top of page

Sejarah Indonesia

Apa Saja Tema yang Dibahas dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut buku sejarah nasional yang tengah ditulis oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan terdiri dari 10 jilid. Pembahasannya dimulai dari sejarah awal Nusantara hingga pelantikan Presiden Prabowo Subianto.

Oleh :
28 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersama Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha menghadiri rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 26 Mei 2025. Rapat kerja itu membahas proyek penulisan buku sejarah nasional baru yang direncanakan terbit pada bulan Agustus 2025 mendatang. (Youtube TV Parlemen).

PROYEK penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan masih terus menjadi sorotan masyarakat. Kendati ditolak sejumlah aktivis dan sejarawan karena dianggap terburu-buru dan tidak transparan, proses pembuatan buku sejarah nasional yang direncanakan terbit sebagai hadiah ulang tahun ke-80 Republik Indonesia pada Agustus 2025 itu telah memasuki tahap penyusunan naskah.


Hal ini disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 26 Mei 2025. Ia menyebut penulisan sejarah Indonesia ini melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum dari kalangan akademisi lintas bidang ilmu baik arkeologi, geografi, sejarah, dan ilmu humaniora lainnya.


Fadli mengatakan, buku sejarah nasional yang tengah disusun terdiri dari 10 jilid. Setiap jilid memuat berbagai tema yang berkaitan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Tema-tema yang dibahas di antaranya sejarah awal Nusantara, Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina, Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah, Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi, Respons terhadap Penjajahan, Pergerakan Kebangsaan, Perang Kemerdekaan Indonesia, Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi, Orde Baru (1967-1998), serta Era Reformasi (1999-2024).


Soal tim penyusun buku sejarah nasional, Fadli Zon menyebut para penulis merupakan orang-orang yang memiliki ahli di bidang ilmu sejarah dan berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. “Tim yang kami bentuk terdiri dari sejarawan-sejarawan... Mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda dan berasal dari 34 perguruan tinggi. . . . Tidak hanya laki-laki tetapi juga ada perempuan. Selain itu, supaya tidak bias dari daerah tertentu anggota tim ini juga berasal dari berbagai wilayah, mulai dari Aceh hingga Papua,” kata Fadli di hadapan anggota Komisi X DPR RI.


Fadli juga menyebut tiga nama sebagai tim editor umum dalam proses penyusunan buku sejarah nasional. Ketiga orang itu adalah Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum., Guru Besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum., Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro, dan Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A., Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


“Lalu ada tim editor jilid yang disesuaikan dengan keahlian masing-masing. Jilid 1 misalnya, kebanyakan spesialisasinya di bidang arkeologi seperti Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana, M.Si., dan Prof. Dr. Akin Duli, M.A.. Sedangkan editor yang bertanggung jawab di jilid 2 adalah Dr. Ninie Susanti, M.Hum., yang dikenal sebagai ahli epigrafi, sementara di jilid 3 ada Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum., yang memiliki keahlian di bidang manuskrip,” kata Fadli.


Selain membahas latar belakang para anggota tim penyusun buku sejarah nasional Indonesia, Fadli juga membedah tema-tema yang dibahas dalam buku tersebut. Contohnya jilid 1 yang akan memuat kondisi lingkungan Nusantara di masa lampau. Pembahasannya tidak terbatas pada proses persebaran manusia dan perkembangannya, tetapi juga mencakup soal organisasi dan perkembangan masyarakat, perkembangan teknologi dan transformasi ekonomi, seni dan tradisi, serta maritim dan jaringan nusantara.


Satu hal yang menarik perhatian pada jilid 1 adalah perubahan istilah prasejarah menjadi sejarah awal. Menurut Fadli, terminologi prasejarah sudah tidak lagi relevan untuk digunakan dalam menulis jejak-jejak awal sejarah bangsa Indonesia. “Kami tidak lagi menggunakan istilah prasejarah karena ini mengacaukan (pemahaman). Seolah-olah sejarah kita dimulai dari abad ke-4,” kata Fadli yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR periode 2014-2019.


Pernyataan Fadli salah satunya didasarkan pada hasil penelitian lukisan gua (cadas) di Leang Karampuan, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, yang dipublikasikan di jurnal Nature setahun lalu. Tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Griffith University dan Southern Cross University menemukan lukisan gua di Leang Karampuan diperkirakan berasal dari 51.200 tahun lalu. Temuan ini dengan demikian menetapkan cadas di Leang Karampuang sebagai gambar hias gua tertua di dunia.


Selanjutnya di jilid 2 yang berjudul “Nusantara dalam Jaringan Global: India dan China”, tema yang dibahas berkaitan dengan persilangan budaya dengan India dan China, dinamika politik kerajaan, serta puncak pencapaian persilangan dengan Hindu dan Buddha. Sementara pada jilid 3 yang diberi judul “Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah” pembahasannya berkaitan dengan Nusantara dalam perdagangan jarak jauh dan sejarah masuknya Islam serta perkembangannya di tanah air.


“Kita tentu saja tidak bisa menuliskan sejarah secara detail dan keseluruhan. Jadi (buku) 10 jilid ini hanya garis besar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Misalnya pemilihan umum, pembahasannya berkaitan dengan hasil pemilu, siapa pemenangnya, program-program yang diusung dan pemaparannya pun diupayakan untuk lebih netral dan positif, karena seperti yang kita tahu dalam konteks pemerintahan setiap pemimpin pasti ada kekuatan dan kelemahannya sehingga fokusnya akan lebih diarahkan pada jasa-jasa dan apa yang telah dilakukan para presiden di masa pemerintahannya,” sebut Fadli. “Cakupan pembahasannya pun hingga penyelenggaraan pemilu 2024, sampai pelantikan Presiden Prabowo Subianto,” tambahnya.


Menurut Fadli, penulisan buku sejarah nasional ini dimaksudkan untuk pemutakhiran catatan sejarah Indonesia. Sebab, jarak penerbitan buku sejarah nasional sebelumnya dengan proyek penulisan sejarah yang tengah dikerjakan oleh pemerintah cukup jauh, sehingga belum memuat beragam catatan sejarah tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, alih-alih menulis buku sejarah dari nol, proyek yang dikerjakan oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan itu akan tetap mengacu pada buku-buku sejarah nasional yang telah lebih dahulu diterbitkan, namun difokuskan untuk meluruskan sejumlah catatan-catatan sejarah yang tidak lagi relevan dengan menambahkan temuan-temuan baru.


Ia juga menegaskan penulisan buku sejarah nasional ini menjadi momentum untuk menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesiasentris yang dapat membantu proses pembentukan identitas nasional yang kuat dalam rangka menjawab tantangan kekinian dan globalisasi.


“Sudah 26 tahun kita absen menulis sejarah bangsa, oleh karena itu penulisan buku sejarah nasional ini menjadi upaya untuk melanjutkannya. Terlebih ada banyak temuan-temuan baru, baik dari sisi arkeologis, geografi, dan sebagainya. Pembahasan yang ada di dalam buku sejarah itu pun luas, bahkan ada bab khusus tentang Papua dan soal perempuan juga ada bab khusus yang membahas peran perempuan,” ungkap Fadli.


Lebih lanjut terkait proses penulisan buku sejarah nasional tersebut, Fadli menyebut masing-masing tim penulis sudah mulai menulis sesuai dengan tema yang ditentukan. Progresnya beragam, ada yang telah mencapai 50 persen, 70 persen, atau 80 persen. Bahkan, tim penulis yang mendapat bagian tentang perang kemerdekaan progresnya sudah sampai 100 persen.


“Nantinya jika progres para penulis telah mencapai rata-rata 70 persen, rencananya pada Juni atau Juli akan kami buka diskusi per tema dengan melibatkan banyak pihak sehingga dapat memunculkan diskusi hingga perdebatan dari berbagai macam ahli... Tapi untuk melakukan hal ini kan (buku sejarah nasional) harus ditulis dahulu... Jadi sejarahnya ditulis dahulu baru kemudian kita perdebatkan,” sebut Fadli.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
Misteri Sulap

Misteri Sulap

Berusia setua peradaban manusia, sulap pernah bersanding dengan sihir. Sulap modern masuk pada masa kolonial Belanda. Pesulap Indonesia umumnya keturunan Tionghoa.
Spesialis Pencabut Nyawa

Spesialis Pencabut Nyawa

Dibentuk sebagai alat pemukul dan mesin pembunuh, Korps Pasukan Khusus (KST) Belanda melakukan aksi-aksi brutal.
bottom of page