- Petrik Matanasi
- 28 menit yang lalu
- 2 menit membaca
DI suatu malam, datanglah seorang perempuan yang disebut-sebut istri muda walikota Ambon ke klub malam bernama Latin Quarter. Tanpa ada walikota Ambon yang menjadi suaminya, perempuan itu datang ditemani beberapa laki-laki. Salah satu laki-laki itu bertanya ke kasir tempat Gito Rollies dan Gaga Abulhayat melayani pelanggan dan menanyakan bill yang harus dibayar. Rp14.950 jumlah tagihan yang harus dibayar rombongan istri muda pejabat itu untuk makan-minum di klub tersebut.
Rombongan tersebut tak mau membayar tunai. Keributan pun terjadi antara laki-laki dalam rombongan istri muda itu dengan pekerja klub. Dalam peristiwa itu, Paul Houbert Endoh Fuhrer, pekerja klub yang juga vokalis band Cockpit, luka berat dan harus dirawat di rumahsakit. Selang beberapa waktu, suami dari istri muda tadi pun tak jadi walikota Ambon lagi.
“Pendeknya tamu itu raja, jadi kita tidak boleh menggunkan tindakan tegas yang bisa membuat mereka kapok datang,” kata Abulhayat di majalah Aktuil nomor 161, Februari 1975.
Abulhayat sejatinya bisa main keras kepada tamu bermasalah. Namun itu opsi pamungkas. Kepuasan tamu adalah segala-galanya dalam bisnis hiburan. Tamu harus dilayani, bahkan jika sang tamu itu hanya seorang tukang becak pun tukang bikin onar.
Latin Quarter dikelola oleh pengusaha bernama Abulhayat. Pada 1975 itu tak hanya Latin Quarter yang diurusnya, tapi juga Copacobana dan Binaria Seaside di Jakarta dan Blue Ocean di Surabaya. Selain mengelola klub, Abulhayat juga seorang pencari bakat dan manajer artis. Di antara artis orbitannya adalah Dorce Gamalama, Grace Simon, dan Emilia Contesa.
Sejak bocah, Abulhayat sudah dekat dengan dunia seni dan hiburan. Pria asal Madura yang lahir pada 1926 ini terganggu masa mudanya karena Perang Dunia II. Setelah perang, ia mengikuti panggilan revolusi kemerdekaan Indonesia yang meletus sejak 1945. Seperti pemuda lain, dia masuk kemiliteran. Setelah perang melawan tentara Belanda berlalu, dirinya terus berkarier di militer, tapatnya di Polisi Militer Angkatangan Darat (POMAD), Corps Polisi Militer (CPM).
Semasa menjadi PM, dirinya pernah diperbantukan di bawah Menteri Agama Saifuddin Zuhri sebagai ajudan dengan pangkat mayor. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren menyebut Mayor Abulhayat ikut dalam rombongan menteri agama ke Lebanon dan Yerusalem pada 1964.
Sebelum ke sana, rombongan menteri itu juga pergi ke Mekkah. Di sana mereka melakukan umrah. Namun kesehatan Abulhayat terganggu di negeri yang panas dan kering kerontang itu.
“Bapak Mayor CPM Abulhayat yang sakit keras di Mekkah dibawa dengan ambulans ke Arafah. Semua yang sakit akan dibawa, yang penting asal berada di Arafah waktu wukuf supaya memenuhi syarat berhaji,” ingat Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel.
Misbach ikut ke Saudi ketika itu. Dia terlibat dalam pembuatan film tentang haji.
Padang Arafah kala itu masih tanpa pohon –kini, banyak pohon mindi (Pohon Sukarno) di sana. Terik mataharinya di siang bolong sangat panas. Banyak yang meninggal dunia di sana, seperti tokoh 10 November 1945 di Surabaya Bung Tomo.
Banyak jamaah haji percaya hal di luar nalar manusia kerap terjadi di Mekkah dan Padang Arafah. Itu juga dialami Abulhayat.
“Aneh sekali, ketika Mayor Abulhayat akan dibantu turun dari ambulans, beliau bisa berjalan dan selanjutnya terus sehat,” kenang Misbach.*









