- Petrik Matanasi
- 17 jam yang lalu
- 2 menit membaca
DI usia 18 tahun, Tjo Peng An sudah berani mengawini Kho Misin Nio. Perkawinan pemuda-pemudi Tionghoa satu kampung itu terjadi atas perjodohan orangtua si gadis. Pesta pernikahan pun dihelat pada tahun 1918 itu juga. Hadir dalam pernikahan di Karanganyar itu para pemuka Tionghoa setempat.
Namun, setelah kawin dengan Kho Misin Nio, Tjo Peng An masuk ke dalam dunia pengangguran sehingga dia sulit membiayai hidup istrinya. Kondisi itulah yang membualatkan tekadnya untuk meninggalkan istrinya dengan orang tuanya, sementara Tjo Peng An pergi merantau ke Karangjambu. Kemungkinan, Karangjambu –juga Karanganyar–itu berada di Kabupaten Purbalingga.
Di Karangjambu, Tjo Peng An ditampung oleh seorang Jawa bernama Amatredjo. Induk semangnya itu punya seorang putri bernama Moertidjah. Tjo Peng An kepingcut pada putri induk semangnya itu. Gayung bersambut, Amatredjo bahkan tak keberatan putrinya dikawini Tjo Peng An yang ekonominya tidak meyakinkan itu.
Tjo Peng An sendiri lalu ke Purworejo, di mana depot perekrutan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) berada. Tjo Peng An berjuang ingin keluar dari kesulitan ekonominya dengan cara umum yang dilakukan para pemuda Jawa di sekitar Banyumas dan Purworejo era itu, jadi serdadu. Dia pun mendaftarkan dirinya. Tjo Peng An tak pakai nama Tionghoa-nya kala mendaftar, tapi memakai nama Jawa: Kartopawiro.
Di ketentaraan, tulis Algemeen Handelsblad tanggal 9 Juli 1930, dirinya punya kelebihan. Alhasil dia bisa dapat pangkat hingga Hospitaalsoldaat (prajurit kesehatan) kelas dua.
Tjo Peng An alias Kartopawiro kemudian masuk Islam demi bisa kawin dengan Moertidjah binti Amatredjo. Begitu semua persyaratan telah dipenuhi, pesta perkawinan mereka dihelat di Batavia.
Setelah di Batavia, Hospitaalsoldaat Kartopawiro ditugaskan ke luar daerah Jawa selama beberapa tahun. Moertidjah sebagai Nyonya Kartopawiro tentu harus mau ikut ke mana Kartopawiro bertugas. Namun, kemudian hubungan Kartopawiro dengan Moertidjah tidak awet. Kartopawiro menceraikan Moertidjah.
Usai bercerai, Kartopawiro pada 1925 mengambil cuti untuk menjenguk orangtuanya di Karanganyar. Di sana, dia bertemu lagi dengan Kho Misin Nio yang lama ditinggalkannya namun belum diceraikannya. Maka Kho Misin Nio dijadikannya lagi sebagai istrinya, dengan cara yang lebih resmi di mata hukum Belanda, Staatsblad 1924 No. 557, jo 558.
Setelah cuti, Kartopawiro ditugaskan ke Magelang. Sementara Kho Misin Nio tetap tinggal di kampungnya.
Jauh dari istri sah, Kartopawiro di Magelang kepincut dengan perempuan setempat yang bernama Paryem. Kartopawiro ingin menikahinya tapi sengaja diam-diam saja soal perkawinan sahnya dengan Kho Misin Nio, yang tak dia ceraikan.
Paryem akhirnya dinikahi Kartopawiro. Kabar perkawinan Kartopawiro itu sampai juga ke telinga orangtua Kho Misin Nio. Maka keluarga Kho Misin Nio pun bergegas ke Magelang. Kartopawiro dilabrak. Kartopawiro kemudian memutuskan hubungan perkawinannya dengan Paryem.
Namun, itu belum bisa memuaskan hati Kho Misin Nio. Istri Kartopawiro itu lalu melaporkan ke pihak militer. Alhasil, Kartopawiro alias Tjo Peng An dihukum pengadilan militer dua bulan kurungan karena perkawinannya yang tumpang tindih. Begitulah yang dikisahkan koran Algemeen Handelsblad tanggal 9 Juli 1930 dan Deli Courant edisi 1 Juli 1930.*













Komentar