top of page

Sejarah Indonesia

Penulisan Sejarah Indonesia 2025 Bukan Sejarah Resmi

Menteri Fadli Zon menyatakan penulisan ulang sejarah takkan jadi sejarah resmi. Soal stigma “radikal” dan “sesat” kepada kalangan yang menolak bukanlah sikap kementeriannya.

26 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam raker bersama Komisi X DPR RI terkait penulisan ulang sejarah Indonesia. (Youtube TVR Parlemen).

PERDEBATAN soal penulisan ulang sejarah Indonesia yang rencananya akan diterbitkan dalam 10 jilid kembali dibahas di parlemen. Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon beserta jajarannya hadir dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Senin (26/5/2025) dengan agenda memberi sejumlah penjelasan dan klarifikasinya. Salah satunya, buku baru sejarah Indonesia itu bukan berlabel sejarah resmi.


Menteri Fadli Zon memaparkan bahwa buku sejarah Indonesia yang baru itu akan mengisi kekosongan selama beberapa waktu terakhir. Menurutnya, sejak diterbitkannya enam jilid buku “babon” Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran oleh R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa, belum ada lagi buku pegangan sejarah nasional yang meng-update peristiwa sejarah di masa pasca-Reformasi seperti masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo (Jokowi). 


“Jadi dari dari era Pak Habibie sampai hari ini belum pernah ditulis. Belum ada pemutakhiran meskipun itu terbit terakhir 2008. Jadi tidak ada eranya Ibu Megawati, eranya Pak (SBY), eranya Pak Jokowi apalagi. Eranya Gus Dur juga belum ada itu. Terakhir (sejarah) pemilu 1997. Jadi pemilu 1999, 2004 tidak ada soal siapa yang menang, siapa yang jadi presiden, itu tidak ada. Jadi memang sudah lama kita tidak membuat buku sejarah. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah tahun 2008 lebih topical tapi baru dicetak 2012,” terang Menteri Fadli dalam raker yang ditayangkan terbuka via akun Youtube TVR Parlemen, Senin (26/5/2025).

 

Menteri Fadli juga menekankan bahwa buku yang dihasilkan dalam penulisan ulang sejarah ini akan menekankan aspek Indonesia-sentris. Ia mencontohkan kalau dalam perspektif Belanda, Agresi Militer I pada 1947 dan Agresi Militer II pada 1948 adalah Aksi Polisionil alias upaya penertiban kekacauan oleh ekstremis. Sebaliknya, perspektif Indonesia menyebutnya tegas sebagai Agresi Militer karena Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 


Beberapa hal baru yang hendak diubah dalam penulisan ulang sejarah Indonesia itu yakni “Prasejarah”, yang istilahnya dibangun para pemikir Belanda, menjadi “Sejarah Awal”. Bab ini tidak lagi dimulai dari abad ke-4 berdasarkan ditemukannya sejumlah prasasti, melainkan dimulai dari 1,8 juta tahun lalu berdasarkan temuan banyak fosil Homo erectus di Nusantara. 


“Begitu juga dengan temuan-temuan baru yang belum pernah ditulis, terutama di tahun 2023 ditemukan lukisan purba tertua itu juga ada di Indonesia, di Maros, di Pangkep yang dites usianya sampai 51 ribu tahun,” tambahnya. 


Penulisan sejarah 2025 ini dikerjakan tim penulis berisi 113 ahli sejarah lintas disiplin dari 34 perguruan tinggi dan delapan institusi lain. Penyuntingan sejarahnya akan disunting 20 editor jilid dan tiga editor umum yang juga berasal dari kalangan akademisi.


Menjelaskan bahwa 11 jilid buku baru sejarah Indonesia itu tidak akan terlalu detail dan turut mengacu pada berjilid-jilid buku Sejarah Nasional Indonesia dan Indonesia dalam Arus Sejarah, Fadli Zon turut mengklarifikasi bahwa penulisan sejarah 2025 bukan sebagai sejarah resmi atau official history. Soal inilah (sejarah resmi) yang jadi salah satu poin penolakan kalangan aktivis dan sejarawan yang mengatasnamakan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) ketika hadir dalam rapat dengan Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025. Jika berlabel “sejarah resmi”, dikhawatirkan akan menimbulkan tafsir tunggal yang dapat dijadikan alat legitimasi penguasa. 


“Kalau ada disebut official history atau ‘sejarah resmi’, itu mungkin hanya ucapan saja. Tetapi tidak mungkin ditulis: ini adalah sejarah resmi, tidak ada itu. Tetapi ini adalah sejarah nasional Indonesia yang merupakan bagian dari penulisan-penulisan dari para sejarawan,” terang Menteri Fadli. 


Label “sejarah resmi” ini juga diungkit kembali oleh anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Bonnie Triyana. Meski sudah diklarifikasi menteri, Bonnie mengingatkan kembali hal itu karena jika merujuk terminologi “sejarah resmi” menurut Rommel A. Curaming dalam bukunya yang terbit pada 2019, Power and Knowledge in Southeast Asia: State and Scholars in Indonesia and the Philippines, Sejarah Nasional Indonesia dikategorikan sebagai sejarah resmi. 


“Jadi dia (Curaming) membandingkan dengan Proyek Tadhana-nya Filipina dibandingkan dua proyek resmi ini. Ketika sejarah ditulis negara, dalam hal ini pemerintah, sudah pasti di dalam akademisi, ini adalah new official history. Sementara dari argumentasi yang kami baca, riset ini juga berstandar menggunakan metodologi yang ketat dengan mutu akedemik yang tinggi. Justru di situ pertanyaannya, ketika sudah mengumumkan bahwa ini ditulis dengan standar metodologi tapi sejak pagi sudah dibilang ini sejarah resmi yang baru. Artinya, ada contradictio in terminis antara istilah ‘resmi’ dengan metodologi,” urai Bonnie. 


Metodologi, lanjut Bonnie, tidak pernah membawa si penulis ke dalam bentuk akan “sejarah resmi” atau “tidak resmi”. Karena dampak atau tafsiran yang akan muncul apabila ada “sejarah resmi” atau sejarah yang dikeluarkan versi negara, maka akan ada sejarah “tidak resmi”, ilegal, bahkan subversif. Terlebih, buku sejarah dengan label resmi bakal jadi rujukan kurikulum dan buku-buku ajar sejarah di institusi-institusi pendidikan dan institusi-institusi pemerintahan. 


“Kita punya pengalaman di masa lalu bahwa sejarah digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Juga ada contoh-contoh bagaimana sejarah resmi, walaupun tidak diklaim sebagai ‘sejarah resmi’, tetapi versi yang ditulis oleh negara pada akhirnya bekerja sebagai sebuah sejarah yang resmi sebagaimana yang terjadi di Kongo (era) Mobutu Sese Seko, kemudian di Filipina (Ferdinand) Marcos, kemudian di China, dan beberapa negara lain yang corak dari kekuasaannya otoriter bahkan totaliter sehingga meringkus satu kebenaran yang sifatnya ilmiah terbuka yang bisa dikritik, bisa dikoreksi, ke dalam satu label resmi yang ketat, kaku, cenderung tak bisa dikoreksi,” tambahnya. 


Hal senada juga disampaikan anggota Komisi X dari Fraksi Nasdem Ratih Megasari Singkarru. Buku sejarah hasil penulisan ulang 2025 ini, menurutnya, terlepas bukan sejarah resmi tapi menyangkut kesadaran kolektif sehingga sudah semestinya tim penulis juga bisa terbuka akan koreksi atau masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk penyintas peristiwa sejarah sehingga kebebasan akademiknya akan terjamin tanpa intervensi ideologis maupun politik. 


Sementara, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB Andi Muawiyah Ramly menegaskan bahwa ada suara-suara penolakan agar tidak ada macam-macam stigmatisasi. Pasalnya, bukan tidak mungkin karena proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini minim sosialisasi dalam bentuk seminar atau uji publik. 


“Jadi soal adanya gugatan dari para sejarawan juga jangan sampai terjadi stigmatisasi. Ini mungkin kurang sosialisasi semacam uji publik. Dan apakah cukup sampai nanti rencana 17 Agustus 2025 diterbitkan dalam 10 jilid sudah mencakup bagian-bagian terpenting bangsa kita ini? Bahwa ini harus ditulis dengan sangat cermat. Jadi sebelum launching mesti ada sosialisasi kepada publik bahwa kita sebagai bangsa sudah punya sejarah dan kalau sudah disepakati bersama bisa jadi rujukan,” ujarnya. 


Puti Guntur Sukarno dari Fraksi PDIP ikut mengomentarinya. Ia mengungkit soal transparansi dan uji publik dan juga bagaimana bisa dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) agar bisa jadi pegangan dalam kurikulum sejarah. 


“Kalau mau dijadikan bahan ajar tentu perlu koordinasi matang dengan kementerian lain karena faktanya sejarah tidak menjadi pelajaran wajib dalam UU Sisdiknas. Lalu bagaimana nantinya dengan keinginan pak menteri agar sejarah ini bisa relevan dan nantinya hanya akan jadi angan-anak belaka,” tutur cucu Presiden Sukarno tersebut. 


Di akhir rapat, Menteri Fadli menjawab bahwa diskusi terbuka semacam uji publik per tema akan diadakan antara Juni dan Juli. Nantinya akan ditulis terlebih dulu dan bukan kerangkanya yang akan diperdebatkan. Sedangkan perihal stigmatisasi “radikal” dan “sesat” dalam forum diskusi di Gedung PBNU pada 23 Mei 2025 terhadap kalangan yang menolak penulisan sejarah, Menteri Fadli menyatakan itu merupakan sikap perorangan. 


“Kalau dalam diskusi itu saya kira kalaupun ada semacam itu jelas bukan sikap dari kementerian. Biasalah, beliau (Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kemenbud Prof. Agus Mulyana) ini kan juga trifungsi sebagai sejarawan juga, dan juga ketua Masyarakat Sejarawan (Indonesia), atau sebagai pribadi. Jadi kita sangat terbuka menerima masukan dari berbagai kalangan. Kalau ada ungkapan-ungkapan seperti itu, mohon maaf, kami tidak ada seperti itu,” tandasnya.*

Commentaires

Noté 0 étoile sur 5.
Pas encore de note

Ajouter une note
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
Misteri Sulap

Misteri Sulap

Berusia setua peradaban manusia, sulap pernah bersanding dengan sihir. Sulap modern masuk pada masa kolonial Belanda. Pesulap Indonesia umumnya keturunan Tionghoa.
Spesialis Pencabut Nyawa

Spesialis Pencabut Nyawa

Dibentuk sebagai alat pemukul dan mesin pembunuh, Korps Pasukan Khusus (KST) Belanda melakukan aksi-aksi brutal.
bottom of page