top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Ketika Poligami Jadi Soal Negara

Sikap antipoligami Ibu Tien menjadi sebab ketegasan Presiden Soeharto terhadap pejabat negara yang doyan kawin.

18 Des 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. (Wikipedia).

SITI HARTINAH, istri Presiden Soeharto, punya pegangan hidup dalam membina biduk rumah tangga. Bagi Ibu Negara yang akrab di sapa Ibu Tien ini, prinsip pernikahan monogami adalah harga mati.


“Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” kata Soeharto sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. 



Prinsip ini pula yang dijunjung tinggi Soeharto sejak menyunting Tien sebagai pendamping hidupnya. Dalam suasana revolusi, Tien dan Soeharto memutuskan menikah pada 26 Desember 1947. Hingga akhir hayat masing-masing, keduanya tetap setia sebagai pasangan suami-istri.  


Suara dari Istana

Menurut Roeder, Ibu Tien sangat menentang poligami. Soalnya, pria yang memperistri lebih dari satu perempuan seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam perkawinan. Rentannya kedudukan perempuan akibat belenggu poligami memicu Tien ikut memperjuangkan hak perempuan. Itulah sebabnya, Tien berpadu dengan para pemimpin organisasi wanita yang getol memperjuangkan Undang-undang (UU) Perkawinan.


Sejak pengujung 1960, Rancangan UU Perkawinan telah digulirkan. Namun prosesnya berjalan alot penuh aral. Di tingkat legislatif, wacana UU Perkawinan memantik perdebatan dan pertentangan yang ujung-ujungnya mentok.



Penolakan terutama datang dari kelompok Islam karena praktik poligami dibenarkan dalam hukum syariat. Pasal-pasal dalam UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Tak heran, demonstrasi kerap mewarnai perjalanan menggolkan UU Perkawinan baik dari mereka yang pro maupun kontra.


Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU Perkawinan lewat serangkaian aksi unjuk rasa, maka Tien bergerak dari jalur istana. Tien mendorong suaminya agar memberikan ruang bagi perempuan melalui UU Perkawinan. Soeharto yang menerima RUU Perkawinan itu kemudian meneruskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  


“Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci,” kata Soeharto di hadapan DPR dikutip Abdul Gafur dalam Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia. "Karena itu sudah seharusnya negara memberikan perlindungan yang selayaknya kepada suami atau istri terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari kerukunan perkawinan."  



Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan akhirnya diputuskan sebagai UU No. 1 tahun 1974. UU ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur regulasinya sesuai peraturan perundang-undangan. Perjuangan kaum istri terjawab setelah UU ini menetapkan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangannya, mensahkan UU yang peka dan pelik itu.


Menjewer Pejabat Negara

Tien agaknya menyadari praktik poligami juga dilakukan oleh para pejabat tinggi negara. Di kalangan TNI, misalnya, beberapa jenderal teras punya reputasi sebagai “Don Juan”. Jenderal Soemitro dan Herman Sarens Sudiro hanyalah segelitir nama. Menyaksikan hal demikian, Tien pun jengah.


“Memang Ibu Tien Soeharto sangat mengecam perwira yang poligami. Dan bisa jadi akhir buat karier perwira itu di TNI,” kata Sayidiman Suryohadiprodjo, wakil KSAD periode 1973-74, kepada Historia.



Ikhtiar Tien untuk mencegah poligami dan perceraian pun tak berhenti sampai UU Perkawinan. Peraturan serupa diberlakukan kepada tentara pada 1980 dan polisi pada 1981. Puncaknya ketika dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 21 April 1983.


Menurut Cindya Esti Sumiwi, lahirnya PP tersebut lantaran berbagai tuntutan dari para anggota Dharma Wanita (istri-istri PNS) yang resah dengan kelakuan suami mereka. Kelakuan yang dimaksud seperti poligami secara diam-diam maupun perceraian yang sewenang-wenang.


“Pada intinya, PP ini membahas mengenai peraturan pernikahan untuk PNS yang bersangkutan meminta izin kepada atasannya dan diizinkan secara tertulis, baik untuk percerain atau pernikahan yang kedua/ketiga/dan seterusnya,” tulis Cindya dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974—1983”.



Menurut Ny. T. Fuad Hasan dalam Dwiwindu Dharma Wanita: 5 Agustus 1974-5 Agustus 1990, pengesahan rancangan PP No. 10 tak terlepas dari peranan Ibu Tien. Perannya secara gamblang terjejaki dalam buklet Dharma Wanita yang mengakui dukungan kuatnya dalam perjuangan Dhama Wanita untuk PP 10.


Dalam artikelnya "Seksualitas dalam Pengaturan Negara", dimuat Prisma, 7 Juli 1991, sejarawan-cum-aktivis gender Julia Suryakusuma menyebut konon PP 10 merupakan cermin kecemasan dari seorang Tien Soeharto terhadap kebiasaan kawin-mawin pejabat elite bergaya priayi. Umum diketahui, Ibu Tien Soeharto dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami. Bagi mereka yang berani membangkang, siap-siap saja kena ganjarannya.



Widjojo Nitisastro yang menjabat menteri koordinator ekonomi merangkap ketua Bappenas hanyalah satu contoh yang harus menerima konsekuensi PP 10. Widjojo memutuskan menceraikan istrinya dan menikahi sekretarisnya. Dia akhirnya harus melepas jabatannya namun tetap dipertahankan sebagai penasihat ekonomi.

“Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk, dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian,” tulis Julia.  


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page