- Martin Sitompul

- 20 jam yang lalu
- 4 menit membaca
Diperbarui: 1 jam yang lalu
SEBELUM kajian sejarah publik berkembang seperti sekarang, penulisan sejarah Indonesia berkutat pada tema-tema sejarah politik dan peristiwa besar. Namun, Onghokham mengulik tema yang tak banyak dilirik para sejarawan sejawatnya. Dia menulis tentang sejarah kuliner, sejarah seksualitas, hingga sejarah alam gaib. Apa yang dilakukan Ong terbilang nyentrik dan unik. Apalagi Ong menuangkannya dalam kolom pers dengan bahasa popular. Selain itu, produktivitas Ong menulis di media membuat namanya dikenal publik.
“Pada tahun 1970-an, 1980-an, Ong satu-satunya sejarawan senior yang menulis tentang ilmunya dalam media-media. Itu yang membuat Ong menjadi semacam celebrity historian pada zaman itu,” kata sejarawan David Reeve dalam diskusi bertajuk “Onghokham Sejarawan Multidimensi” di Gramedia Jalma, Blok M, Jakarta Selatan, 5 Desember 2025.
David Reeve merupakan sejarawan Australia dari Universitas New South Wales sekaligus sahabat dekat Onghokham. Reeve termasuk yang mendampingi Ong di masa-masa terakhirnya hingga wafat pada 30 Agustus 2007. Reeve menulis kenangan tentang Ong sekaligus perjalanan hidupnya sebagai seorang sejarawan dalam biografi berjudul Tetap Jadi Onghokham: Sejarah Seorang Sejarawan yang terbit pada 2024.

Tidak seperti Ong, menurut Reeve, sejarawan pada masa itu tidak tertarik menuliskan pemikiran atau riset mereka di media. Reeve menyebut nama-nama sejarawan beken seperti Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, dan Mona Lohanda yang merasa segan menulis untuk media massa. Bagi mereka, menulis artikel di media massa hanya sementara, tidak berbobot, terlalu singkat, murahan, bahkan terkesan seperti pelacur intelektual. Berbeda halnya dengan melakukan riset panjang, meneliti arsip, dan membukukannya yang dirasa lebih kekal sebagai warisan intelektual.
“Mereka tidak mau membuang talenta dan bakat mereka untuk menulis di pers. Lain sekali dengan sekarang, semua sejarawan muda sekarang buru-buru lari terbirit-birit untuk muncul di media, muncul di televisi, podcast, dan sebagainya,” tandas Reeve dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Di antara para begawan itu, Reeve mengklaim, Onghokham adalah sejarawan senior satu-satunya yang aktif menulis dalam pers. Aktivitas Ong sebagai sejarawan-kolomnis di media dimulai setelah dirinya menyelesaikan studi doktoral dari Universitas Yale pada 1975. Ong menulis sejarah di media-media terkemuka seperti Kompas, Tempo, The Jakarta Post, hingga jurnal Prisma.
Sebagai sejarawan-kolumnis, Ong kerap mengangkat isu sejarah yang aktual, terkadang tabu, namun sebenarnya lekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Ia misalnya menulis tentang “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial” dalam Prisma, edisi Juli 1991 yang mengangkat tema khusus “Seks dalam Jaring Kekuasaan”. Dalam edisi Prisma Februari 1983, Ong menulis tentang budaya korupsi di Indonesia, “Tradisi dan Korupsi”. Ong juga menulis tentang sejarah tempe dalam Kompas, 1 Januari 2000, “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia”.
Ong bahkan pernah menjadi pembicara dalam “Konferensi Tuyul” di Semarang pada 1985, yang berkaitan dengan kepercayaan mistik tradisional masyarakat Jawa. Ratusan orang hadir dalam seminar yang diselenggarakan Yayasan Parapsikologi Semesta itu. Hampir semuanya berasal dari kalangan dukun dan paranormal. Ong barangkali satu-satunya sejarawan yang memberikan pemaparan dari perspektif sejarah. Ong kemudian menjelaskan bahwa eksistensi tuyul dan makhluk demit lainnya, seperti Nyai Blorong dan Nyai Roro Kidul, dibentuk lewat konstruksi sosial budaya masyarakat sebagai legitimasi. Ong menuliskannya dalam artikel di Kompas, 13 November 1985, “Legitimasi Melalui Alam Gaib”.
“Ong selalu tertarik dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional terutama di Jawa. Dan salah satunya adalah Ong menjadi ahli tuyul. Ong terkenal karena tuyul,” tutur Reeve, “Ong adalah satu-satunya sejarawan atau ilmuwan serius terkenal dan muncul di Konferensi Tuyul di Semarang.”

Di lingkungan akademis, Ong dikenal sebagai sejarawan dan dosen jurusan sejarah Universitas Indonesia (UI). Namun, ketertarikan Ong untuk menulis dalam pers sudah dilakoninya jauh sebelum menjadi mahasiswa sejarah UI. Ong awalnya menempuh studi hukum di UI seangkatan dengan Harry Tjan Silalahi yang kemudian menjadi politisi Partai Katolik. Namun, Ong tak kerasan belajar hukum. Ong lebih gandrung sejarah, yang menurut Reeve, terinsipirasi dari guru sejarahnya, Broeder Rosarius di HBS (setara SMA) Surabaya. Ketika masih kuliah hukum, Ong mulai menulis di majalah Star Weekly pada 1950-an. Ong banyak menulis tentang sejarah orang Tionghoa peranakan. Hingga pada 1960, Ong memutuskan pindah menjadi mahasiswa sejarah di Fakultas Sastra UI.
Setelah memperoleh gelar sarjana dengan risetnya tentang Gerakan Samin dan Runtuhnya Hindia Belanda, Ong kemudian melanjutkan pendididikan doktoral ke Universitas Yale. Di Amerika, Ong meraih dua keberhasilan. Pertama, gelar doktor dengan disertasi tentang Karesidenan Madiun Abad 19, dan yang kedua, keahlian memasak. Ong lebih bangga pada bagian yang terakhir.
“Dia lulus dari Yale tahun 1975 dan kembali ke Jakarta untuk menjadi publik intelektual, sejarawan publik,” tutur Reeve.
Menurut Reeve, periode 1971–2001 adalah tahun-tahun produktif Ong sebagai sejarawan publik. Selain menulis kolom sejarah di media, Ong juga banyak diwawancarai wartawan untuk diminta tanggapannya atas apa yang terjadi dari sudut pandang sejarah. Atas caranya menyampaikan sejarah, Ong menjadi favorit wartawan. Tidak hanya wartawan domestik, tapi juga wartawan asing seperti dari Amerika, Jepang, Belanda, dan Australia.
“Jadi, Ong adalah [nara]sumber yang sangat baik untuk wartawan-wartawan. Dia tahu topik-topik yang sangat hangat. Dan dia bisa menghubungkan politik hari ini dengan sejarah,” terang Reeve.
Dengan pengetahuannya yang luas, begitu pula caranya bertutur, Ong juga menjadi tamu langganan kedutaan asing. Ong sering kali diundang oleh kedutaan dengan alasan yang sama seperti wartawan. Sebagai sejarawan, Ong mengerti konteks politik modern. Dia tahu cerita-cerita mutakhir dari suratkabar sekaligus membicarakan sejarah Indonesia. Selain itu, Ong punya selera humor yang bagus seperti pelawak tunggal atau komika di zaman sekarang.
“Di kedutaan, orang suka mengeremuni Ong dan kadang-kadang tertawa. Ong bikin jokes yang saya kira, dia dengan sengaja mengarangnya di rumah dan persiapannya matang. Tapi, kalau kita ke dinner lain minggu itu, jokes yang sama keluar lagi. Hanya jokes-nya yang sama tapi audiensnya baru,” celetuk Reeve.
Tak pelak, lingkungan pergaulan Ong begitu luas, tak terbatas di kalangan sejarawan. Popularitas Ong juga relatif lebih dikenal. Pada tahun-tahun produktifnya, Ong kesohor sebagai sejawaran yang doyan pesta, makan, dan minum. Namun, Ong juga meninggalkan legasinya: artikel-artikel sejarah yang tersebar di berbagai media masa yang masih relevan untuk dibaca.*


















Komentar