- Randy Wirayudha
- 30 Mei
- 5 menit membaca
Diperbarui: 4 Jun
SAAT rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Senin (26/5/2025), Menteri Kebudayaan Fadli Zon berulang-kali menekankan bahwa 10 jilid buku yang akan dihasilkan dari proyek penulisan ulang sejarah adalah buku sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris. Padahal perspektif itu sudah jadi prioritas sejak tujuh dekade silam.
Di masa kolonial, salah satu “buku babon” sejarah adalah Gescheidenis van Nederlandsch-Indië (1930) karya Frederik Willem Stapel. Buku tersebut dimutakhirkan menjadi lima jilid oleh para ahli sejarah Belanda lain dengan tajuk serupa pada 1938 di mana Stapel jadi editor utamanya. Tentu seluruh kitab sejarah itu disusun dari perspektif Belanda.
“Isi buku (oleh Stapel) tersebut lebih banyak menceritakan peran Belanda di Hindia Belanda, di mana Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang dipertuan, sedangkan bangsa Indonesia hanya ‘abdi’ bangsa Belanda. Peran dari bangsa kita sendiri saat itu dikesampingkan, malahan dihilangkan dan dianggap sebagai bangsa yang rendah dan dicap sebagai pemberontak,” tulis Andre Bagus Irshanto dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia: Perspektif Buku Teks Sejarah.
Oleh karenanya, pada 1951 atau dua tahun pasca-revolusi kemerdekaan usai, usaha untuk menyusun kitab sejarah “tandingan” mulai dijajaki cendekiawan Indonesia. Menurut M. Makagiansar dalam Research di Indonesia, 1945-1965, Volume 4, pemerintah pada 1951 membentuk Panitia Sedjarah Nasional yang anggota-anggotanya antara lain Mohammad Yamin, Husein Djajadiningrat, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka. Namun karena kurangnya koordinasi, panitia ini gagal menghasilkan hal-hal signifikan.
Upaya lanjutan baru bisa dilaksanakan enam tahun berselang dengan digelarnya Seminar Sejarah Nasional I di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 14-18 Desember 1957 dengan dukungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Visi dan aspek Indonesia-sentris dan periodisasi sejarah Indonesia sudah sama-sama disepakati, sebagaimana yang ditekankan Sartono Kartodirdjo. Namun, terjadi perdebatan seru antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko perihal konsepsi filsafat Indonesia.
“Yamin menyerukan sejarah ilmiah yang juga diresapi dengan nasionalisme Indonesia, seperti bukunya pada 1951 tentang 6.000 tahun bendera Indonesia. Dia tidak melihat kontradiksi gagasan ‘ilmiah’ dan ‘nasionalis’. Soedjatmoko sebaliknya, berpendapat bahwa sejarah ilmiah harus sesuai standar internasional, bahwa setiap sejarah yang ‘nasionalis’ tidak mungkin menjadi ‘ilmiah’. Saat itu komunitas sejarah yang terbatas lebih condong pada Soedjatmoko. Di luar lingkungan akademis, pandangan Yamin menang telak,” ungkap David Reeve dalam Tetap Jadi Onghokham.
Sejarah Nasional I akhirnya menghasilkan Panitia Sejarah Nasional yang baru dengan mengemban tugas merumuskan dan menyusun kitab sejarah nasional yang Indonesia-sentris. Namun gejolak politik menghambat untuk mewujudkannya, kecuali sekadar menetapkan Hari Sejarah Nasional yang diperingati setiap 14 Desember.
Upaya serupa pernah dicoba pada 1963 dengan pembentukan panitia serupa untuk merealisasikan penulisan buku sejarah nasional yang diwacanakan sejak 1951 dan 1953. Namun lagi-lagi kondisi politik dan ekonomi membuat upaya merealisasikannya terhalang.
Di Balik Lahirnya SNI dan IDAS
Momentum untuk mewujudkan buku sejaran nasional baru kembali dipupuk pasca-transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan turut meng-endorse digelarnya Seminar Sejarah Nasional II yang kembali bertempat di UGM pada 26-29 Agustus 1970.
“Baik rektor UGM maupun Sri Sultan Hamengku Buwana IX sangat besar dukungannya dalam penyelenggaraan kedua seminar tersebut. Pada kesempatan itulah, melalui kepemimpinan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, didirikan organisasi profesi sejarawan. Pada seminar itu pula dilontarkan agar gagasan para sejarawan, dari para ahli prasejarah hingga sejarah kontemporer, bergabung dalam suatu usaha bersama menuliskan apa yang dapat disebut sebagai buku babon Sejarah Nasional Indonesia,” kata buku Kongres Nasional Seharah 1996: Sub Tema Studi Komparatif dan Dinamika Regional II.
Gagasan itu lalu direkomendasikan ke Mendikbud Mashuri Saleh, yang lalu mengeluarkan SK No. 0173/1970 untuk pembentukan dan pengangkatan panitia penyusunnya. Tim penulisannya diketuai Prof. Dr. Sartono bersama Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Tim ini dibantu sejumlah akademisi dan sejarawan lintas disiplin.
“Rupanya, konflik sudah dimulai dalam lingkungan tim penyusun sejarah ini. Deliar Noer, anggota (penulis) jilid V, yang ditugasi menulis ‘Sejarah Pergerakan Islam, 1900-1945’, suatu hari dipanggil oleh Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri,” tulis Sam Wineburg dalam Historical Thinking and Other Unnatural Acts Charting the Future of Teaching the Past.
Pemberhentian itu pun jadi concern beberapa sejarawan yang tergabung dalam tim penyusunan itu. Puncaknya menjelang peluncuran Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang kemudian terbit dalam enam jilid pada 1975, beberapa anggota ikut mengundurkan diri, mulai dari Prof. Taufik Abdullah, Thee Kian Wee, Abdurrachman Surjomihardjo, hingga Prof. Sartono sendiri. Alasan mereka mundur bukan hanya karena peristiwa “pemecatan” Deliar Noer hingga materi-materinya tak terpakai di SNI jilid V. Pasalnya, ada pula intervensi rezim Orde Baru terhadap kerja tim dalam penyusunan buku itu.
“Kejujuran Prof. Taufik ditunjukkannya dalam berbagai peristiwa. Salah satu di antaranya, ketika tahun 1970-an ia menyatakan mundur dari tim penulis buku standar Sejarah Nasional Indonesia yang diprakarsai pemerintah. Ia mundur karena, kata Prof. Taufik, kekuasaan telah mengintervensi kerja tim penulis demi legitimasi kekuasaan Orde Baru,” ungkap Susanto Zuhdi dkk. dalam 85 Tahun Taufik Abdullah: Perspektif Intelektual dan Pandangan Publik.
Legitimasi kekuasaan begitu tampak di SNI, utamanya di jilid VI yang mengulas tentang transisi kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Soeharto yang kemudian menjadi presiden kedua. Selain mempersoalkan hari kelahiran Pancasila, terdapat narasi-narasi yang cenderung mendiskreditkan Sukarno.
“Mundurnya Deliar, kemudian diikuti seluruh temannya pada jilid V dan terakhir ‘mundurnya’ Sartono Kartodirjo yang keberatan dilibatkan sebagai penanggung jawab materi buku tersebut, terutama SNI jilid VI. Sejak edisi awal (1975) sampai edisi ketiga (1982), nama Sartono memang dicantumkan dalam sampul depan bersama Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Belakangan, dalam edisi keempat (1984), nama Sartono sudah dihapus,” sambung Wineburg.
Menurut Andre, SNI sempat ditarik peredarannya oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan. Upaya revisi juga dijajaki pada 1993 yang diampu para sarjana sejarah lain, seperti R.Z. Leirissa dan Anhar Gonggong. Namun tanpa alasan jelas, SNI edisi revisi itu tak kunjung diluncurkan dan diedarkan.
Pada 2000, Mendikbud Juwono Sudarsono menyatakan SNI tidak lagi berlaku. Kemudian dibuatlah rencana penyusunan buku baru yang rencananya akan diampu dua editor utama, Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Adrian Bernard Lapian.
“Tanggal 2-4 September 2004 berlangsung lokakarya penulisan sejarah nasional di Yogyakarta membahas draft SNI yang dibuat selama dua tahun ini. Menurut Prof. Taufik Abdullah yang sedang ditulis adalah SI (Sejarah Indonesia) yang komprehensif dan ensiklopedis, bukan revisi SNI lama. Sedangkan pihak pemerintah menganggap bahwa itu adalah pengganti SNI yang ditarik semasa Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pendidikan,” tambah Wineburg.
Kelak diketahui buku yang dimaksud adalah Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang penyusunannya membutuhkan waktu panjang. Sebanyak 9 jilid yang ditulis para ahli sejarah dengan Prof. Taufik dan Prof. A.B. Lapian sebagai editor umum baru terbit pada 2012.
“Gagasan penulisan buku dan penerbitan buku ini terjadi di tengah-tengah kontroversi penulisan sejarah Indonesia, yaitu adanya kecurigaan bahwa di masa pemerintahan Orde Baru penulisan sejarah tidak lepas dari kepentingan penguasa. Karena itu, semangat meluruskan sejarah di antara para penulisnya juga sangat besar,” tukas Mendikbud Mohammad Nuh dalam “Sekapur Sirih” di buku IDAS.









