top of page

Sejarah Indonesia

Aturan Hak Cipta Lukisan

Aturan Hak Cipta Lukisan

Kemandekan kreativitas memicu budaya mencontoh dan meniru. Ujungnya melanggar hak cipta.

29 Agustus 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sampul buku Sejarah Hak Cipta Lukisan karya Inda Citraninda Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012).

Sampul buku Sejarah Hak Cipta Lukisan karya Inda Citraninda Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012).


AD Pirous, seniman lukis kaligrafi mendapati karya-karyanya dipalsukan dan dijual di sebuah toko karya seni rupa. “Saya terpana dan gagap menghadapi situasi yang tidak pernah saya bayangkan. Saya harus bertindak apa?” tulis Pirous dalam pengantar buku Sejarah Hak Cipta Lukisan (Komunitas Bambu, 2012) karya Inda Citraninda Noerhadi.


Menurut Indah, pelanggaran hak cipta terjadi karena budaya mencontoh dan meniru sudah memprihatinkan yang disebabkan oleh mandeknya proses kreativitas. Dalam buku ini, Indah menyoroti perkembangan undang-undang hak cipta di Indonesia yang dikaji dari masa pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa reformasi dan tantangan masalah ini di masa mendatang.



Perkembangan awal pengakuan atas hak cipta karya-karya seni tak lepas dari dinamika politik yang terjadi di Eropa. Terutama pada abad ke-18 setelah terjadinya revolusi di Inggris dan Perancis. Kedua revolusi ini banyak memberi dorongan asas-asas maupun objek hukum Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan undang-undang (UU) dan perjanjian di Eropa kemudian mempengaruhi aturan yang diterapkan di wilayah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda.


Pada 1709 hadir UU tentang hak cipta pertama di dunia, Statue of Anne di Inggris yang memperluas cakupan hak cipta. Kemudian diadakan pula perjanjian-perjanjian, seperti Engraving Copyright Act 1734 yang melindungi karya ukiran atau pahatan dan Sculpture Coptright Act 1814 yang melindungi karya patung.


Sejarah Hak Cipta Lukisan karya Inda Citraninda Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012).
Sejarah Hak Cipta Lukisan karya Inda Citraninda Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012).

Pada 1833, di Inggris keluar UU Dramatic Copyright untuk melindungi karya drama. Barulah dalam Copyright Act 1911 pelbagai ciptaan dikodifikasi mendapatkan perlindungannya masing-masing. Perkembangan awal ini memperlihatkan upaya-upaya perluasan ruang lingkup karya-karya atau kekayaan intelektualnya.


Lantas, Belanda terdorong untuk mengeluarkan peraturan tentang hak cipta yang juga berlaku di negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Pada 1803 Belanda kali pertama mengeluarkan UU hak cipta, kemudian diperbarui pada 1881, dan kembali diperbarui menjadi Auteurswet 1912 yang didorong berlakunya hasil Konvensi Bern pada 1886.



Setelah Indonesia bediri sebagai negara yang berdaulat, aturan mengenai hak cipta mulai dibicarakan pada 1951. Pemerintah Indonesia mulai membuat RUU hak cipta pada 1958. Tapi terkatung-katung karena masalah sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia yang kompleks. Barulah pada 1982 disahkan UU No. 6 tahun 1982 tentang hak cipta untuk menggantikan Auteurswet 1912. UU tersebut disempurnakan dengan menambah ketentuan perlindungan hukum bagi pencipta karya. Lahirlah UU No. 7 tahun 1987.


Memasuki era 1990-an, dunia ramai membicarakan pembentukan WTO sebagai organisasi perdagangan dunia. Dengan dasar meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan nasional dan internasional, Indonesia menjadi anggotanya. Sebagai salah satu persetujuan yang seiring dengan terbentunya WTO, Agreement of Aspect of Intellectual Property Rights atau Persetujuan TRIPs, Indonesia menyatakan ikut serta dan menerima persetujuan tersebut pada 1994.



Pada 1995 perkembangan hubungan regional Asia Tenggara semakin meningkat. Persetujuan kerjasama hak kekayaan intelektual antarnegara-negara ASEAN dalam rangka pelaksanaan ASEAN Free Trade Area ­(AFTA) pun dilakukan. Kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal aturan-aturan menganai hak cipta terus bergulir.


Melalui Kepres RI No. 18 tahun 1997, Indonesia meratifikasi Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. Dan melalui Kepres RI No. 19 tahun 1997 Indonesia meratifikasi perjanjian internasional tentang kerjasama hak cipta (WIPO Copyright Treaty).


Dengan pertimbangan ratifikasi perjanjian, pelanggaran hak cipta yang kian membahayakan, dan desakan dunia internasional atas peraturan hak cipta, Indonesia kemudian menyempurnakan UU hak cipta menjadi UU No. 12 tahun 1997 dan diganti lagi dengan UU No. 19 tahun 2002, yang berisi aturan hukum yang dianggap memadai karena menyempurnakan peraturan tentang hak intelektual dari keberagaman seni dan budaya Indonesia serta menyempurnakan pula tentang penyelesaian berbagai sengketa hak cipta. Aturan-aturan hukum hak cipta tersebut dibuat untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencipta dan karya-karya yang diciptakannya. 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page