- Amanda Rachmadita
- 19 Okt
- 4 menit membaca
Diperbarui: 20 Okt
SEJAK pertengahan abad ke-17, ikan kerapu bintik tropis dari wilayah Hindia Timur dikenal dengan nama Jacob Evertsen atau Jacob Evertsz, seorang pelaut Belanda yang turut ambil bagian dalam eksplorasi menuju Dunia Baru.
Catatan Bontius pada pertengahan abad ke-17 dipandang sebagai catatan pertama yang membahas asal-usul penamaan ikan itu. Dokter Belanda yang dikenal sebagai pelopor pengobatan tropis itu menjelaskan, ikan tersebut memiliki kulit berwarna kuning dengan bintik-bintik hitam yang tersebar di seluruh tubuhnya. Ikan ini ditangkap oleh orang-orang Belanda yang singgah di Mauritius dalam pelayaran menuju Hindia.
“Para mitra pelayaran kami menamainya Jacob Evertsen, yang merupakan Navarchus mereka, seorang pria bertubuh pendek dan kurus, berkulit kuning, dengan banyak bintik-bintik serupa di wajahnya,” tulis Bontius sebagaimana dikutip oleh biolog ahli karsinologi, Lipke Bijdeley Holthuis, dalam “Who Was Jacob Evertsen? Search for the Identity of the Godfather of Some Spotted Groupers (Pisces: Serranidae: Epinephelinae),” termuat di Zoölogische Mededelingen Leiden 69, No. 6 (1995).
Jacob Evertsen disebut Navarchus (komandan kapal, kapten, atau nahkoda), seorang laksamana yang memimpin ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur, memiliki kulit cokelat gelap, serta tubuh penuh bintik-bintik.
Keterangan serupa disampaikan Francois Valentijn, seorang misionaris yang dikenal sebagai penulis dan naturalis pada masa VOC, dalam karyanya Oud en Nieuw Oost-Indiën, vervattende een Naaukeurige en uitvoerige Verhandelinge van Nederlands Mogentheyd in die Gewesten 3. Dalam buku tersebut, Valentijn menjelaskan, ikan Jacob Evertzen yang populer dan lezat dinamai sesuai nama seorang kapten kapal yang memiliki bintik-bintik dan bercak-bercak di seluruh tubuhnya, seperti ikan itu.
“Penafsiran Navarchus ini umumnya diterima, dan biasanya Evertsen disebut sebagai laksamana Belanda. Hal ini cukup dapat dimengerti, karena Evertsen adalah nama yang terkenal dalam sejarah Angkatan Laut Belanda, dengan setidaknya lima orang Evertsen yang mencapai pangkat laksamana muda,” tulis Holthuis.
Namun, Holthuis berpendapat, persepsi mengenai Jacob Evertsen, yang dalam beberapa catatan disebut sebagai komandan kapal, perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebab, ketika ahli biologi kelahiran Probolinggo, 21 April 1921, itu melakukan pencarian latar belakang Evertsen, ia mendapatkan temuan yang berlawanan.
“Ketika saya mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Jacob Evertsen, saya menemui kesulitan yang tidak terduga... Tidak ada perwira angkatan laut bernama Evertsen yang ikut dalam ekspedisi awal ke Hindia Timur. Selain itu, tampaknya tidak mungkin para pelaut menamai ikan tersebut berdasarkan salah satu atasan mereka dan memberikan publisitas yang kemudian diperolehnya... Ini tentu saja tidak akan disukai oleh seorang laksamana yang bertubuh kecil, berwajah kecil, dan berjerawat. Tampaknya lebih mungkin bahwa mereka menamai ikan tersebut berdasarkan salah satu teman mereka,” jelas Holthuis.
Holthuis merujuk pada kisah yang diyakini sebagai awal mula nama Jacob Evertsen disematkan kepada ikan kerapu bintik tropis. Diceritakan, kapten kapal Jacob Evertsen memiliki wajah merah yang rusak parah akibat cacar air, sehingga ia tidak pernah bisa mencukur janggutnya tanpa meninggalkan sisa rambut di lubang-lubang kecil di area dagunya yang berwarna hitam. Karena hal ini, pada suatu jamuan makan yang meriah, seorang pelawak menyematkan nama kapten kapal tersebut pada ikan Epinephelus guttatus.
Walau komandan kapal bernama Jacob Evertsen tidak temukan, setidaknya ada seorang pelaut bernama Jacob Eversten. Pria asal Amsterdam itu menjadi bagian dari awak kapal Amsterdam selama ekspedisi kedua ke Hindia Timur. Tak banyak informasi mengenai latar belakang maupun aktivitas pria itu sebelum bergabung dalam ekspedisi kedua ke Hindia Timur. Ia diketahui ikut serta dalam ekspedisi kutub tahun 1596-1597 yang dipimpin oleh Willem Barents. Pelayaran tersebut sebagai upaya mencari jalur laut di sekitar Siberia menuju Tiongkok dan Hindia. Ekspedisi yang disponsori oleh para pedagang Amsterdam itu mengerahkan dua buah kapal yang berangkat dari Belanda pada Mei 1596.
Di tengah pelayaran, kapal yang dipimpin oleh Jacob van Heemskerck, dengan Willem Barents sebagai pemimpin ilmiah, terjebak dalam es di dekat Novaja Zemlja. Para awak kapal terpaksa menghabiskan musim dingin di sana dalam kondisi sangat sulit. Peristiwa ini menjadi kisah legendaris paling terkenal dalam sejarah maritim Belanda. Dari 17 awak kapal, 12 orang di antaranya selamat dari ekspedisi tersebut. Dalam daftar 12 penyintas, nama Jacob Evertsz disebutkan terakhir. Menurut Holthuis, alih-alih sebagai pemimpin, daftar tersebut menunjukkan pangkat Jacob Everstz yang rendah.
Awak kapal yang selamat kembali ke Belanda pada 29 Oktober 1597, saat persiapan ekspedisi kedua ke Hindia Timur. Dalam ekspedisi tersebut, Jacob van Heemskerck ditunjuk sebagai komandan kapal Gelderland. Jacob Evertsen juga ikut dalam ekspedisi ke Hindia sebagai awak kapal Amsterdam.
Bila mengacu pada catatan Bontius tentang awal mula penamaan ikan Jacob Eversten, pelaut tersebut kemungkinan besar berada di Mauritius pada September hingga Oktober 1598. Fakta lain tentang pelaut itu adalah tempat dan tanggal kematiannya. Jurnal kapal Amsterdam menunjukkan ia meninggal di kapal selama perjalanan pulang pada 5 Juli 1600.
“Meski banyak hal dalam cerita yang berkaitan dengan latar belakang Jacob Evertsen hanyalah spekulasi, namun kita tahu dengan pasti bahwa ia bukanlah seorang laksamana atau perwira tinggi. Juga dalam ekspedisi yang disebutkan Bontius sebagai ekspedisi di mana ikan kerapu yang dimaksud ditangkap, ada seorang pelaut dengan nama tersebut. Apakah pelaut ini adalah orang yang sama dengan Evertsz yang menjadi anggota ekspedisi Willem Barents di Novaja Zemlja kurang pasti, tetapi ada argumen yang kuat untuk itu,” tulis Holthius.
Menurut Paul J. Smith dalam Marcgraf’s Fish in the Historia Naturalis Brasiliae and the Rhetorics of Autoptic Testimony, pemberian nama pada hewan maupun tumbuhan di wilayah yang jauh dari negara asal juga dapat diinterpretasikan secara beragam. Tak jarang pemberian nama seringkali dianggap sebagai tindakan penguasaan yang mengandung pesan politik yang disengaja. Walau bisa juga memberikan nama-nama Belanda pada objek tertentu karena nama-nama tersebut sering bersifat deskriptif, di mana mereka memberikan informasi kepada pembaca tentang aspek fisik utama hewan yang dijelaskan, seperti halnya yang terjadi pada Jacob Evertsen.
“Ada alasan ketiga untuk pemberian nama Belanda, hal ini memungkinkan pembaca Belanda yang dituju untuk menghubungkan hal yang dianggap aneh dan eksotis dengan hal yang familiar bagi mereka,” tulis Smith.*













Komentar