top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Buku "Sejarah Indonesia", Highlight Akar Peradaban hingga Menjadi Indonesia

Buku “Sejarah Indonesia” diluncurkan dalam rangka 80 tahun HUT RI sekaligus menetapkan Hari Sejarah.

15 Des 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sebanyak 11 jilid buku "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global" (Tangkapan Layar Youtube @KEMENBUD)

PENULISAN kembali sejarah Indonesia yang jadi bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia tahun ini, akhirnya tiba pada peluncurannya. Kendati sempat menimbulkan polemik, buku sebanyak 11 jilid itu diluncurkan pada Minggu (14/12/2025) petang di Plaza Intan Berprestasi, Kementerian Kebudayaan RI, Jakarta.


Bukunya diberi tajuk Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global. Ditulis oleh 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 penulis dari lembaga non-perguruan tinggi se-Indonesia. Tak lupa diampu 20 editor jilid dan tiga editor umum: Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Jajat Burhanudin (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Prof. Dr. Singgih Sulistiyono (Universitas Diponegoro).


“Kita memfasilitasi para sejarawan menulis sejarah. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?,” ujar Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon dalam agenda peluncuran buku tersebut.


K-10 jilidnya meliputi sejarah panjang bangsa Indonesia sedari awal. Menurut editor umum Prof. Singgih, 10 jilid plus 1 jilid “Faktaneka dan Indeks” mencoba menarasikan proses “menjadi Indonesia” yang dimulai dari periode yang sangat awal, tepatnya di Jilid 1 dengan tajuk Akar Peradaban Nusantara. Lalu Jilid 2 bertajuk Nusantara dalam Jaringan Global: Perjumpaan dengan India, Tiongkok, dan Persia yang berkelindan  ke Jilid 3 dengan judul Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah.


“Dari jilid satu terjadi komunikasi dan interelasi di antara berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Kemudian juga berinteraksi dengan dunia global yang kemudian akhirnya disusul juga karena kegiatan perdagangan, pelayaran. Akhirnya kita terlibat secara aktif di dalam perdagangan dan pelayaran internasional dengan India, dengan China, dengan Persia. Kemudian juga disusul dengan jejaring pelayaran dan maritim dengan Timur Tengah sehingga menghasilkan kebudayaan Indonesia, kebudayaan Nusantara yang sangat khas dan berbeda dengan kawasan lain,” jelas Prof. Singgih.


Lantas disusul Jilid 4 Interaksi Awal dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi (IV). Lalu Jilid 5 Masyarakat Indonesia dan Terbentuknya Negara Kolonial 1800-1900, hingga Jilid 6 Pergerakan Kebangsaan, serta Jilid 7 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, dan Jilid 8 dengan tajuk Konsolidasi Negara Bangsa: Konflik, Integrasi dan Kepemimpinan Internasional (1950-1965).


“Kita, ada satu jilid yang meneruskan jilid sebelumnya, yaitu bagaimana pemimpin kita pada waktu itu di bawah Bung Karno (Presiden Sukarno, red), melakukan konsolidasi negara bangsa dan mencoba menampilkan diri sebagai pemimpin dunia. Kemudian disusul dengan masa pemerintahan Orde Baru yang dipandang berfokus kepada stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan. Meskipun di balik itu ada banyak paradoks yang terjadi sehingga akhirnya nanti ditutup dengan jilid yang terakhir tentang konsolidasi demokrasi,” tambahnya.


Yang dimaksud adalah Jilid 9 Pembangunan dan Stabilitas Nasional: Era Orde Baru, (1967-1998). Lantas ditutup dengan Jilid 10 Dari Reformasi ke Konsolidasi: Demokrasi (1998-2024), serta Jilid 11 Faktaneka dan Indeks.


Meski tentunya diakui pula oleh Menteri Fadli Zon bahwa ke-11 jilid buku Sejarah Indonesia itu belumlah sempurna. Makanya ia hanya menegaskan bahwa buku itu seperti sekadar highlight atau pembuka jalan bagi sejarah-sejarah yang lebih detail lagi.


“Saya kira ini highlight. Kalau sejarah kita ditulis secara lengkap harusnya 100 jilid. Jadi ini adalah highlight dari perjalanan soal akar peradaban Nusantara. Ada sejarah yang saya kira penting untuk kita tulis dari salah satu jilid ini tetapi harus kita pertajam, perluas karena kroniknya cukup lumayan banyak, dinamikanya banyak, yaitu sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Kita juga perlu menulis sejarah tentang Majapahit yang komprehensif, sejarah tentang Sriwijaya, sejarah tentang Pajajaran, tentang kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan, maupun perjuangan-perjuangan lainnya,” terang Fadli.


Menetapkan Hari Sejarah

Selain peluncuran buku, Menteri Fadli Zon juga resmi menetapkan tanggal 14 Desember untuk diperingati sebagai Hari Sejarah. Itu dituangkannya pula lewat Surat Keputusan Menteri Kebudayan No. 206/M/2025 tentang Hari Sejarah, tertanggal 8 Desember 2025.


“Ada usulan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia tentang penetapan Hari Sejarah. Disesuaikan dengan satu peristiwa seminar sejarah pada tanggal 14 Desember 1957 di Universitas Gadjah Mada (UGM) karena waktu itu kita baru merdeka, lagi melakukan konsolidasi dan menuliskan sejarah dengan cara pandang Indonesia, Indonesia-sentris,” jelasnya.


Sebagaimana diketahui, lanjut Fadli, Belanda punya versi berbeda ketika menulis jejak sejarahnya di Indonesia. Sehingga kemudian banyak menimbulkan terminologi-terminologi berbeda dalam sebuah peristiwa sejarah.


“Belanda tidak merasa pernah menjajah Indonesia, mungkin, dan apa yang dilakukan merupakan bagian dari modernisasi. Bagi kita apa yang terjadi itu adalah penjajahan. Bagi Belanda Aksi Polisionil. Bagi kita Agresi Militer. Jadi banyak terminologi-terminologi yang berubah dan saya kira ini merupakan satu tuntutan zaman, bagaimana kita memandang sejarah dari perspektif Indonesia dari sisi Indonesia-sentris ini,” lanjutnya.


Seperti disebutkan di atas, penetapan tanggal 14 Desember seolah turut memperingati bagaimana tokoh-tokoh sejarah, politikus, cendekiawan, hingga jurnalis berkumpul di UGM dalam Seminar Sejarah Nasional I, 14-18 Desember 1957. Seminar itu bak upaya lanjutan dari dari terbentuknya Panitia Sedjarah Nasional tahun 1951 yang anggota-anggotanya antara lain Mohammad Yamin, Husein Djajadiningrat, dan RM. Ngabehi Poerbatjaraka.


Seminar Sejarah Indonesia I di UGM pada 14-18 Desember 1957 turut disokong Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam seminar itu, visi dan aspek Indonesia-sentris – sebagaimana yang digaungkan Fadli Zon – sejatinya sudah eksis sejak seminar itu.


Soal visi dan aspek Indonesia-sentris hingga periodisasi sejarah, para hadiri sama-sama satu kata. Hanja saja ketika sudah menyangkut konsepsi filsafat, terjadi “pertempuran” argumentasi dan retorika panas antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko.


Yamin adalah eks-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955) dan sudah punya reputasi dengan karya historiografi 6000 Tahun Merah Putih (1951) yang bahkan kata pengantarnya diberikan langsung oleh Presiden Sukarno. Sedangkan Soedjatmoko berasal dari kalangan diplomat dan kaum intelektual Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia hadir untuk mewakili Mohammad Hatta yang sakit dan berhalangan hadir.


“Yang satu (Yamin) pacak dan lincah yang lain (Soedjatmoko) agak kaku bicaranya. Yang saut bertubuh lebar, sedangkan yang lain jangkung dan langsing. Yang sastu orator, yang lain esais. Yang satu pandai mengucapkan kata-kata dan semboyan yang saban-saban memancing tepok tangan yang riuh dair pendengar yang berjumlah ratusan orang. Yang lain senantiasa berbicara dengan tenang; paling banyak reaksi di muka pendengarnya berupa senyuman,” tulis mingguan Star Weekly edisi 28 Desember 1957.


Pada perdebatan itu, tampak panitia seminar cenderung mendukung Yamin. Akan tetapi tak sedikit komunitas sejarah yang terbatas condong mendukung Soedjatmoko.


Hadir pula dalam seminar itu Sartono Kartodirdjo yang masih sejarawan muda. Ia pun mengakui bahwa meskipun seminar itu belum signfikan menghasilkan buku sejarah versi Indonesia-sentris, setidaknya sudah ada kesadaran menuju ke sana dan jadi tonggak penting penulisan sejarah di era berikutnya.


“Meskipun seminar tidak memenuhi harapan peseta, tetapi tidak sedikit manfaatnya untuk memperdalam kesadaran akan peranan sejarah nasional sebagai sarana penting untuk pendidikan warga negara Indonesia, terutama untuk menimbulkan kesadaran nasionalnya dengan mengenal identitas bangsanya melalui sejarahnya,” tukas Sartono di kolom prakata buku Sejarah Nasional Indonesia (1975).



Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Mengintip Kelamin Hitler

Mengintip Kelamin Hitler

Riset DNA menyingkap bahwa Adolf Hitler punya cacat bawaan pada alat kelaminnya. Tak ayal ia acap risih punya hubungan yang intim dengan perempuan.
bottom of page