top of page

Sejarah Indonesia

Mengapa Penulisan Ulang Sejarah Indonesia oleh Pemerintah Mendapat Penolakan?

Penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah ditolak karena dikerjakan terburu-buru dan tidak transparan. Buku “sejarah resmi” ini dikhawatirkan menghasilkan tafsir tunggal, meminggirkan peran orang dan kelompok, serta menjadi legitimasi bagi rezim yang berkuasa.

Oleh :
20 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sejarawan Ruang Arsip & Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia yang juga sekretaris AKSI, Ita Fatia Nadia (kiri) dan sejarawan Asvi Warman Adam (kanan) dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI untuk menyatakan sikap menolak penyusunan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah. (Youtube TV Parlemen).

PENULISAN ulang sejarah Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan mendapat penolakan dari koalisi masyarakat sipil mulai dari aktivis hak asasi manusia hingga sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Perwakilan AKSI menyampaikan manifesto penolakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025.


Penolakan tersebut salah satunya didasarkan pada kekhawatiran akan munculnya istilah “sejarah resmi” yang merujuk pada tafsir tunggal pemerintah mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu.


“Dalam kaitannya dengan sejarah resmi atau sejarah formal, tafsir tunggal berpretensi memiliki kata akhir yang final mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan sejarah itu. Siapa yang memberi hak kepada pemerintah untuk mengambil alih kuasa menyatakan kata akhir mengenai identitas kita? Itulah kekhawatiran kami dari AKSI,” kata Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung yang juga ketua AKSI, di hadapan Komisi X DPR RI.


Marzuki mengkritik rencana penulisan ulang sejarah Indonesia sebagai wujud dari upaya pemerintah memaksakan kepentingannya kepada masyarakat.


“Hanya negara-negara dengan sistem pemerintahan yang total restriktif yang melakukan hal itu. Kekhawatiran ini bukan sekadar prasangka. Jika nanti pemerintah menyampaikan jaminan-jaminan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi, sudah terlalu banyak pengalaman di masa lalu yang dapat kita jadikan pelajaran mengenai hal ini,” tambah Marzuki.


Kekhawatiran terhadap munculnya istilah “sejarah resmi” juga disampaikan sejarawan sekaligus anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana. Menurutnya, penulisan ulang sejarah Indonesia yang berpotensi membentuk suatu tafsir tunggal akan sejarah bangsa melahirkan pertanyaan baru mengenai posisi tafsir atau interpretasi sejarah lain yang berbeda dengan pemerintah.


“Jika ada satu proyek penulisan sejarah yang menggunakan terminologi sejarah resmi, apakah berarti yang di luar itu tidak resmi atau bahkan dianggap subversif? Butuh pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini, dan oleh karena itu dibutuhkan keterbukaan dalam prosesnya sehingga proses pengawasan dapat berjalan,” kata Bonnie.


Bonnie menganggap Kementerian Kebudayaan kurang transparan sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat yang berujung pada penolakan sejumlah aktivis dan sejarawan. Menurutnya, jika melihat proses penulisan buku sejarah nasional di masa lalu, hal ini tidak dapat dilakukan secara terburu-buru. Prosesnya juga dilakukan secara terbuka sehingga publik bisa mengetahui bagaimana penyusun menggarap buku nasional tersebut.


“Ambil contoh proses penyusunan buku sejarah nasional Indonesia yang pertama di tahun 1950-an. Proses penyusunannya tidak tiba-tiba. Diawali dengan suatu diskusi yang panjang dan terbuka. Dalam konferensi sejarah nasional Indonesia yang dihadiri para intelektual terkemuka pada 1957 itu berbagai suara didengar. Di sana ada diskusi, perdebatan bahkan polemik. Dari proses panjang itu munculah buku yang disunting oleh Soedjatmoko. Sebuah buku yang menampung begitu banyak pemikiran para sejarawan yang kemudian digunakan untuk merumuskan sejarah nasional Indonesia sebagai identitas kita setelah kemerdekaan,” jelas Bonnie.


Menyusun buku sejarah nasional juga memerlukan pemahaman yang menyeluruh dan kritis sehingga beragam peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat dimuat dan dijelaskan secara komprehensif. Namun yang terjadi, menurut Ita Fatia Nadia, sejarawan dari Ruang Arsip & Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia yang juga sekretaris AKSI, proses penyusunan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan dengan waktu begitu cepat dan tidak transparan membuat beberapa fragmen dalam sejarah Indonesia berpotensi terpinggirkan, atau bahkan secara sengaja dihilangkan.


Ita menyebut setelah berakhirnya pemerintahan Sukarno, peran sejumlah perempuan Indonesia dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, baik di dalam atau luar negeri, seakan dibiarkan tenggelam begitu saja. Tak hanya itu, penulisan ulang sejarah Indonesia yang sarat akan sentimen terhadap kelompok atau pandangan tertentu juga membuat sejumlah peristiwa yang terjadi di masa lalu yang memberikan gambaran mengenai peran penting Indonesia dalam kancah internasional terancam untuk dikaburkan dan dihilangkan.


“Di masa lalu ketika Indonesia dilanda kekurangan beras, ada seorang pria yang tinggal di Klaten diberi penghargaan oleh Bung Karno karena dia adalah penemu bibit-bibit beras yang paling baik di seluruh Asia. Orang itu adalah Insinyur Jagus. Sayangnya dia menjadi salah satu korban dari peristiwa 1965. Seluruh penelitiannya tentang pangan dan beras diambil, lalu dipindahkan ke Filipina. Itu adalah memori bangsa yang tidak ditulis dan seakan secara sengaja dihilangkan. Padahal itu adalah identitas bangsa,” kata Ita.


Sementara itu, sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, penolakan AKSI terhadap penulisan ulang sejarah Indonesia bukan sekadar kritik terhadap proses penyusunannya yang terburu-buru dan tidak transparan, tetapi juga mempertanyakan urgensi dari rencana tersebut.

“Kami melihat konsep penulisan ulang sejarah Indonesia yang dibuat oleh tim perumus dari Kementerian Kebudayaan pada 16 Januari 2025 sebagai manipulasi sejarah. Mengapa demikian? Karena penulisan ulang sejarah oleh sebuah rezim yang tengah memerintah berpotensi hanya mengambil hal-hal yang menguntungkan dari suatu rezim dan hal-hal yang dianggap negatif akan dihilangkan atau ditutupi,” kata Asvi.


Dalam hal ini, Asvi menyebut 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru hingga Reformasi dan telah diakui oleh Presiden Joko Widodo pada 2023. Menurutnya, penulisan ulang sejarah Indonesia oleh rezim penguasa yang tengah memerintah berpotensi mengaburkan pemahaman tentang pelanggaran HAM berat di masa lalu yang memiliki indikasi negatif terhadap seorang tokoh atau rezim tertentu.


Asvi juga menyoroti pernyataan tentang latar belakang penulisan ulang sejarah Indonesia dikaitkan dengan beberapa kontroversi mengenai fakta sejarah Indonesia. Salah satunya Indonesia tidak dijajah selama 350 tahun.


“Jika tujuannya untuk membantah bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun, apakah tidak cukup dengan mencetak ulang buku G.J. Resink (profesor hukum internasional yang meneliti penjajahan Belanda di Indonesia, red.) yang sudah membantah klaim Indonesia dijajah selama 350 tahun? Lalu kalau tujuannya untuk membantah klaim yang menyatakan bahwa Candi Borobodur dibangun Nabi Sulaiman atau Patih Gajah Mada adalah seorang muslim karena namanya Gaj Ahmada, sebagaimana ramai di media sosial, rasanya tidak sulit untuk membantah dan membuktikan kebenarannya daripada harus mengerjakan sebuah proyek yang membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu besar untuk penulisan ulang sejarah yang lagi-lagi berpotensi memberikan legitimasi kepada rezim yang sedang berkuasa,” tambah Asvi.


Penolakan terhadap penulisan ulang sejarah Indonesia membangkitkan kekhawatiran akan trauma masa lalu, di mana rezim berkuasa melakukan indoktrinasi melalui tafsir tunggal sejarah bangsa. Hal ini tidak hanya berpotensi menghapus peran tokoh atau kelompok dalam peristiwa penting di masa lalu, tetapi juga menyulitkan proses pengungkapan kebenaran terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.


Aktivis sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, penulisan ulang sejarah Indonesia secara esensial bukanlah gagasan yang keliru, tetapi hal ini bisa menjadi keliru jika dilakukan secara terburu-buru dan tanpa melibatkan partisipasi banyak pihak.


“Sejarah dari pemerintahan yang demokratis adalah sejarah yang ditulis dengan egaliter, dengan mengakui kejujuran pada sejarah, dan juga menghormati apa-apa yang sebenarnya telah menjadi ketidakadilan di masa lalu. Hanya di rezim-rezim fasis dan totaliter seperti Mussolini di Italia atau Hitler di Jerman yang menulis tentang kebanggaan-kebanggaan semata tentang rezim dan sejarahnya, dan di dalam kebanggaan mereka itu terdapat banyak sekali manipulasi fakta, sensor, propaganda, penghapusan sejarah, dan penghilangan narasi tentang kelompok minoritas. Tentu kita tidak ingin ini terjadi di Indonesia,” ungkap Usman.


Menurut Usman, Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru memikul beban sejarah yang berat. Dengan demikian rencana penulisan ulang sejarah harus mendapat sorotan besar dari berbagai pihak. Hal ini penting karena dalam perspektif kebudayaan dan pendidikan, membangun identitas kebangsaan Indonesia tidak dapat dilakukan dengan menggunakan cara pandang nasionalisme yang sempit. Alih-alih terjebak pada glorifikasi yang berlebihan, sejarah seharusnya didasarkan pada kerendahan hati. Sebuah kesadaran bahwa selain harapan dan kebanggaan, luka juga turut membentuk negara ini.


“Luka itu dirasakan oleh jutaan orang yang menjadi korban peristiwa 1965, begitu juga yang dialami ratusan orang di Timor Timur, ribuan orang di Papua, serta banyak orang lainnya yang menjadi korban pelanggaran HAM berat, salah satunya kerusuhan Mei 1998. Menghormati warisan budaya, meningkatkan kesadaran budaya, membangun rekonsiliasi, dan memastikan pendidikan kebudayaan kita berbasis pada moralitas serta kejujuran sangat penting. Oleh karena itu, penulisan ulang sejarah tanpa perspektif mereka yang tertindas tidak mungkin akan membentuk bangsa yang besar,” tambah Usman.*

Commentaires

Noté 0 étoile sur 5.
Pas encore de note

Ajouter une note
bottom of page