergi pulang bawa karung dagangan. Bercampur dan berebut ruang dengan penumpang biasa. Tak ada transportasi publik khusus untuk pedagang pikulan atau karung seperti dirinya.

  • Kegagalan Bus Kota Tanpa Kondektur

    MANIS di awal, pahit di akhir. Itulah yang terjadi pada sistem Rute Metode Baru (RMB) bus Patas AC milik PPD. Perusahaan, karyawan, dan penumpang hanya menikmati saat-saat manis beberapa jenak seperti diungkap dalam kajian Sri Haryoso Suliyanto, Perbandingan Sistem Wajib Angkut Penumpang dan Rute Metode Baru . Sisanya adalah catatan pahit dan konyol.

  • Bus Kota Tanpa Kondektur

    “Selamat siang. Sebelum duduk, mohon siapkan uang pas dan masukan ke kotak itu. Terimakasih.” Begitulah sapaan ramah sopir bus Patas AC kepada setiap penumpang sejak 14 Mei 1993. Sapaan ini menjadi populer ketika pengoperasian Patas AC milik Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) memakai sistem Rute Metode Baru (RMB).

  • Awak Bus Patas AC Menggugat Operator

    LIMA lelaki menghentikan bus Patas AC. Lagak mereka seperti penumpang biasa. Mereka naik dari pintu depan, sesuai aturan. Dua duduk di depan, tiga menuju kursi deretan belakang. Baru saja duduk, dua lelaki di depan berdiri kembali. Mereka menodongkan pisau ke leher sopir beserta kondektur. Tiga lelaki di belakang ternyata juga bersenjata tajam.

  • Patas AC, Bus Kota Kaum Eksekutif

    NAIK bus kota berpendingin udara di Jakarta pada 1993 menjadi kesenangan tersendiri bagi Bayu Kusuma Yuda, karyawan swasta. “Busnya bagus dan baru. Jika ingin turun dari bus, kita bisa memencet bel untuk memberi tahu sopir. Lalu pintu terbuka otomatis. Canggih. Sangat keren pada masanya untuk anak kecil seperti saya,” cerita Bayu dengan fasih.

  • Bus Patas dari Cepat Terbatas Jadi Tanpa Batas

    DUA bus kota melaju hampir seiring. Satu bus Patas (Cepat Terbatas) di lajur kiri, satunya lagi bus reguler di lajur kanan. Sopir bus Patas menambah kecepatan, mendahului bus reguler dari sisi kiri. Tak terima disalip, sopir bus reguler pun menginjak pedal gas dalam-dalam. Tapi sopir bus Patas buru-buru menutup ruang. Hampir tabrakan. Sopir bus reguler mengalah.

bottom of page