- Petrik Matanasi
- 29 Okt
- 7 menit membaca
LELUHUR keluarga Lapré datang ke Nusantara di zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Seabad setelah kebangkrutan VOC, masih ada keluarga Lapré di Jawa. Biasanya orang Eropa seperti mereka kawin dengan sesama orang Eropa. Seperti Dietert Brugma Lapré, yang –kelahiran Bogor, 3 April 1891– mengawini Sara Henriette van der Zeep –kelahiran Jakarta, 11 November 1891.
Pasangan Dietert Brugma Lapré-SaraHenriette punya tiga anak: Fernande Lapré, Paul Dietert dan Sjoerd Albert. Mereka sekeluarga tinggal di Batavia (kini Jakarta).
“Saya dibesarkan sebagai orang Belanda. Di sekolah di Batavia, kami belajar tentang semua tempat di Belanda; hingga Roodeschool,” terang Sjoerd Albert Lapré, yang lahir di Batavia pada 1 Maret 1920.
Setelah lulus SMA, Sjoerd mencoba untuk jadi pegawai perusahaan. Itu kenapa dia ikut sebuah kursus di perusahaan komunikasi milik negara, Post Telegraaf en Telefoondienst (PTT) –belakangan, asetnya terpecah menjadi Pos Indonesia dan Telkom. Namun, jalannya menjadi pegawai tidaklah lancar karena Perang Dunia II (1939-1945) meletus.
Penyerbuan dan pendudukan tentara Jerman terhadap Belanda pada 10 Mei 1940 mengakibatkan masa muda kebanyakan orang terganggu. Sjoerd yang tinggal ribuan kilometer dari Belanda pun terkena imbasnya. Pemerintah Hindia Belanda sendiri meningkatkan wajib militer (wamil) setelah pendudukan itu. Tak hanya untuk serdadu rendahan, wamil juga untuk perwira cadangan, bahkan diadakan kursus bernama Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO). Tak hanya orang Belanda macam Sjoerd, orang-orang pribumi pun diterima menjadi calon perwira cadangan di CORO.
Sjoerd pun ikut wamil itu hingga menjadi Letnan Dua Infanteri Cadangan untuk tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Pada awal Januari 1942, Sjoerd ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-4 di Cimahi. Letnan Dua Sjoerd dipercaya jadi komandan peleton atau seksi, yang beranggotakan 20-40 orang.
Kala itu, tentara Jepang kian menampakkan diri sebagai bahaya yang dihadapi Hindia Belanda. Sejak awal Maret 1942, tentara Jepang sudah mendarat di bagian barat Jawa. Makin hari mereka makin sulit dibendung.
Letnan Dua Sjoerd dan pasukannya kemudian dikirim ke daerah Kuningan, Jawa Barat. Namun mereka justru tak menghadapi pertempuran lantaran pasukan Resimen ke-230 Tentara ke-16 AD Jepang di bawah pimpinan Kolonel Toshishige Shoji langsung menuju Lanud Kalijati di Subang begitu mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu. Pertempuran sengit terjadi sekitar lanud. Sejumlah kecil pasukan AU Inggris dibantu AU Hindia Belanda yang mempertahankan lanud mati-matian menghalau pasukan Shoji yang amat menginginkan Lanud Kalijati.
“Kalijati adalah salah satu fasilitas penerbangan terbaik di Jawa saat itu,” tulis Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invicible Years 1941-1942.
Berakhirnya Pertempuran Kalijati yang diikuti gerak-maju pasukan Jepang membuatpara petinggi KNIL mengadakan rapat darurat. Panglima besar KNIL Letjen Hein ter Poorten mendiskusikan keadaan dan langkah terbaik yang mungkin diambil dengan Mayjen Hervey Sitwell (panglima Inggris di Jawa). Saran Sitwell agar KNIL bergerilya ditolak Poorten yang melihat gerakan kemerdekaan Indonesian yang telah kuat tak memungkinkan buat gerilya.
“Dalam kondisi tersebut, ter Poorten dan gubernur jenderal, ditemani Mayjen JJ Pesman (komandan garnisun Bandung), menuju utara ke bekas pangkalan udara Belanda di Kalijati. Di sini, pada sore 8 Maret, merek bertemu dengan lawan, bukan dalam pertempuran tetapi dalam kapitulasi,”, sambung Bill Yenne.
Hindia Belanda akhirnya menyerahlah tanpa syarat pada tentara Jepang tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati. Ribuan anggota KNIL pun menjadi tawanan perang. Tak terkecuali Sjoerd di Kuningan.
Hidup Sjoerd seketika dalam kesengsaraan. Sedari Maret 1942-Agustus 1945, ia dikurung di kamp tawanan perang militer Jepang. Sebagaimana umumnya tawanan perang Jepang, Sjoerd juga kekurangan gizi. Selain itu, ada kerja paksa untuk mereka seperti yang dilakukan orang-orang pribumi Indonesia yang tergabung dalam romusha (pekerja paksa yang bayarannya dikorupsi), untuk proyek-proyek Jepang.
Sjoerd baru bebas setelah Jepang kalah, Agustus 1945. Namun keadaan orang Belanda setelah September 1945 pun tetap bahaya di masa yang oleh orang Belanda disebut Masa Bersiap itu. Banyak orang Belanda maupun orang-orang yang dicap dekat dengan Belanda dibunuh oleh pendukung Republik Indonesia.
“Saat itulah saya menjadi garang," terang Sjoerd, dikutip koran Algemeen Dagblad tanggal 26 September 1987.
Setelah 1945 itu, Sjoerd kembali bertugas menjadi letnan KNIL. Pangkatnya bahkan naik menjadi letnan satu setelah bertugas di KNIL kembali. Namun kali ini musuhnya bukan tentara Jepang, melainkan para kombatan pendukung Republik Indonesia.
Masa penuh bahaya bagi orang Belanda itu di Bandung melahirkan Batalyon Infanteri V (Ke-5), yang menggunakan anjing merah galak. Pasukan tersebut suka menyebut dirinya sebagai Andjing NICA –merupakan singkatan dari Nederlands Indies Civiel Administratie, pemerintah sipil yang hendak menegakkan lagi Hindia Belanda. Andjing NICA bisa diartikan sebagai anjing atau antek pemerintah Hindia Belanda yang ingin kembali menguasai wilayahnya yang telah menjadi Indonesia itu.
Sjoerd mulai mengenal batalyon itu di Lembang. Dia mengenal Pembantu Letnan Anten dan Letnan Trieling di dalam batalyon ini.
“Satu waktu di tahun 1946, saya bergabung dengan kompi pertama di Arjasari, sebelah timur Bandung, dan tak lama kemudian mengambil alih kompi dari Kapten Willem Hofstede,” kenang Sjoerd dalam buku yang disusunnya, Het Andjing NICA Bataljon KNIL in Nederlands Indie 1945-1949.
Kapten Willem terpaksa meninggalkan posisinya. Dia hendak disekolahkan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
“Kompi ini terdiri dari anak laki-laki Indo (yang kebanyakan) masih muda dan beberapa orang tua berpengalaman.”
Sama dengan Sjoerd, beberapa anak buahnya sebelumnya juga tinggal di kamp-kamp interniran Jepang. Anak-anak yang masih sangat muda itu sebagian masih dalam usia sekolah. Namun keadaan menuntut mereka harus menjadi tentara. Mereka tak paham atau menyadari bahwa kebanyakan orang Indonesia ingin merdeka dan tak menginginkan kembalinya masyarakat kolonial seperti yang diinginkan para serdadu bawahan Sjoerd di Andjing NICA.
Sebelum pelantikanya sebagai komandan kompi, Sjoerd selalu ikut operasi bersama Kapten Hofstede.
“Kami mengagetkan sekelompok polisi musuh,” ingat Sjoerd.
Dari Kapten itu, Sjoerd mendapatkan teladan keberanian komandan selama operasi. Setelah menjadi komandan kompi, Sjoerd dibantu Sersan Mayor Mustamu untuk urusan administrasi, Deyers dan Thompson sebagai pengawal terdekat, Otto Pattinama dan Dagener sebagai sopir, Roy Marcks sebagai penembak senapan mesin bren, Maagdenburg sebagai sopir truk 3 ton, dan Kopral Paatje Wiel sebagai kepala dapur. Setelah menjadi komandan kompi, ada sebuah peleton dari kompinya yang dilatih khusus.
“Peleton dari letnan Iken dilatih sebagai peleton komando,” catat Sjoerd.
Namun karena kemampuannya, pasukan Letnan Iken diperbantukan di bawah komando Brigade V selama Agresi Militer Belanda Pertama. Sjoerd pun tak lagi bersamanya.
“Jadi saya kehilangan dia, dan fakta itu secara signifikan memperberat tugas kompi.”
Dari kota Bandung, pasukan Sjoerd bergerak ke Ujungberung. Pada 21 Juli 1947, pasukannya bergerak menuju Jawa Tengah. Dalam Agresi Militer Belanda Pertama itu Mereka ditugaskan di sisi selatan Jawa.
Dalam perjalanan, mereka melewati kampung-kampung orang Indonesia dan Gunung Slamet yang masih aktif. Perjalanan itu menegangkan.
“Jalan-jalannya kasar, jurang-jurangnya dalam, jembatan-jembatan yang ada patut dipertanyakan kualitasnya,” ingat Sjoerd.
Para sopir di dalam kompinya harus lebih berhati-hati dalam perjalanan itu. Selain bentang alam, dalam perjalanan itu banyak pohon sengaja dirobohkan para kombatan Indonesia untuk menghalangi pergerakan pasukan Belanda. Mereka bisa saja kena sergap pasukan TNI.
Ketika Kompi Sjoerd berada di Purbalingga, datang perintah untuk merebut Kroya sebelum pukul enam pagi. Sjoerd dan pasukannya pun langsung bergerak dengan bantuan senjata tambahan dan angkutan yang dipimpin Letnan Florentius. Rombongan itu berhasil melewati rintangan pohon-pohon tumbang di sekitar Kampung Muncar. Ketika Kompi Sjoerd tiba, permukiman orang Tionghoa (Pecinan) di Kroya sudah terbakar. Namun kota itu berhasil diduduki pasukan Sjoerd yang lalu bertahan di Simpiuh.
Ketika berada di Sumpiuh pada 1948, sebagian anggota kompi ada yang kembali ke sekolah umum, masuk sekolah kader untuk menjadi kopral atau sersan, atau mencari pekerjaan lain. Anak-anak Indo itu sebagian tergantikan oleh tentara-tentara pribumi yang menolak mendukung Republik Indonesia. Meski begitu, pasukan Sjoerd tak hilang kegarangannya dalam melawan pasukan gerilya TNI.
“Saya menerapkan taktik kontra gerilya saya. Saya mengirimkan unit-unit kecil dengan daya tembak yang jauh lebih besar,” terang Sjoerd dalam bukunya.
Untuk menjalankan taktik itu, pasukan dipecah dalam regu-regu yang sangat sedikit anggotanya. Kendati tak umum, Sjoerd meyakini langkahnya tepat.
“Semua orang mengira saya gila ketika saya membagi peleton kompi saya menjadi tiga kelompok,” aku Sjoerd di koran Algemeen Dagblad.
Setiap regu terdiri tiga orang. Sjoerd membekali tiap regu dengan bren yang punya daya hancur besar bagi lawan.
Kala bergerak ke hutan, pasukannya tidak akan memakai sepatu kulit, tapi pakai sepatu bot hutan. Setiap bergerak, pasukan Sjoerd akan bergerak sendirian dan mencari tempat tersembunyi untuk istirahat. Pasukan Sjoerd kadang bergerak di malam hari.
Akhir tahun 1948 menjadi tahun sibuk bagi tentara Belanda di Jawa. Mereka melancarkan apa yang disebut orang Indonesia sebagai Agresi Militer kedua. Pasukan Sjoerd jelas terlibat. Ketika itu pasukannya hendak bergerak dari Gombong ke Magelang guna merebutnya pada 19 Desember 1948. Pasukan Sjoerd dari Andjing NICA itu bergerak paling depan.
Ketika mendekati Prembun di Kebumen pada 19 Desember 1948, Kompi Sjoerd hanya berkekuatan dua peleton infanteri. Bersamanya ada satu mobil pengintai, satu tank, satu jip komando, dan satu artileri.
Setelah mencapai Prembun, pasukannya terus bergerak cepat ke Purworejo. Register Ridders Militaire Willemsorde 4e Klaas nomor 5638 menyebut, dengan pasukan terbatas itu Sjoerd memasuki Purworejo dan melakukan pembersihan terhadap tentara Indonesia dengan taktiknya. Tak hanya kota Purworejo yang yang dibuatnya aman bagi militer Belanda, tapi juga sebuah jembatan di timur Purworejo yang di bawahnya mengalir Kali Bogowonto. Jembatan itu diamankan oleh pasukannya hingga berfungsi untuk dilewati kendaraan militer Belanda yang hendak menuju Ibukota RI Yogyakarta.
Kota Yogyakarta sendiri pada 19 Desember 1948 sudah dimasuki pasukan baret hijau Belanda sedari pagi dan sorenya ibukota RI itu diduduki tentara Belanda.
Pada Desember 1948, Kompi Sjoerd tersebar di Purworejo dan Magelang. Padahal, di dua daerah itu para gerilyawan RI bersembunyi di hutan-hutan dan pegunungan. Mereka siap berhadapan dengan pasukan Andjing NICA.
Pada Juli 1949, Letnan Sjoerd diberi cuti panjang. Dia mempergunakannya untuk mengunjungi Belanda.
Berkat aksinya di Purworejo, Letnan Sjoerd dianugerahi Ridders Militaire Willemsorde kelas empat berdasar Koninklijk Besluit 7 Januari 1950 nomor 10. Pada tahun itu juga pangkatnya naik menjadi kapten.
Namun, anak Jakarta itu tidak kembali tinggal ke kota kelahirannya, Jakarta, serta tak lagi ingin bekerja di perusahaan komunikasi. Dia meneruskan karier militernya di Koninklijk Landmacht (Angkatan Darat Belanda) hingga pangkat mayor. Laki-laki yang sejak muda berkacamata ini pernah menjadi pelatih militer komandan polisi pertahanan di Suriname.









Sudah berkica kica tentang batalyon anjing belanda, merekajuga saudara kita karena seluruh Indonesia adalah Holandia lama, okeh....