top of page
Apakah Kita Memaklumkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional?
Apakah Kita Memaklumkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional?

Apakah Kita Memaklumkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional?

Putro Wasista Hadi

Putro Wasista Hadi

Pegiat Pustaka

Share:

Belakangan khalayak digegerkan oleh kabar rencana penahbisan gelar pahlawan nasional kepada bekas Presiden Indonesia kedua Soeharto. Beragam respons menguar, ada yang mendukung dan tidak sedikit menolak. Sebagian kalangan menganggap ‘bapak pembangunan’ itu layak menyandang gelar pahlawan. Sebagian lagi menganggap kekuasaan mutlak 32 tahun yang menyebut dirinya Orde Baru dibangun dari darah dan daging rakyat tak sepaham.


Dalam sejarahnya manusia Indonesia pertama penyandang gelar pahlawan nasional adalah Abdoel Moeis (1886-1959), sastrawan kawak Angkatan Balai Pustaka, yang menulis novel Salah Asuhan. Setelah kematiannya dia mendapatkan upacara pemakaman ala militer. Berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 218 Tahun 1959 Abdoel Moeis mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Setelah Abdoel Moeis, Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) si Bapak Pendidikan pendiri Taman Siswa berdasar Keppres No. 305 dan Soerjopranoto (1871-1959) si penggerak pemogokan era zaman Hindia Belanda yang berjuluk Si Raja Mogok Keppres No. 310 pun menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pula.


Kata ‘kemerdekaan’ yang selalu dilekatkan dengan frasa pahlawan nasional ini seakan menjadi aral bagi perempuan untuk masuk kategori. Konsekuensi logis jika komposisi pahlawan paling banyak terdiri dari laki-laki, elite politik, dan tentara. Bukan perempuan apalagi sastrawan. Lima tahun setelahnya ada perempuan Pahlawan Kemerdekaan Nasional bernama Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Kartini.


Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasar Keppres No. 108 Th. 1964, itu terjadi setelah Negara ikut diingatkan oleh kampanye dari media sayap kiri seperti Harian Rakjat, Warta Bhakti, dan Api Kartini yang dimulai pada 1960. Setelah sebelumnya tim penyusun yang diketuai Pramoedya Ananta Toer, yang telah rela hilir mudik Blora–Jepara–Rembang–Solo–Semarang–untuk memburu bukti kedudukan putri Bupati Jepara dalam sejarah Indonesia. Begitu dicatat Muhidin M. Dahlan di Jawa Pos (21 April 2013) silam.


Setelah bergelut di perpustakaan dan ruang arsip sejak 1955, Pram berhasil menyusun riwayat hidup utuh Kartini, Noem Mij Maar Kartini yang diterjemahkan menjadi Panggil Aku Kartini Saja. Buku yang tersusun dari surat-surat Kartini dan interpretasi Pramoedya itu terbit pertama kali pada 1962 oleh NV Nusantara. Sayang, kebrutalan tentara Soeharto saat geger 65’ memunahkan separuh dari total empat jilid Panggil Aku Kartini Saja. Meskipun tak utuh, untungnya kita masih bisa menyesap sari pati ide revolusioner perempuan modern pertama di tengah kegelapan alam tradisional Jawa silam.


Awal Februari 2025 lalu, buku kurang dari 300 halaman besutan penerbit Lentera Dipantara (2015) mendapat momentum kala nama dedengkot seniman kiri asal Blora urung terabadikan pada satu ruas jalan di Blora. Penulis Kuartet Pulau Buru itu ditolak di kampung halamannya atas usul ormas Pemuda Pancasila. Padahal, Pendopo Bupati Blora episentrum gelaran Se-Abad Pram terletak di Jalan R. A. Kartini.

Setelah dua bulan gebyar perayaan di Blora, momentum kedua datang dari seorang yang namanya tidak bisa pisah dari pembahasan Pramoedya sebagai tapol di Pulau Buru. Kabar penyematan gelar pahlawan nasional Soeharto semakin santer sejak pertengahan April 2025.


Kedua peristiwa itu—penolakan pemancangan nama Pram di ruas jalan dan usulan Soeharto sebagai pahlawan–berkait menjadi satu. Benang merah keduanya adalah praktik pemitosan dangkal pahlawan yang menahun. Padahal, sudah sejak 63 tahun silam Pram mewanti-wanti.


“Sampai sedemikian jauh, Kartini disebut-sebut di berbagai hari peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri, serta menempatkannya ke dalam dunia dewa-dewa,” kata Pram dalam Panggil Aku Kartini Saja (2015:12) memperingatkan kita.


Kendati pun kini lebih lumrah, tidak lagi melekatkan kata ‘kemerdekaan’ pada frasa pahlawan nasional, seperti definisi yang tercantum dalam pasal 1 Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, begini;


“Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.”


Sepinya kalangan sastrawan dibanding elite politik dan tentara dalam barisan pahlawan nasional linear dengan pernyataan Gerry van Klinken. Profesor Sejarah Asia Tenggara dari Universitas Amsterdam itu dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008: 130) telah membabar beda subjek penulisan biografi, antara di Barat (Eropa) dengan di Indonesia. Tokoh sastra tampil sebagai subjek penulisan biografi paling sering di Eropa. Berbanding terbalik dengan di Indonesia yang diisi oleh tokoh pahlawan nasional, elita agama, dan sipil politik.


Sampai 2025 tercatat ada 207 pahlawan nasional di Indonesia. Dari seluruh angka itu, tidak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki kita yang berjenis kelamin perempuan. Padahal untuk menghitung daftar pahlawan berpangkat polisi dan militer, yang tak satu pun ada perempuan, kita memerlukan dua pasang jari tangan dan kaki. Sedangkan, hanya cukup satu tangan saja agar kita tahu jumlah pahlawan dari kalangan sastrawan yang hanya enam. Di luar itu, masih ada 25 nama berpangkat polisi atau militer yang mengantre sebelum turut masuk ke dalam barisan raksasa pahlawan nasional.


Seorang dalam deret antrean itu adalah Soeharto, mantan mertua daripada Presiden Indonesia ke-8 Prabowo Subianto. Tercatat sejak 2010 lalu sudah ada usul menyematkan gelar pahlawan nasional kepada satu-satunya Jenderal Besar yang belum kebagian. Berkat usulan Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Bibit Waluyo selaku Gubernur Jawa Tengah, nama Soeharto sampai ke meja Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan tetapi hanya beroleh penolakan. Pasalnya, nama asli The Smilling General dinilai cacat hukum lantaran masih tercantum dalam pasal 4 Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.


Namun, usaha menjebol barikade barisan pahlawan nasional tetap berjalan terus. Ada dua kubu yang selalu mendukung rencana pengukuhan Soeharto. Pertama, bekas partai yang menjadi kendaraan politik jenderal asal Kemusuk bernama Golkar. Kedua, bekas menantu yang senantiasa bisa diandalkan saat kondisi rumit.


Dilansir dari Tempo, pada momen pilpres 2014 silam Prabowo pernah mengucap janji jika terpilih akan upayakan Soeharto jadi pahlawan nasional. Setahun kemudian usulan serupa kembali muncul, tetapi presiden saat itu, Jokowi pada 5 November 2015 malah menyematkan gelar kepada Bernard Wilhelm Lapian, Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Mas Isman, Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Moehammad Jasin, I Gusti Ngurah Made Agung, dan Ki Bagus Hadikusumo. Hingga pada 2016 agenda penyematan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat pada musyawarah nasional luar biasa Golkar.


Setelah penantian dua periode kuasa Jokowi, kini kedua kubu bahu-membahu guna mencapai tujuan; Pahlawan Nasional Soeharto. Gerakan pertama dari Golkar yang usul untuk membabat aral menghapus nama Soeharto dalam pasal 4 Tap MPR tentang KKN. Melalui rapat gabungan MPR sebulan sebelum Prabowo dilantik, pada 23 September 2024 usulan disepakati. Penghapusan nama—yang terdiri satu kata–ini representasi dari kelindan antara politik dan usaha untuk mengingat atau melupakan masa lalu yang spesifik. Taktis!


Dua profesor sejarah asal Rio de Janeiro, Maria Paula Nascimento Araújo dan Myrian Sepúlveda dos Santos dalam artikelnya, History, Memory and Forgetting: Political Implication (2009: 82), telah menerangkan bahwa mengingat dan melupakan adalah suatu aktivitas politik. Termasuk di dalamnya agenda kekuasaan guna mempertahankan status quo.


“Sebagai alat kekuasaan, ingatan dan pelupaan telah digunakan oleh berbagai pemerintahan, baik yang totaliter maupun demokratis, untuk mengamankan kendali politik atas kekuatan lawan. Oleh karena itu, pelupaan juga berfungsi sebagai strategi politik yang digunakan oleh pemerintahan demokratis pada saat-saat tertentu,” terang Araújo dan Santos.


Kini usaha si mantan mantu untuk menganugerahi sang mantan mertua gelar pahlawan nasional semakin mendekati kenyataan. Apabila rencana para elite terejawantah, maka semakin benderang pula kesamaan pola pemerintahan militeristik antara Soeharto dengan Si Mantu yang baru seumur jagung. Pasalnya, penyematan gelar pahlawan nasional selalu terkait dengan visi pemerintahan.


Maka, terdapat deretan maklumat pemerintahan tidak populer Prabowo yang semakin penting kita sorot: Pertama, penunjukkan anggota TNI aktif sebagai Dirut Perum Bulog pada 7 Februari 2025. Kedua, Perluasan wewenang TNI turut campur dalam 14 kementerian tanpa harus mundur dan perpanjangan dua tahun masa kerja yang dilegalisir pada 20 Maret 2025. Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri Serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah yang Prabowo teken pada 27 Maret 2025. Instruksi itu secara langsung memberi komando Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar target tiga juta ton pengadaan beras dalam negeri terpenuhi. Hingga upaya penulisan kembali sejarah (Nasional) Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan secara klandestin.


Apakah perlu maklum namun bersiasat agar jika rencana penahbisan Soeharto sebagai pahlawan nasional tetap berjalan, tidak menempatkannya ke dalam dunia dewa-dewa?

Tentang Penulis

Putro Wasista Hadi, Pegiat pustaka di Yogyakarta. Terlibat dalam beberapa kegiatan penerbitan buku. Alumni Pascasarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mendalami sejarah militer. Aktif dalam komunitas Radio Buku. Saat ini tinggal di Klaten.

Putro Wasista Hadi

Tentang Penulis

Anne-lot Hoek, Peneliti sejarah independen. Telah menulis di berbagai media Belanda dan menerbitkan buku De strijd om Bali: Imperialisme, verzet en onafhankelijkheid 1846-1950 (2021) tentang kolonialisme Belanda dan revolusi Indonesia di Bali.

Anne_foto_asli_300.jpg

Tentang Penulis

Ni Made Frischa Aswarini, Peneliti sejarah dan penyair asal Bali. Telah menerbitkan Tanda bagi Tanya (2017). Penerima beasiswa Fulbright untuk program MA Ilmu Sejarah di Amerika Serikat. Terlibat dalam riset De Strijd om Bali (2021).

Frischa_foto_asli_300.jpg

Tentang Penulis

Ni Ketut Sudiani, Jurnalis dan penulis lepas asal Bali. Selama 9 tahun bekerja untuk beberapa media. Saat ini telah bekerja untuk sejumlah riset, termasuk termasuk De strijd om Bali (2021) dan pembuatan sejumlah film dokumenter.

Sudiani_foto_asli_300.jpg

Kumpulan Tulisan Kolumnis

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg

Kumpulan Tulisan Kolumnis

Mohammad Kholid Ridwan
Putro Wasista Hadi
Muhidin M. Dahlan
Wildan Sena Utama
Ratna Hapsari
Muhammad Renaldi Saifullah
Jane Rosalina Rumpia
Idham Bachtiar Setiadi
Hartoyo
Grace Leksana
Fadly Rahman
Aufannuha Ihsani
Asvi Warman Adam
Aris Santoso
Anne-lot Hoek, Ni Made Frischa Aswarini, Ni Ketut Sudiani.
Alvie Sheva Zahira
Akhmad Ryan Pratama
bottom of page