- Petrik Matanasi
- 23 Apr
- 2 menit membaca
SEBELUM banyak agama dari luar berdatangan, penduduk di berbagai daerah Nusantara sudah memiliki agama-agama lokal masing-masing. Tak terkecuali orang Minahasa di Sulawesi Utara.
“Apo Kasuruang Wangko (Tuhan Sang Pengasal) adalah yang menciptakan segalanya. Ia dipercaya sebagai ‘orang tua’ yang selalu menyayangi, menjaga, memberikan berkat, menuntun, dan mendisiplinkan,” terang Iswan Sual, salah satu penganut Malesung terkemuka di Minahasa, kepada Historia mengenai ajaran agama lokal bernama Malesung.
Malesung mengajarkan penganutnya menghormati leluhur mereka. Iswan Sual menerangkan, leluhur dianggap berjasa dalam kehidupan mereka. Melalui sesaji, para penganut Malesung memberikan penghormatan. Penganut Malesung percaya bahwa tempat atau benda memiliki daya hidup atau roh yang menjaga manusia yang hidup serta lingkungan.
Tentang Tuhan yang punya banyak nama, Apo Kasuruang Wangko, Empung Wailan Wangko', Apo Wananatas dan lain-lain, menurut Iswan Sual, berangkat dari sifat-sifat Tuhan.
“Tuhan memiliki tiga sifat utama: Manembo-nembo (selalu melihat dan memperhatikan), manalinga (selalu mendengar doa, keluhan, dll.), Renga-rengan (selalu berada di samping, bersama). Ia memiliki benih dan sifat yang tak terbatas,” ujarnya.
Namun, tatanan itu perlahan berubah. Masuknya Katolik yang dibawa penjelajah Spanyol merupakan salah satu penyebabnya.
“Ketika Pater Katolik Spanyol membaptis Muntu-untu (pemimpin Dewa-Dewi) maka ajaran agama suku atau agama asli Minahasa menjadi kacau-balau, misalnya sebutan Dewa dan Tuhan berbaur menjadi satu kata yang disebut Opo’ Empung. Yang paling menyulitkan adalah hilangnya batas-batas pemisah antara upacara keagamaan dan upacara adat,” terang Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.
Agama Kristen masuk perlahan ke Sulawesi Utara sejak kedatangan orang-orang Portugis yang Katolik. Penginjil-penginjil Calvinis (Kristen Protestan) dari zending (lembaga penyebar agama) Eropa yang datang kemudian makin masif pada abad ke-19. Kristen pun mulai diterima masyarakat Minahasa di pedalaman.
“Pada tahun 1829 organisasi misi Protesten Belanda NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) di Rotterdam memutuskan untuk secara penuh mengkristenkan seluruh Minahasa dan Sulawesi Utara,” catat Jessy Wenas.
Usaha zending itu sukses. Banyaknya orang Kristen di Minahasa hingga hari ini merupakan buktinya.
Di era kolonialisme Belanda itu, agama Malesung disebut sebagai “Alifuru”. Hal ini juga menimbulkan kerancuan. Sebab, Alifuru juga menjadi sebutan terhadap penganut agama asli orang Ambon atau Maluku. Menurut Iswan Sual, bisa saja antara agama asli Minahasa dan agama asli Maluku ada kesamaan.
“Sistem kepercayaan asli Minahasa atau Malesung sebenarnya tak memiliki nama. Untuk merujuk padanya, istilah yang banyak dipakai adalah Peposanan atau Pepelihian, yang artinya upacara yang berisi larangan-larangan. Cuma, karena kebutuhan kami lebih suka diidentifikasi sebagai penghayat kepercayaan/agama Malesung. Pendeknya Malesung saja,” terang Iswan Sual.
Setelah lama menghilang, Malesung timbul lagi di zaman Permesta, paruh kedua 1950-an. Namun, pada 1965 redup lagi. Seiring perjalanan waktu, penganutnya kian sedikit. Antara lain karena adanya agama resmi, di mana salah satu eksesnya adalah orang yang tak menganut agama negara bisa dicap tak bertuhan.
Kini, pengikut Malesung berserikat dan berkumpul dalam organisasi penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung. Dalam keseharian, mereka hidup seperti kebanyakan orang Minahasa.
“Berbaur dengan masyarakat. Kebanyakan petani. Tapi ada juga yang berdagang dan PNS,” sambung Iswan Sual.*
Comments