top of page

Sejarah Indonesia

Keluarga Poespojoedo Dalam Peristiwa Tiga Daerah

Keluarga Poespojoedo dalam Peristiwa Tiga Daerah

Bapaknya pernah ditahan kelompok Tiga Daerah. Anaknya yang jadi tentara terus berkarier di TNI hingga jadi jenderal.

12 Februari 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Wiloejo Poespojoedo (1919–1968). (Betaria Sarulina/Historia.ID).

Sejak zaman Hindia Belanda, Wijoego Poespojoedo sudah jadi orang penting di Pemalang, Jawa Tengah. Ia bagian dari pangreh praja kolonial. Sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) zaman sekarang. Nyaris banyak keluarga PNS di zaman itu merasa negara induk mereka adalah Kerajaan Belanda. Seperti orang sekarang merasa negaranya Republik Indonesia. Wijoego tergolong pegawai kolonial yang cukup peduli dengan masa depan masyarakat pribumi yang lebih baik.


Wijoego, disebut Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 31 Desember 1934, adalah kepala onderdistrik (kecamatan) Taman, Pemalang pada 1934. De Locomotief, 22 Mei 1937 menyebut Wijoego terlibat dalam rencana pembangunan SMP kolonial Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Pemalang. Ia menjadi wakil ketua dalam kepanitiaan yang dipimpin pensiunan mantri guru bernama Raden Poerwosoedirdjo. Di dalamnya Raden Sahroewardie sebagai sekretaris pertama dan M. Nadardarno sebagai sekretaris kedua.


Kepedulian Wijoego terhadap kehidupan masyarakat di antaranya dengan menolak pajak jika masyarakat belum mendapatkan manfaat. De Locomotief, 3 Agustus 1937 memberitakan, Wijoego tidak setuju dengan pemberlakuan pajak baru ini, selama kabupaten tidak menyediakan penerangan jalan yang layak.



Hindia Belanda bubar pada 1942 dan digantikan Jepang yang berkuasa hingga 1945. Putra Wijoego bernama Wiloejo Poespojoedo (1919–1968) menjadi letnan (shodancho) tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta), dan bertugas di Keresidenan Pekalongan.


Setelah Indonesia merdeka, kebencian kepada bekas PNS kolonial yang merupakan penguasa tradisional merata di kawasan Keresidenan Pekalongan. Mereka dianggap bagian dari sumber penderitaan karena kolonialisme yang cukup lama. Golongan pamong praja dianggap pernah bekerja untuk Belanda dan Jepang yang menyengsarakan rakyat. Pergolakan antipriayi yang dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah ini terjadi sejak Oktober hingga Desember 1945.


Wijoego termasuk bekas pejabat daerah yang ditahan kelompok antipriayi. Seperti juga dialami R.A. Kardinah, adik R.A. Kartini. “Kardinah mendirikan sebuah rumah sakit, sekolah untuk anak perempuan, dan rumah yatim piatu anak-anak perempuan di Tegal,” tulis Anton E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi.



Ketika Wijoega ditahan, Wiloejo menjadi perwira staf di Resimen Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Lucas mencatat, umumnya perwira TKR punya hubungan dengan keluarga-keluarga pangrehpraja. Menurut Sarimin Reksodihardjo dalam Kenang-kenangan Dari Masa Jang Silam, Wiloejo kala itu berpangkat kapten TKR. Ia ikut membantu membebaskan para pangrehpraja yang ditawan kelompok Tiga Daerah.


Perwira TKR biasanya mantan perwira Peta. Mereka lulusan sekolah elite kolonial yang biasa dinikmati anak priayi rendahan. Sementara mereka yang pendidikannya rendah ala rakyat jelata hanya mampu jadi sersan bahkan prajurit rendahan.


Wijoego selamat dalam Peristiwa Tiga Daerah. Ia meneruskan kariernya di pemerintahan. De Locomotief, 17 Mei 1949, menyebut Wijoego menjadi wedana di Purwakartapada 1949.



Setelah Peristiwa Tiga Daerah, Wiloejo terus berkarier di TNI. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Daratmencatat, Wiloejo menjadi perwira intelijen Resimen 17 Divisi III pada 1947, kemudian menjadi Asisten Wakil Kepala Staf Angkatan Perang di Yogyakarta pada 1949. Setelah itu, ia bertugas di Balikpapan sebagai Komadan Brigade E merangkap komandan Sub Tentara dan Teritorium III untuk Kalimantan Timurdari 1950 hingga 1951.


Wiloejo sempat menjadi guru di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) dari 1954–1956, kemudian menjabat direktur SSKADpada 1958. Setelah tahun 1960, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mewakili tentara, lalu Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Terakhir, ia dengan pangkat mayor jenderal menjabat gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada 1965–1968.


Wiloejo tutup usia pada 9 Januari 1968 ketika Orde Baru baru saja dilahirkan Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya di TNI adalah letnan jenderal.Namanya diabadikan sebagai nama jalan dan taman di Balikpapan tempatnya dulu berdinas.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
bottom of page