- Petrik Matanasi
- 25 Apr
- 2 menit membaca
PADA suatu hari di zaman dahulu, Putri Rumimoto alias Lumimuut mesti menyeberangi lautan demi mencapai sebuah tempat. Maka, dengan kawalan Panglima Tumura alias Toar dan pasukannya, Lumimuut pun mengarungi lautan.
Ombak sedang besar dan arus laut begitu kuat saat itu karena badai sedang “pentas”. Nahas pun tak bisa ditolak. Lumimuut beserta para pengawalnya hanyut dibawa ombak ke arah selatan. Mereka akhirnya menemukan sebuah pulau yang dinamakan Luzon dan Luzon Baru. Pulau Luzon kemungkinan Pulau Luzon yang di Filipina. Pulau Luzon Baru itu disebut pula sebagai Molusan.
“Moluson kemudian disebut Malesung oleh keturunannya,” tulis AE Sinolungan di artikelnya di Majalah Maesan nomor 10, September 1986, hingga ada istilah zaman Malesung.
“Malesung ialah nama asli dari Minahasa di zaman purba,” kata buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi.
Namun, ada versi lain cerita tentang Lumimuut dan Toar. Dalam versi ini, Lumimuut digambarkan sebagai putri yang ditinggalkan orangtuanya naik perahu ke arah selatan. Sementara Toar digambarkan bukan sebagai panglimanya, melainkan putra yang dilahirkannya. Versi lain lagi menyebutkan, Toar dan Lumimuut adalah pasangan.
Apapun versinya, Toar dan Lumimuut telah dianggap sebagai leluhur dari orang-orang yang meninggali Minahasa, Sulawesi Utara.
“Kelompok masyarakat yang tidak mengakui atau memuja leluhur utama Toar-Lumimuut dan Karema akan dimusuhi sub-etnis Minahasa. Ikrar ini dikuatkan dengan membuat gambar manusia simbol utama di Batu Pinawetengan yaitu perdamaian diakhiri dengan korban manusia,” catat Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.
Keturunan Toar-Lumimuut kemudian melahirkan beberapa sub-etnis. AE Sinolungan menyebut, keturunan mereka menjadi puak-puak seperti Toudano, Totembuan, Tonsea, Pasan, Tomohon, Bantik, dan Panasokan. Keturunan Toar dan Lumimuut kini dikenal sebagai orang Minahasa atau orang di luar Sulawesi Utara menyebutnya orang Manado.
“Mengetahui moyangnya dari utara, tumbuh kecendrungan dan dorongan ke arah utara. Mereka menyebar dari Bolang Uki lewat darat dan laut ke daerah utara dan kemudian mendiami Minahasa,” catat AE Sinolungan.
Malesung juga kemudian menjadi nama agama adat yang dianut orang Minahasa sebelum kedatangan agama Kristen ataupun Islam. Agama Malesung mengajarkan penganutnya menghormati leluhur mereka. Penganut Malesung percaya bahwa tempat atau benda memiliki roh yang menjaga manusia yang kini masih ada serta lingkungan tempat mereka hidup.
“Apo Kasuruang Wangko (Tuhan Sang Pengasal) adalah yang menciptakan segalanya. Ia dipercaya sebagai ‘orang tua’ yang selalu menyayangi, menjaga, memberikan berkat, menuntun, dan mendisiplinkan,” terang Iswan Sual, penganut Malesung yang masih tersisa, kepada Historia.
Oleh Belanda, Malesung disebut Alifuru. Sebutan ini juga digunakan untuk agama adat orang Ambon atau Maluku.
“Mungkin ada persamaan. Sistem kepercayaan asli Minahasa atau Malesung sebenarnya tak memiliki nama,” ujar Iswan.
Jadi, nama Malesung menjadi identifikasi mereka (Belanda) untuk agama-agama lokal tersebut.
Ada yang memperkirakan, perubahan nama Malesung menjadi Minahasa terjadi sekitar 1428, berdasar musyawarah di Batu Pinawetengan. Minahasa dipercaya berasal dari kata Mina Esa yang artinya telah bersatu.
Minahasa telah menjadi sebutan bagi seluruh sub-etnis keturunan Toar-Lumimuut. Keturunan mereka hidup rukun, bahkan dengan mereka yang bukan Minahasa. Keturunan Toar-Lumimuut bersemboyan Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara). Keturunan Toar-Lumimuut juga mengedepankan Tou Timou Tumou Tou (Orang hidup menghidupkan orang lain), sesuatu yang ditulis dalam makam Pahlawan Nasional Sulawesi Utara Sam Ratulangi.*
Comments