- Martin Sitompul

- 12 jam yang lalu
- 4 menit membaca
Diperbarui: 3 jam yang lalu
MENJELANG akhir tahun, sejumlah daerah di Indonesia rawan banjir, termasuk Jakarta yang berstatus ibu kota negara. Siklus banjir di Jakarta sudah seperti bencana berkala. Selain macet, banjir menjadi momok yang ditakuti warga Jakarta, namun sialnya masih belum teratasi hingga kini.
Banjir yang melanda Jakarta pada 1977 barangkali termasuk banjir paling besar sepanjang sejarah. Pada hari Rabu, 19 Januari 1977, hujan deras mengguyur sepanjang hari. Akibatnya, sejumlah kawasan terendam air. Banjir ini disebut-sebut yang terbesar di Jakarta sejak 1892. “Sedikitnya 100.000 jiwa terungsikan,” lansir Kompas, 20 Januari 1977.
Daerah paling parah terdampak banjir adalah tiga kecamatan di Jakarta Pusat, antara lain Senen, Cempaka Putih, dan Gambir. Hujan yang turun sedari pagi menyebabkan sejumlah kantor meliburkan pegawainya. Menjelang sore, sepanjang Jl. Thamrin dari bundaran air mancur ditutup untuk lalu-lintas karena ketinggian air mencapai satu meter. Kendaraan-kendaraan yang melintasi jalanan tersebut tak dapat bergerak sehingga terpaksa ditinggalkan pemiliknya.
Banjir betul-betul membuat lalu-lintas Jakarta lumpuh. Taksi pasang tarif tinggi untuk jarak dekat dan tidak mau membawa penumpang melintasi rute yang tergenang banjir. Banyak mobil mogok karena mesinnya kemasukan air. Mobil Gubernur Ali Sadikin bahkan tidak mampu menembus ketinggian air hingga mogok di depan Gedung PLN. Sementara itu, para gelandangan aji mumpung menawarkan jasa dorong mobil dengan memasang harga mahal.
“Bahkan ada yang minta dengan kekerasan jumlah ribuan rupiah. Rp3.000 (kini setara Rp142.000, red) untuk seorang pendorong. Para pemilik kendaraan banyak yang lapor mengenai hal ini. Mereka tidak berdaya karena jumlah para ‘penjual jasa’ itu banyak sekali,” sebut Kompas.
Banjir di Jakarta pada 1977, menurut sejarawan Restu Gunawan, bukan merupakan banjir kiriman karena curah hujan mencapai 240 milimeter setelah hujan selama sepuluh jam. Ini merupakan curah hujan tertinggi sejak 1892 yang saat itu mencapai 286 milimeter. Di Jakarta Selatan, daerah Pondok Karya dan Kebayoran Baru juga kebanjiran.
“Sementara itu, di Jakarta Utara, banjir melanda Cilincing, Sunter, Lagoa, Rawa Badak, Muara Karang, Kapuk Muara, Penjaringan, Kamal, dan Pejagalan. Di bagian timur, akibat Sungai Sunter meluap, daerah yang dilanda banjir adalah Cempaka Putih dan Sunter,” tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa.
Kawasan elite seperti Jl. Medan Merdeka dan Silang Monas termasuk titik terparah yang terendam banjir. Tugu Monas yang menjulang megah tampak kontras dengan pemandangan sekitarnya yang tampak seperti kali. Padahal, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto direncanakan untuk meninjau diorama Supersemar dalam Museum Monas pada hari Jumat, 21 Januari 1977. Keadaan banjir tidak memungkinkan kunjungan Presiden Soeharto. Agendanya dibatalkan.
Menurut berita Sinar Harapan, banjir menerjang masuk sampai ke ruangan diorama Museum Monas. Sebanyak delapan mobil sedot tinja dikerahkan guna menyedot air dari ruang-ruang museum. Diperkirakan ketinggian air yang merendam Museum Monas mencapai 60 cm.
“Akibat hujan yang turun sejak tengah malam beberapa tempat di ibukota lagi-lagi tergenang air. Kawasan Monas dan Medan Merdeka dekat Istana tidak luput dari gangguan air tersebut. Nampak Museum Monas di ruangan diorama dengan genangan air yang sebagian sudah disedot oleh 8 mobil tinja. Menurut rencana Presiden dan Ny. Tien Soeharto Jumat pagi akan mengadakan peninjauan dalam musim ini, kunjungan tersebut dibatalkan,” diwartakan Sinar Harapan, 20 Januari 1977.
Dari rencana semula meninjau Museum Monas, kegiatan Presiden Soeharto lantas dialihkan untuk meninjau banjir. Dengan menumpang pesawat helikopter milik Pertamina, Soeharto dan Ibu Tien berangkat dari Parkir Timur Senayan menuju daerah industri Pulogadung, Cakung, Grogol, Pulomas, dan Jalan Jakarta Bypass. Selama peninjauan ini, Soeharto beberapa kali mengabadikan daerah terdampak banjir dari udara dengan kameranya. Selain itu, Soeharto memberikan bantuan 50 ton beras setiap daerah walikota yang terkena banjir.
Seperti diterangkan dalam Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973—23 Maret 1978, Soeharto kemudian memanggil sejumlah pejabat tinggi ke kediamannya di Jl. Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Antara lain Menteri Perdagangan ad interim J.B. Sumarlin, Kepala Bulog Bustanil Arifin, Dirut Pertamina Piet Harjono, dan Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina Yudo Sumbogo. Soeharto menginstruksikan langkah-langkah menjaga kelancaran arus barang-barang kebutuhan pokok seperti gula dan minyak. Dia berharap harga barang-barang kebutuhan pokok dapat dikendalikan.
“Pesta air” yang melanda Jakarta, seperti disebut laporan Tempo, 5 Februari 1977, menyebabkan sekira 40 persen wilayah DKI Jakarta tergenang. Persentasi ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 17 persen. Namun, kecekatan petugas-petugas Pemprov DKI Jakarta dalam menyelamatkan para korban banjir cukup diapresiasi sehingga mereka tak menderita lebih parah. Barangkali karena sudah cukup berpengalaman dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Sementara itu, Gubernur Ali Sadikin mengatakan, diperlukan biaya sebesar 1 miliar dolar AS untuk mengatasi banjir di Jakarta. “Kalau biaya itu harus dibebankan kepada DKI, sampai kiamat tak akan ada uangnya. Padahal, dengan banjir baru-baru ini warga ibukota sudah merasa seperti kiamat sudah datang,” tandas Ali Sadikin seperti dikutip Tempo.
Pada Februari 1977, Jakarta kembali diguyur banjir. Namun, dampaknya tidak sebesar seperti di bulan Januari sehingga relatif teratasi.
Sementara itu, agenda Soeharto meninjau diorama Supersemar di Museum Monas baru dilaksanakan pada 18 Maret 1977. Soeharto bersama Ibu Tien berkunjung ke Monas didampingi Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho Notosutanto. Soeharto menyetujui diorama di museum sejarah Monas yang menggambarkan suasana menjelang terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai awal berdirinya Orde Baru.*













Komentar