- Randy Wirayudha

- 29 Mei
- 5 menit membaca
Diperbarui: 4 Jun
BUKAN rahasia umum bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal, masyarakat Nusantara di zaman kuno bukan termasuk bangsa yang malas mencatat. Banyak kerajaan di Nusantara dulu punya kitab-kitab sejarah dari berbagai era.
Lazimnya, kitab-kitab sejarah kuno itu berbentuk sastra lantaran digarap oleh para pujangga. Kebebasan berpikir dan perkembangan seni serta kesusastraan cukup jadi perhatian para raja sehingga bermunculanlah pusat-pusat pengetahuan yang melahirkan para rohaniwan dan pujangga-pujangga dengan karya-karya besar di luar bentuk prasasti. Maka dari masa ke masa banyak kitab-kitab sejarah karya para pujangga kerajaan-kerajaan yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa sejarah dalam lingkup lokal, kelak di masa modern dijadikan rujukan para peneliti dan penulis buku-buku sejarah. Seperti Kakawin Sutasoma yang selama ini dikenal sebagai sumber inspirasi semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kitab Sutasoma karya pujangga Mpu Tantular dari era Majapahit dibuat sekira tahun 1365 di masa Rajasanagara (Raja Hayam Wuruk). Mpu Tantular menyusun 1.210 bait dalam 148 pupuh yang menceritakan kisah-kisah perjalanan spiritual Pangeran Sutasoma dari Kerajaan Astina sebagai pelajaran untuk keharmonisan antarumat beragama Hindu-Buddha di kalangan masyarakat Majapahit.
Lainnya adalah kitab Pararaton yang hingga kini masih belum diketahui siapa penyusunnya dan berasal dari tarikh ke berapa. Beberapa sumber menyebut kitab itu berasal dari sekitar tahun 1613, namun beberapa sumber lain menyebutnya berasal dari masa antara tahun 1481-1600. Lingkupnya juga masih lokal, yakni berupa kisah para raja Singhasari dan Majapahit dalam 1.126 baris dengan fokus pada riwayat Raja Singhasari Ken Angrok (1222-1227). Namun, banyak sejarawan masih meragukannya sebagai sumber sejarah yang akurat mengingat isinya banyak kisah magis dan mitos.
Beberapa kitab lain yang lingkupnya juga lokal adalah naskah La Galigo yang –dihimpun perempuan pujangga Colliq Pujie pada abad ke-16– dibuat masyarakat Bugis antara abad ke-13 sampai abad ke-15. Isinya mengenai penciptaan peradaban dan warisan Bugis. Lalu, ada abad Tanah Jawi yang disusun pada abad ke-18 di masa Sunan Pakubuwana I hingga Pakubuwana III. Babad ini mengisahkan asal-usul Tanah Jawa serta para raja dan para tokoh pentingnya.
Kitab yang lingkup penceritaannya lebih luas adalah Kakawin Nagarakretagama dari sekitar tahun 1365. Naskah dalam bentuk syair Jawa Kuna itu disusun Mpu Prapanca, citralekha atau juru tulis Kerajaan Majapahit merangkap Dharmaadyaksa Kasogatan (ketua urusan agama Buddha), dalam 98 pupuh yang dibagi jadi dua bagian.
“Kemungkinan ketika menuliskan Nagarakretagama, ia terlibat dalam pemeliharaan dan perawatan naskah-naskah tua di kerajaan. Ia sangat menguasai tata bahasa kerajaan dan punya pengetahuan luas tentang bahasa Sanskreta, mengingat Sanskreta dipelajari di abad ke-14 Mahapahit. Oleh karenanya ia lebih kepada seorang cendekiawan ketimbang pujangga,” tulis leksikografer Theodore Gautier Thomas Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History.
Sebagai naskah sejarah berbentuk sastra, Nagarakretagama mencakup cerita-cerita silsilah raja-raja Singhasari dan Majapahit, masa keemasan di bawah Raja Hayam Wuruk. Menurut Slamet Muljana dalam Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, bagian yang menguraikan keadaan dan kondisi kota-kota dan wilayah Majapahit ada di Pupuh VIII sampai Pupuh XVI. Ketika itu zaman kegemilangan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dengan pengaruh kekuasaan yang mencakup Semenanjung Malaya, Sumatera, Bali, Lombok, hingga Semanjung Onin di Papua.
Buku-Buku Sejarah Era Kolonial
Nusantara berada dalam genggaman Belanda begitu lama. Namun sejak Kongsi Dagang Hindia Timur, VOC, mendirikan pos dagang pertamanya di Banten pada 1603, baru pada abad ke-18 perhatian terhadap penulisan budaya dan sejarah kaum bumiputera mulai eksis. Perspektifnya tentu masih kolonialis.
Satu dari sekian buku paling awal adalah Oud en Nieuw Oost-Indiën yang terbit dalam delapan volume antara tahun 1724-1726. Buku itu jadi magnum opus karya pejabat VOC François Valentijn berdasarkan berdasarkan reizen (catatan perjalanannya) dua kali selama ke Hindia Timur pada 1685-1695 dan 1705-1714. Meski bukan “sejarah resmi”, buku yang menggambarkan keadaan di Jawa hingga Sulawesi dan Ambon ini jadi referensi bagi para pegawai dan pejabat VOC lain yang hendak bertugas di Hindia Timur.
“Karya Valentyn tidak hanya digunakan di Hindia Timur. Di Belanda, karyanya menjadi kerangka referensi paling penting terkait koloni Hindia Timur sampai pertengahan abad ke-19. Meski kemudian friksi politik membuatnya tersingkir (dari VOC) tetapi Oud en Nieuw Oost-Indiën tetap menjadi karya standar yang wajib jadi bacaan semua orang yang ingin mengetahui sejarah, geografi, dan etnologi Hindia Timur,” ungkap Siegfried Huigen dalam Shaping a Dutch East Indies: François Valentyn’s VOC Empire.
Magnum opus lain yang jadi rujukan dan referensi baru ada lagi pada abad ke-18, yakni The History of Java karya Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Timur Inggris Thomas Stamford Raffles. Diterbitkan pada 1817, The History of Java mengisahkan budaya-budaya dan tempat-tempat di Pulau Jawa yang didatangi Raffles. Buku itu jadi rujukan para orientalis dan peneliti Belanda terkait studi yang lebih mendalam tentang masyarakat bumiputera.
“Banyak orientalis, termasuk dari kalangan Belanda, mengakui peran Raffles dalam pengembangan studi mengenai Indonesia. Dalam masa pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, timbullah untuk pertama kali perhatian yang kuat kepada ‘inheemse Indië’, Hindia pribumi. Ini terutama jasa Raffles pribadi. Mengenai karyanya, History of Java, sejarawan Belanda Peter Boomgard yang menulis Aangeraakt door Insulinde (1992) memuji karya Raffles adalah suatu penemuan yang tidak terduga. History of Java menyajikan lebih banyak daripada sekadar sejarah. Kenyataannya buku ini merupakan suatu ensiklopedi dan dengan demikian khas produk zaman Aufklärung, zaman Pencerahan,” ungkap sejarawan Pollycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Setelahnya, banyak bermunculan ensiklopedi maupun buku-buku sejarah baik yang umum maupun tematik. Antara lain Geschiedenis van het kultuurstelsel karya sejarawan G.H. van Soest yang terbit dalam tiga volume antara tahun 1869-1871. Buku ini menggambarkan sejarah kelam implementasi Tanam Paksa (1830-1870) yang merupakan kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.
Pascamasa Politik Etis, mulai banyak buku mengulas tentang sejarah koloni. Di antaranya Koloniale Geschiedenis. Buku besar yang disusun Herman Theodoor Colenbrander dan diterbitkan dalam tiga volume oleh Martinus Nijhoff kurun 1927-1926 itu memang tidak hanya mengulas sejarah kekuasaan kolonial di Hindia Timur tapi juga Hindia Barat. Topik-topik sejarah khusus Hindia Belanda terdapat di volume terakhir dengan tajuk “De Oost sinds 1816”.
Hadir pula buku besar lain pada 1927 dalam bentuk ensiklopedia, Geïllustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië karya George François Elbert Gonggrijp. Setahun berselang, terbit karya lain Gonggrijip yang jadi salah satu “turunannya” dengan tema sejarah ekonomi, Schets Eener Economische Geschiedenis van Nederlandsch-Indië. Menurut Swantoro, Gonggrijp dalam bukunya itu menguraikan sejarah perekonomian di Hindia Belanda dari sebelum kedatangan orang-orang Belanda sampai keadaan ekonomi yang carut-marut pasca-Perang Dunia I (1914-1918).
Namun dari sekian buku sejarah tentang Nusantara atau Hindia Belanda itu, ada satu buku besar yang dianggap “sejarah resmi”: Gescheidenis van Nederlandsch-Indië. Buku terbitan 1930 ini karya Frederik Willem Stapel –anak didik Colenbrander di Universitas Leiden–yang sebelumnya menulis Koloniale Gescheideis. Menurut M.A.P. Meilink-Roelofsz dkk. dalam Dutch Authors on Asian History: A Selection of Dutch Historiography on the Verenigde Oostindische Compagnie, Stapel mulai menyusun buku itu seiring perantauannya mengajar di sekolah-sekolah Hogere Burgerschool (HBS, sekolah setingkat SMA) di Batavia, Bandung, dan Semarang kurun 1912-1920. Selain jadi pengajar, Stapel juga pernah jadi pejabat di Dewan Kota Semarang pada 1912-1915 dan menjabat wakil walikota Bandung pada 1919-1921.
Buku itu kemudian dimutakhirkan pada 1938 dalam lima volume dengan tajuk yang sama. Penulisnya para akademisi sebagai kontributor, di antaranya Jan Thomassen à Thuessink van der Hoop dan Joost van den Vondel. Stapel sendiri terlibat sebagai editornya. Bersama buku Gescheidenis Indische (1929) karya G.J.F. Biegman, buku ini kemudian jadi referensi untuk buku-buku ajar di sekolah-sekolah.
“Buku itu dan Indische gescheidenis (1929, karya G.J.F. Biegman) kemudian masuk dalam kurikulum sekolah meski faktanya buku-buku itu semua menggunakan sumber-sumber yang sama. Baru pada 1942-1945 sensor dan pengawasan ketat (pemerintah militer Jepang) dari badan budaya dan propaganda mengubahnya menjadi ‘Sedjarah Indonesia’ dan ‘Hikayat Tanah Hindia’” tukas Mohammad Ali dalam artikel “Historiographical Problems” di buku An Introduction to Indonesian Historiography.
(BERSAMBUNG)













Komentar