top of page

Sejarah Indonesia

...

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Dikhawatirkan Meminggirkan Peran Perempuan

_

Oleh :
...
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 3 hari yang lalu

PENULISAN ulang sejarah Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan mendapat penolakan, bukan hanya karena pengerjaannya terburu-buru dan tidak transparan, tetapi juga karena proses penyusunan buku sejarah nasional ini di bawah kendali rezim yang berkuasa. Menurut para aktivis dan sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), hal ini dikhawatirkan akan mereduksi sejarah atau semakin meminggirkan peristiwa-peristiwa sejarah yang berseberangan dengan rezim penguasa.


Aktivis perempuan yang juga Direktur LAB45, Jaleswari Pramodhawardani, khawatir penulisan ulang sejarah Indonesia menghilangkan peran perempuan dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa.


“Penulisan sejarah membutuhkan perspektif dari beragam pihak. Tidak bisa homogen. Hal ini memicu kekhawatiran kami yang tergabung dalam AKSI mengenai potensi munculnya sejarah resmi Indonesia yang terbentuk dari suatu tafsir tunggal oleh negara. Padahal, sejarah seharusnya menjadi kumpulan dari arus pemikiran berbagai perspektif dan membutuhkan partisipasi dari banyak sejarawan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, kita semua tahu bahwa negara ini memiliki episode sejarah yang panjang dalam proses pembentukannya, tetapi ada penghilangan sejarah di sana, yaitu Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang seakan dibiarkan menghilang,” kata Jaleswari.


“Berangkat dari memori kolektif kita tentang bagaimana sejarah pernah dimanipulasi, dihilangkan, untuk membentuk suatu tafsir tunggal versi pemerintah, kami menolak penulisan ulang sejarah Indonesia,” tambahnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025.


Sejarah bukan hanya kumpulan cerita tentang peristiwa di masa lalu. Lebih dari itu, sejarah menawarkan sebuah pelajaran, suatu gambaran tentang gagasan dan nilai-nilai yang membentuk kita di masa kini. Oleh karena itu, menurut Guru Besar Antropologi Hukum UI yang juga wakil ketua AKSI, Sulistyowati Irianto, sejarah sudah sepatutnya memberikan tempat yang layak bagi pihak maupun kelompok manapun, sesuai dengan peran mereka di masa lalu.


Namun, upaya ini akan sulit terlaksana bila penulisan ulang sejarah hanya ditujukan untuk kepentingan rezim penguasa yang menghendaki adanya suatu tafsir tunggal yang berpotensi memunculkan istilah “sejarah resmi”. Dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, sejarah yang seharusnya memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di masa lalu justru hanya mengungkapkan secara parsial, atau bahkan menghilangkan fragmen-fragmen tertentu karena dianggap tidak sesuai.


“Jika boleh saya menambahkan terkait pembahasan tentang sejarah perempuan, kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu bahwa gerakan kebangsaan ini sudah dimulai sejak jauh sebelum kemerdekaan. Tahun 1915 misalnya, sejumlah perempuan Indonesia sudah membentuk beragam organisasi. Bahkan ada satu organisasi yang mengirim mosi kepada pemerintah Belanda untuk meminta persamaan di muka hukum,” jelas Sulistyowati.


“Jadi, dugaan saya kalau pasal 27 Konstitusi kita sudah bicara tentang persamaan di muka hukum itu pasti ada kaitannya dengan [sejarah] 1915 itu. Lalu 1930 ada organisasi perempuan, PPII, mengirim mosi sekali sekali lagi kepada pemerintah Belanda untuk meminta hak politik bagi perempuan, sehingga perempuan bisa ikut dalam pemilihan Dewan Kota Batavia dan hak politik itu yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan di seluruh dunia,” tambahnya.


Ita Fatia Nadia, sejarawan dari Ruang Arsip & Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia yang juga sekretaris AKSI, juga menyoroti peran perempuan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia dan upaya menciptakan perdamaian dunia. Menurutnya, di masa pemerintahan Presiden Sukarno sudah dikirim sejumlah perempuan untuk ambil bagian dalam berbagai konferensi dunia. Akan tetapi, setelah berakhirnya pemerintahan Sukarno peran sejumlah perempuan tersebut seakan dibiarkan tenggelam.


“Dikirimnya Setiati Surasto, seorang perempuan Indonesia untuk duduk di Komisi ILO nomor 100 untuk membicarakan tentang upah buruh yang setara bagi laki-laki dan perempuan, tidak dijelaskan dalam buku. Padahal itu merupakan memori-memori kehebatan perempuan Indonesia. Ada pula Francisca Fanggidaej, tokoh perempuan dari kepulauan NTT yang diutus Bung Karno keliling dunia untuk mengabarkan tentang kemerdekaan Indonesia. Itu juga tidak ada di dalam buku. Belum lagi Suwarsih Djojopuspito yang dahulu aktif mengajar di sekolah liar, ini pun tidak dituliskan,” kata Ita.


Setelah reformasi, berbagai informasi sejarah yang sulit terungkap karena terhalang rezim otoriter Presiden Soeharto, mulai mendapat perhatian publik. Namun, rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah yang tengah berkuasa dikhawatirkan membuat catatan-catatan sejarah dari pihak maupun kelompok yang berseberangan dengan rezim penguasa kembali terpinggirkan.


“Inilah yang kami kritik. Mengapa kami menolak penulisan ulang sejarah Indonesia? Karena banyak sekali dokumen-dokumen kehebatan perempuan Indonesia yang seakan dihilangkan dari sejarah,” kata Ita.


Selain itu, penulisan ulang sejarah Indonesia yang terburu-buru dan tidak transparan juga dikhawatirkan semakin menyulitkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di mana banyak korbannya adalah perempuan.


Menurut Sulistyowati, peran sejarah dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap peristiwa-peristiwa sesudahnya tidak mungkin terlaksana bila penulisan sejarah tidak dilakukan secara objektif dan transparan. Ia mencontohkan bagaimana peristiwa 1965 dan 1998 yang sarat akan kekerasan melahirkan trauma di kalangan masyarakat. Alih-alih memberikan gambaran yang menyeluruh atas kejadian memilukan yang menewaskan banyak orang itu, penulisan ulang sejarah yang tidak komprehensif justru memicu kekeliruan di kalangan masyarakat dalam memahami apa yang terjadi di masa lalu.


“Ada begitu banyak perempuan yang menjadi korban dalam peristiwa 1965 dan 1998. Memorialisasi di Pondok Rangon menjadi satu-satunya bukti bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi dan menyasar sejumlah perempuan di tahun 1998. Jika itu tidak ada, mungkin kejahatan seksual terhadap perempuan di masa itu akan terus disangkal,” kata Sulistyowati.

Oleh karena itu, Sulistyowati memandang akan lebih baik bila sejarah dibiarkan tumbuh dari masyarakat, dari hasil penelitian dan penelusuran para peneliti maupun akademisi sehingga melahirkan pandangan yang beragam, tidak mengacu pada satu tafsir tunggal yang justru berpotensi mendistorsi sejarah.*


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page