- Petrik Matanasi
- 24 Nov
- 3 menit membaca
SUATU hari di tahun 1954, rumah keluarga Him Ie Nyan di Pasar Baru, Jakarta kedatangan dua tamu. Mereka bukan akan pesan koper atau semacamnya lantaran Him Ie Nyan penjual koper kulit. Dua tamu itu adalah anggota satuan Pertahanan Sipil (Hansip). Di telinga Him Ie Nyan yang sedang duduk di meja, kedua hansip itu terdengar sedang marah-marah.
“Sedang tidak punya uang, lain kali ke sini lagi,” kata Him Ie Nyan kepada dua hansip tadi.
Kedua hansip tetap tidak mau pergi. Saking inginnya uang dari Him Ie Nyan, kedua hansip itu lalu menendang kursi Him Ie Nyan. Setelah pergi tanpa dapat uang, dua hansip itu tak lupa ngomel-ngomel.
Him Ie Nyan hanya bisa bersabar. Kesedihannya tak terbendung, air matanya tertumpah. Merasa sebagai pendatang sulit baginya untuk melawan hansip, yang biasanya bukan pendatang. Him Tek Ji, anak laki-lakinya yang baru 10 tahun, pun tentu tak bisa berbuat banyak. Orang Tionghoa dianggap pendatang, tak punya backing di kekuasaan maupun dalam kemiliteran atau lembaga yang kemiliter-militeran macam Hansip.
Begitulah keadaan keluarga Him Ie Nyan sebagaimana dikisahkan Him Tek Ji dalam memoarnya, Tedy Jusuf, Kacang Mencari Kulitnya.
Orang Kristen ke Istiqlal
Tak terasa, masa SMA Him Tek Ji hampir berlalu. Dia hanya tinggal menanti ijazahnya keluar. Kala itu ijazah SMA masih berharga lantaran lulusan SMA belum sebanyak sekarang. Pada 1962, lulusan SMA bisa jauh dari pekerjaan kuli dan ijazahnya tidak akan ditahan pemilik toko.
Him Tek Ji sangat ingin kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), seperti Sukarno setengah abad sebelumnya. Tapi Tek Ji sadar keadaan. Ada adik-adiknya yang harus dibiayai sekolah dasar dan menengahnya. Tak hanya dirinya saja yang butuh uang hasil keringat ayahnya.
Di tengah kegalauannya akan masa depannya itu, Him Tek Ji kedatangan salah satu pamannya dari Semarang. Kegalauannya pun sirna.
“Apakah mau masuk AMN?” tanya Gustaaf Brugman, pria yang biasa disapanya sebagai Om Brugman itu.
Tek Ji hanya terdiam. Esoknya, dirinya diajak Om Brugman pergi. Om Brugman berpakaian necis atasan dan bawahan putih dilengkapi dasi. Rupanya dia hendak mengantar Tek Ji mendaftar agar menjadi tentara. Mereka lalu pergi ke daerah Gambir. Mula-mula ke tempat yang kini menjadi Markas Kostrad, lalu ke Mabes Angkatan Darat dan akhirnya tempat yang kini jadi Masjid Istiqlal yang kala itu markas KODAM Jaya.
Tek Ji pun mencoba peruntungannya. Kala itu yang terpikir olehnya hanyalah untuk menyenangkan Om Brugman.
Brugman sendiri merupakan tentara. Dari dokumen tawanan perangnya, dia ditawan militer Jepang setelah Jepang berkuasa di bekas Hindia Belanda. Saat ditawan, dia tercatat sebagai personel zeni KNIL di Malang, Jawa Timur dengan pangkat Adj. Onderofficier.
Tek Ji dan Brugman lalu ke bagian Ajudan Jenderal (Ajen) untuk mendaftar. Pendaftaran hampir ditutup, tapi Tek Ji masih bisa mendaftar dan akhirnya boleh ikut tes.
Setelah mengikuti serangkaian tes, Tek Ji ternyata diterima dan berangkat menuju Magelang, tempat Akademi Militer Nasional (AMN) berada. Sekolah kedinasan gratis ini adalah pencetak perwira Angkataran Darat.
Pendidikan dilaluinya hingga lulus. Setelah lulus sebagai perwira infanteri, Tek Ji menjalani kariernya dengan duka dan sukanya sebagai perwira. Dia akhirnya sampai menjadi contoh langka di Angkatan Darat, yakni menjadi brigadir jenderal keturunan Tionghoa.
Jauh sebelum jadi jenderal, ketika masih menjadi letnan dua, Tek Ji pernah bertemu dua hansip yang dulu minta uang dengan kasar kepada ayahnya. Dua hansip itu tampak tertunduk. Keduanya merasa kalah seragam. Tek Ji tak bisa melupakannya.
“Jangan coba-coba lagi ganggu Papa saya, saya tembak kepalamu. Mulai saat ini, kamu tidak boleh lewat depan rumah saya!” kata Tek Ji kepada kedua hansip itu.
“Iya, Pak. Maaf,” kata hansip.
Semasa berdinas di TNI, Tek Ji yang kemudian dikenal sebagai Tedy Jusuf itu pernah bertugas di Batalyon Infanteri 519 dan 507 (Sikatan) di Jawa Timur. Dia juga pernah dikirim ke Timor Timur. Setelahnya, dia pernah dipercaya menjadi komandan KODIM Jakarta Pusat, komandan KOREM Manado, lalu staf ahli panglima ABRI. Dia jadi jenderal di masa orde baru, ketika orang Tionghoa sulit berekspresi dan hanya dihargai karena perkara ekonomi dalam orde yang mendaku diri orde pembangunan itu.









