- Petrik Matanasi
- 2 jam yang lalu
- 3 menit membaca
WOENTOE dan Tombeng merupakan dua pemuda asal Minahasa yangg menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Keduanya bertugas di Batalyon Infanteri ke-15 di Cimahi, Bandung.
Pada pertengahan 1927, keduaya berada di Semarang entah karena sedang bertugas atau ada kegiatan lain non-tugas. Ketika di Semarang itu lah pada 13 Juli 1927 Woentoe dan Tombeng bertemu seorang Kopral Wakidi alias Prawirosoengoto dari Legiun Mangkunegara. Ketiganya lalu membicarakan politik. Algemeen Dagblad tanggal 26 Juli 1927 menyebut, selain membicarakan tentang Rusia dan Tiongkok yang bergolak, mereka bicara soal “pemerintahan asing dan kaum kapitalis.”
Kopral dari pasukan keraton Mangkunegara itu kemudian kembali ke Solo. Legiun Mangkunegara merupakan hulptroepen (pasukan bantuan) bagi militer Belanda. Ketika itu yang berkuasa di keraton Mangkunegaran adalah Kanjeng Pangeran Aria Adipati Mangkunegoro VII (Raden Soerjo Soeparto).
Woentoe dan Tombeng kemudian juga pergi ke Solo naik mobil. Kedua orang Minahasa itu menuju tangsi tentara kavaleri di Solo guna mereka mencari prajurit kavaleri KNIL bernama Rangkap. Ternyata Rangkap baru saja dari Manado.
Rangkap amat senang bertemu Woentoe dan Tombeng. Suasana hangat menyelimuti pertemuan mereka bertiga. Rangkap lalu diajak ikut dalam sebuah pertemuan di rumah Atmodikromo, yang juga serdadu Mangkunegara, pada Jumat (15 Juli 1927) malam.
Atmodikromo alias Soekarmin berpangkat soldaat schoenmaker (prajurit pengurus sepatu) di Legiun Mangkunegara. Ia bawahan dari Wakidi. Di sana, Rangkap berkenalan dengan pria yang tampak hebat di matanya dengan lencana kopral di seragamnya. Wakidi lalu bercerita soal pangkatnya.
“Saya telah melakukan yang terbaik dan belum lama ini diangkat menjadi kopral juru tulis," terang Wakidi kepada Rangkap.
Usia Wakidi alias Prawirosoengoto ketika itu 44 tahun. Sedangkan Soekarmin masih 33 tahun.
Singkat kata, Rangkap tertarik ikut gerakan yang dihelat di rumah Soekarmin itu. gerakan yang dimaksud adalah gerakan politik. Orang Minahasa dalam KNIL punya catatan setidaknya tiga kali memberontak terhadap Belanda di abad ke-20. Rangkap lalu diberi uang 500 gulden dan diminta mengajak prajuarit-prajurit kavaleri lain di kesatuannya untuk mendukung gerakan rahasia mereka. Rangkap setidaknya hendak membujuk 36 prajurit kavaleri di Solo untuk ikut dalam gerekan. Pun Kopral Prawirosoengoto, juga terus mencari kawan di kesatuannya.
“Dalam bulan ini, akan ada pemberontakan komunis, dan saat itu kau tidak boleh menembak mereka,” terang Kopral Prawirosoengoto.
Di masa itu, prajurit yang terlibat dalam komplotan itu makan mie yang cukup enak dan tak lupa mengajak orang-orang yang mau ikut untuk makan enak pula. Rangkap juga suka berbagi uang kepada kawan-kawannya di kesatuannya yang orang Madura. Masing-masing 5 gulden.
Namun, tiada rahasia yang benar-benar aman di dalam kesatuan militer. Dua di antara kawannya itu lalu melapor kepada Kapten Gaerlings di garnisun Solo tentang adanya gerakan makar. Kerusuhan yang direncanakan terjadi pada 17 dan 18 Juli 1927 di Solo itu akhirnya mati sebelum lahir. Pembersihan dengan cepat dilakukan. Rangkap jelas diperiksa komandan kesatuannya, Letnan Dua Fockema. Kopral Prawirosoengoto dan Atmodikromo juga kena gulung.
Rencana pemberontakan militer itu kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 November 1926, orang sipil banyak terlibat pemberontakan yang terkait dengan PKI pula. Seperti orang sipil yang terlibat pemberontakan PKI pada 13 November 1926 di Jawa, Atmodikromo dan Wakidi juga diberi hukuman yang sama. De Indische Courant tanggal 20 Juli 1928 memberitakan, Kopral Prawirosoenggoto alias Wakidi dan Prajurit Atmodikromo alias Soekarmin lalu dibuang ke Boven Digoel. Keduanya adalah propagandis Sarekat Rajat Baroe yang tinggal di Surakarta. Kedua bekas Legiun Mangkunegaran itu pun menjalani isolasi di tengah belantara Papua yang sunyi dan sulit untuk melarikan diri.









