- Petrik Matanasi
- 10 Nov
- 6 menit membaca
LEBIH dari tiga tahun terpisah membuat Martin Florimond Alexis Goede (1909-1993), serdadu Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) asal Suriname, serius mencari istrinya begitu ada kesempatan usai Jepang menyerah pada Sekutu. Istrinya, Francisca Anna Vermeer (1918-1984), juga ditahan dalam kamp interniran sejak Jepang menguasai Hindia Belanda tapi beda kota. Martin, yang kelahiran Paramaribo, 7 Agustus 1909, beruntung akhirnya bisa menemukan Anna dan membawanya bersama-sama pergi kembali ke sebuah kamp.
Walaupun sudah bebas dari tentara Jepang yang lebih dari tiga tahun menjadikan mereka tawanan perang, tak ada pilihan bagi orang-orang Belanda selain kembali kamp setelah Agustus 1945. Setelah kedatangan tentara Inggris ke kota-kota pelabuhan di Jawa, banyak orang Indonesia mengamuk terhadap orang Belanda maupun orang-orang yang dianggap membantu Belanda.
Ketika itu, banyak dari mereka terpisah dari pasangan, anak atau orangtua karena pada 1942 tentara Jepang memisahkan mereka ke kamp-kamp interniran yang berbeda-beda. Berada di kamp membuat mereka bisa mendapatkan informasi akan sanak keluarga. Kamp yang dikelola orang Belanda setidaknya membuat mereka bisa berkumpul dan bekerjasama saling melindungi dari amukan orang-orang Indonesia.
Di dalam kamp, orang-orang Belanda harus latihan militer untuk bertahan hidup. Upaya itu berguna untuk tujuan yang lebih agresif jika tersedia senjata dan logistik. Banyak bekas tawanan kamp menjadi tentara Belanda dan berperan dalam perang melawan Republik Indonesia.
Setelah Mencari Istri yang Hilang
Anna, yang kelahiran 21 Maret 1918 di Belanda Selatan, ditemukan Martin di Kamp Makassar, Bogor. Waktu tentara Jepang berkuasa, serdadu KNIL itu pernah ditawan di Kamp Sukamiskin, Bandung. Dari Bogor, Martin dan Anna pergi ke Bandung.
“Dengan menumpang kereta api, kami akhirnya tiba di kamp Cihapit di Bandung,” aku Martin Goede dalam buku Het Andjing NICA Bataljon KNIL in Nederlands Indie 1945-1949.
Banyaknya orang yang ingin berlindung membuat kamp penuh. Di Kamp Cihapit, ada Kapten Adrianus van Santen (1906-1983), yang juga bekas tawanan perang. Demi keamanan bersama, Kapten Adrianus mengatur pertahanan kamp. Mereka amat rentan ditembaki dari luar kamp. Kapten Adrianus mengumpulkan beberapa mantan perwira dan bintara KNIL. Total ada delapan orang. Mereka mempelajari sisi-sisi kamp dan mengantisipasi kelemahan kamp. Sebuah pos didirikan di sisi Jalan Riau.
Mereka melibatkan semua orang di dalam kamp, termasuk anak-anak muda yang belum pernah menjadi serdadu. Bahaya pada masa bersiap itu (setelah September 1945) membuat banyak anak muda di dalam kamp –entah orang Belanda, Indo, maupun Ambon– itu rela menjadi sukarelawan untuk angkat senjata.
“Pelatihan para relawan dimulai, awalnya tanpa senjata apa pun,” kata Martin.
Namun, diam-diam Kapten Adrianus mencari senjata ke berbagai tempat. Ketika itu penguasa militer Inggris di Bandung melarang peredaran senjata di luar militer Inggris. Kolonel Grey, salah satu komandan Inggris di Bandung, bahkan pernah memprotes tindakan pemuda-pemuda Ambon yang menangkap seorang polisi Indonesia karena melakukan kekejaman di sekitar Lapangan Terbang Andir hingga tak disukai orang-orang Belanda.
Inggris awalnya memilih “tutup mata” dengan gerakan kemerdekaan Indonesia. Sebagai pihak yang dilimpahi menjaga kekuasaan di Asia Tenggara berdasarkan Perjanjian Potsdam, Inggris hanya berupaya menjaga ketertiban dan mengembalikan status quo tanpa mengganggu kehendak politik rakyat Indonesia. Untuk itu, Inggris menggunakan Jepang menjadi ujung tombak keamanan.
“Ketergantungan Inggris pada Jepang diperlukan oleh kelemahan militer mereka sendiri. Pada November 1945, dengan pertempuran yang terjadi di seluruh Jawa, Inggris telah mencapai batasnya. [Letjen Philip] Christison meminta bala bantuan kepada [Laksamana Louis] Mountbatten tetapi diberi tahu bahwa tidak ada yang tersedia. Mountbatten berkata: 'Persenjatai kembali Jepang dan ambil alih komando mereka.' Mayor Hickey telah mengamati: 'Garnisun Bandoeng ditingkatkan dalam waktu seminggu dengan 1500 orang Jepang bersenjata, sangat melegakan Brigadir Mac (Brigadir Macdonald, Komandan Brigade Infanteri India ke-37), yang sudah kekurangan satu batalyon (3/10 [Gurkha Rifles])',” tulis Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946.
Namun, larangan Inggris menyusahkan orang-orang Belanda. Mereka butuh senjata api untuk bertahan dari serangan orang Indonesia. Larangan Inggris tak membuat Kapten Adrianus hilang akal hingga mendapatkan dua pucuk senapan berlaras agak pendek. Dia menyelundupkan dua pucuk karabin di dalam karung goni untuk Martin dan yang lain.
“Dengan dua senjata ini, saya memberikan instruksi senjata di halaman belakang rumah saya kepada Toepanwaël, Boetje Habibu, Pattinama, dan seorang kopral Ambon,” terang Martin.
Senjata itu tak hanya untuk latihan, tapi juga dipakai oleh prajurit jaga di pos Jalan Riau. Sebelumnya, prajurit jaga bersenjatakan klewang atau parang. Dengan karabin penjaga bisa membalas tembakan dari luar.
Di dalam Kamp Cihapit juga terdapat seorang Belanda bernama belakang Otten. Dia mengaku bekas anggota KNIL dengan pangkat ajudant (setara pembantu letnan satu atau dua di Tentara Nasional Indonesia; satu tingkat di atas sersan mayor). Sebagai mantan prajurit, Otten memberikan latihan kepada pemuda macam L.F.J. Rompas. Anak-anak muda itu dibekali latihan praktik tindak militer, kerja bakti, latihan di alam terbuka, dan juga stimulasi pertempuran.
“Adjudant Otten seorang prajurit sejati. Ia memberi instruksi dengan dagu ditekuk dengan suara tajam dan keras layaknya kader profesional KNIL. Kalau dipikir-pikir ia memang melatih kami dengan baik,” kenang Rompas dalam buku Het Andjing NICA Bataljon KNIL in Nederlands Indie 1945-1949.
Suatu kali, datang kabar resmi. Rupanya pangkat Otten bukan adjudant. Namun, di masa bahaya itu militer Belanda tak punya waktu untuk menghukumnya atas penipuan tersebut. Maka, diumumkan bahwa pangkat Otten adalah prajurit rendahan saja. Otten pun harus menanggung malu atas ulahnya.
Namun, pelatihan itu berhasil membuat para prajurit muda di dalam kamp siap bertempur dengan penuh semangat. Orang-orang yang ikut dilatih oleh Martin dan Otten berkembang menjadi sebuah pasukan. Mereka adalah bagian penting di awal sejarah Batalyon Infanteri V KNIL yang kemudian dikenal sebagai Batalyon Andjing NICA.
Pasukan itu mulanya berada di Bandung. Pada 1947, pasukan tersebut ditugaskan ke Jawa Tengah.
Martin Goede sendiri tak hanya melatih tapi juga dipercaya memimpin pasukan. Pada 30 Juli 1946, dia memimpin satu setengah seksi Batalyon Andjing NICA, kebanyakan orang Timor, bertempur di Gunung Putri, Lembang.
“Buat Andjing NICA kita orang tidak mundur,” kata Martin Goede.
Setelah melewati pepohonan dan rerumputan, mereka melintasi parit. Martin menyuruh bawahannya untuk memeriksa. Anak buahnya menemukan pasukan sekitar 200 orang Indonesia. Terdapat pula 16 orang Jepang dan seorang haji.
Mengetahui keberadaan Andjing NICA, para pejuang Indonesia memberikan tembakan. Namun, tembakan mereka kalah akurat dibandingkan tembakan serdadu-serdadu Andjing NICA. Pertempuran terjadi sekitar pukul 10.00 pagi.
“Serang regu kedua!” teriak pimpinan pejuang Indonesia yang didengar Martin Goede.
Alih-alih panik, Martin Goede memerintahkan penembak bren dan asistennya untuk mengikutinya bergerak maju sekitar lima langkah keluar dari parit. Maka, mereka berhadap-hadapn dalam jarak sekitar dua meter. Martin Goede dan psukannya langsung menembaki mereka.
“Untuk menghindari kemungkinan pengepungan, kami mundur sedikit dan kembali ke posisi kami. Saya mengirim dua orang ke Junghuhn untuk membawa bala bantuan dari Lembang. Setelah satu jam, Letnan Stöcker tiba dengan dua regu tentara Eropa dan satu regu Timor,” kenang Martin Goede.
Pertempuran berakhir dengan banyak korban di pihak pejuang Indonesia. Senjata dan amunisi milik mereka pun dirampas.
Pihak Belanda mencatat kegemilangan Goede itu. “Sebuah patroli dari kompi keempat, di bawah Sersan Mayor Goede, menghancurkan pasukan TNI di utara Gunung Putri (Lembang),” tulis Letnan Sjoerd Albert Lapre dalam Het Andjing NICA Bataljon KNIL in Nederlands Indie 1945-1949.
Sersan Mayor Martin Goede mendapat promosi jabatan. Pangkatnya naik menjadi Adjudant. Sejak 27 September 1946, dia menjadi perwira instruktur di KNIL.
Masuk Parit dan Celaka
Sedari muda, Martin Goede sudah menjadi serdadu dengan nomor stamboek 88562. Studbook atas nama dirinya menginformasikan, Martin datang ke Hindia Belanda pada 1929 sebagai serdadu rendahan. Pada September 1930, dia mendapat promosi brigadir sementara (setara kopral). Pangkatnya terus merangkak naik hingga sersan mayor saat pecah Perang Dunia II. Pengalaman itu membuatnya menjadi orang penting di Batalyon Andjing NICA.
Setelah pertempuran di Gunung Putri, Martin Goede sempat bertugas di Arjasari, dekat Bandung. Suatu hari, pasukannya kedatangan seorang desertir TNI yang ditampung di Batalyon Andjing NICA.
“Kemudian saya dipindahkan ke Angkatan Darat Kerajaan Belanda untuk membantu pasukan yang baru tiba dari Belanda untuk mengenal patroli, operasi malam, dan sebagainya,” kata Martin Goede.
Namun, prajurit dari Belanda yang baru berdatangam pada 1946 punya masalah tersendiri. Pemuda-pemuda wajib militer itu tak hanya kurang pengalaman, kebanyakan dari mereka juga kurang mengenal dan belum bisa beradaptasi dengan medan perang. Ajudant Martin Goede bersama Sersan Merty dan Sersan Eberlein lalu mengurus mereka. Mereka sering tersesat hingga Martin Goede harus mencari posisi mereka dalam latihan-latihan malam. Ini tak hanya melelahkan.
“Selama latihan ini, saya terjatuh ke dalam parit dan terluka parah, lalu dibawa ke rumah sakit,” aku Martin.
Sakit membuat Martin Goede tak bisa berlama-lama berdinas. Namun, ada penghiburan baginya, pada 11 Maret 1947 dia dipromosikan menjadi letnan dua. Usianya ketika itu sudah 38 tahun meski masih usia baik untuk berdinas.
Martin Goede mendapat cuti sakit sebagaimana umumnya perwira yang jadi tahanan waktu zaman Jepang. Pada 2 Februari 1948, Martin naik kapal Oranje ke Belanda. Lantaran Martin dianggap cacat fisik, pada 31 Maret 1948 dia diberhentikan dengan hormat dari dinas militer. Ia pun tak pernah kembali lagi ke Hindia Belanda.
Ketika Martin Goede diberhentikan, Batalyon Andjing NICA yang dipimpin Kapten van Santen berada di Sumpiuh, Jawa Tengah. Batalyon ini menjadi andalan Belanda. Andjing NICA bergerak maju ke timur, ke Purworejo dan Magelang, sebelum akhirnya ditempatkan di Kalimantan untuk dibubarkan. Bekas anggotanya yang umumnya berkualitas, ada yang kemudian masuk TNI.*











Komentar