top of page

Sejarah Indonesia

Aktivis Dan Sejarawan Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Oleh Pemerintah

Aktivis dan Sejarawan Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia oleh Pemerintah

Sejumlah aktivis dan sejarawan khawatir penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah memicu lahirnya suatu tafsir tunggal yang dapat menjadi alat legitimasi penguasa dan berpotensi menghilangkan peristiwa sensitif di masa lalu.

19 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sejumlah aktivis dan sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI untuk membahas tentang rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah. (Youtube TV Parlemen).

Diperbarui: 18 Jun

KABAR penulisan ulang sejarah Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan yang rencananya akan terbit pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 pada Agustus 2025 menuai pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah sejarawan, aktivis, dan akademisi menganggap buku babon sejarah nasional itu berpotensi menjadi polemik karena rawan digunakan sebagai alat legitimasi penguasa dan dikhawatirkan meminggirkan beberapa peristiwa sensitif terkait perempuan dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.


Atas dasar ini, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari berbagai individu dan organisasi seperti Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Tim Klarifikasi Sejarah, dan Amnesty International menyampaikan manifesto yang menolak rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah. Penolakan tersebut disampaikan perwakilan AKSI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin (19/5/2025).


Dalam pertemuan itu, mantan Jaksa Agung yang juga ketua AKSI, Marzuki Darusman, menyoroti kejanggalan rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah. Salah satunya terkait posisi pemerintah dalam penulisan ulang sejarah Indonesia yang dikhawatirkan hanya menjadikan hal itu sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.


Menurut Marzuki, rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai suatu tafsir tunggal mengenai sejarah Indonesia. Namun, dalam penyusunannya, untuk mencapai suatu tafsir tunggal maka sang penyusun tidak bisa tidak memerlukan rekayasa, dan saat rekayasa tersebut dilakukan, titik-titik rawan dalam penyusunan ulang sejarah pun muncul. Berangkat dari kekhawatiran munculnya suatu tafsir tunggal, AKSI menyampaikan manifesto penolakan terhadap penulisan ulang sejarah Indonesia kepada Komisi X DPR RI.


“Rencana penulisan sejarah Indonesia secara nyata merupakan kehendak sadar untuk melaksanakan suatu proyek masif berupa rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal. Dalam lingkup proses rekayasa itu tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu bangunan atau rekonstruksi suatu sejarah monumental tertentu. Sejalan upaya mewujudkan visi serupa itu, lahirlah ilusi bahwa pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya. Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” kata Marzuki menyampaikan poin pertama manifesto AKSI.


Poin kedua, atas dasar fiksi politik tersebut, pemerintah menggunakan mandat sejarah untuk menegakkan suatu tatanan politik atau orde tertentu, menjadi imperatif dan absah bagi pemerintah untuk meletakkan dan menetapkan secara definitif keseluruhan batasan normatif tentang perilaku, pemikiran, dan pernyataan pendapat masyarakat yang harus berkesesuaian dengan akseptabilitas pemerintah, seperti yang dibentuk dalam citra kesejarahan itu.


Ketiga, spektrum politik seluruh kekuasaan pemerintah digelar dan dilaksanakan, dalam suatu jangkauan politik yang batas-batas terluarnya dibingkai paham otoritarianisme di satu sisi, dan totalitarianisme di sisi lain. Totalitarianisme bukanlah akumulasi otoritariansme; sebaliknya otoritarianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah.


Selain itu, dalam poin keempat, Guru Besar Antropologi Hukum UI yang juga wakil ketua AKSI, Sulistyowati Irianto, menekankan, seluruh proyek penulisan sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan adalah sebuah sejarah buatan, yang telah jauh melebihi interpretasi tentang sejarah yang merupakan sumber daya ilham politik dan identitas kebangsaan. Tindakan ini merupakan tindak pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia, dan menghancurkan memori kolektif tentang kapasitas alamiah dan kekuatan bangsa, untuk mengatasi tantangan eksistensialnya.


“Sesungguhnya kerakyatanlah yang telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kungkungan kolonialisme, pertarungan ideologisme, dan dominasi otoritarianisme. Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya,” kata Sulistyowati.


Sedangkan poin kelima manifesto AKSI menjabarkan, pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia telah menjadi rujukan sejarah dunia, bagaimana pengalaman pahit bangsa Indonesia, sebagai instrumen sejarah yang bertujuan memuliakan kekuasaan; menunjukkan bahwa penggelapan sejarah akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Maka, penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan perlu dihentikan dan ditolak.


Melalui manifesto tersebut, AKSI tak hanya menyoroti kelayakan dan posisi pemerintah sebagai pihak yang menyusun tafsir tunggal atas sejarah Indonesia yang berpotensi melahirkan istilah “sejarah resmi” dan rawan masalah, tetapi juga mempertanyakan proses penyusunan ulang sejarah yang berpotensi menghilangkan sejumlah peristiwa sensitif yang terjadi di masa lalu.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Rencana penulisan ulang sejarah yang melibatkan seratus sejarawan hingga profesor itu dikabarkan tak memuat seluruh peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal ini tentu memicu pertanyaan terkait transparansi dalam proses penyusunan ulang sejarah tersebut.


Aktivis perempuan yang juga Direktur LAB45, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, penulisan sejarah harus dilakukan secara transparan. Selain melibatkan partisipasi banyak pihak, proses ini secara substantif juga harus dilakukan secara benar.


“Penulisan sejarah bukan hanya dari entitas yang homogen saja, tetapi juga membutuhkan perspektif yang beragam... Upaya untuk membentuk suatu tafsir tunggal dalam sejarah Indonesia merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin sebuah sejarah diinterpretasikan secara tunggal oleh negara? Padahal sejarah seharusnya menjadi kumpulan pemikiran dari berbagai perspektif,” kata Jaleswari.


Memori kolektif dan trauma masa lalu karena indoktrinasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto memicu kekhawatiran di kalangan anggota AKSI. Stigmatisasi dan indoktrinasi terhadap suatu gagasan, peristiwa, atau kelompok tertentu di masa lalu dikhawatirkan kembali terulang dengan munculnya kembali “sejarah resmi” yang disusun penguasa.


“Negara seakan tidak menyadari bagaimana implikasi dari indoktrinasi sejarah memainkan peran besar di kalangan masyarakat hingga kini. Balas dendam, stigmatisasi yang diterima sejumlah orang dan keturunannya yang menjadi sasaran dogma indoktrinasi negara di masa lalu berdampak besar pada kehidupan sosial dan ekonomi mereka dalam waktu yang begitu lama, bahkan sampai hari ini. Trauma itu diwariskan secara turun temurun, dan itulah salah satu kekhawatiran kami terkait dengan penulisan ulang sejarah yang berujung pada munculnya suatu tafsir tunggal,” tambahnya.


Atas dasar ini, penolakan AKSI terhadap rencana penulisan ulang sejarah Indonesia tidak semata-mata karena pandangan subjektif terhadap penguasa atau rezim saat ini. Lebih dari itu, kata Jaleswari, sudah sepatutnya penyusunan dan pembahasan terkait sejarah ditempatkan pada posisi yang benar dan seharusnya. Sebab, sejarah tak hanya memberikan pelajaran dan inspirasi, tetapi juga melahirkan luka dan kegagalan. Sehingga sudah sepatutnya penulisan sejarah dilakukan secara apa adanya, tanpa glorifikasi berlebihan yang justru dapat berimplikasi pada pengaburan sejarah yang terjadi di masa lalu.*

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page