top of page

Sejarah Indonesia

Harrison Ford dan Kepedulian Lingkungan

Harrison Ford sudah peduli isu lingkungan sejak puncak ketenarannya. Pemeran waralaba “Star Wars” dan “Indiana Jones” itu turut berada di garis depan menentang kerusakan lingkungan.

12 Des 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Harrison Ford saat mengunjungi pedalaman Kalimantan di dokumenter "Years of Living Dangerously" (Tangkapan Layar Youtube The YEARS Project)

SUATU hari di sebuah supermarket di San Carlos, California, Amerika Serikat, Harrison Ford mengelilingi hampir setiap lorongnya didampingi Lefcadio Cortesi, aktivis lingkungan Rainforest Action Network. Dengan menenteng keranjang belanja, mereka mencermati banyak produk yang komposisinya mengandung minyak sawit.


Cortesi menunjukkan minyak itu tersebar di hampir semua kebutuhan sehari-hari. Mulai dari makanan ringan seperti sereal, aneka camilan, aneka makanan olahan, hingga sabun dan sampo.


“Minyak sawit berasal dari buah yang dihasikan pohon kelapa sawit. Semua pohon sawit tumbuh di semua lahan yang dulunya merupakan hutan. Kemudian menjadi komoditas perkebunan,” kata Ford dalam narasinya.


Narasi tersebut diutarakannya ketika ia menyelami lebih dalam tentang keterkaitan akan kebutuhan sawit dan deforestasi, yang dihadirkan dalam serial dokumenter Years of Living Dangerously episode 1, season 1, bertajuk “Dry Season”. Season 1 berisi sembilan episode, diputar jaringan televisi Showtime pada 2014 dan season 2 dengan sembilan episode ditayangkan National Geographic Channel pada 2016.


Aktor kawakan Hollywood itu pun terbang ke Indonesia pada 2013 untuk menengok langsung industri sawit. Ia terbelalak ketika mengetahuinya di pedalaman hutan Kalimantan Tengah dan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Tidak hanya disambut kabut asap, ia yang menumpang helikopter juga “disuguhi” bekas-bekas pembukaan lahan sawit dengan pembakaran hutan alam. Ia mengetahui dari total sekitar 86 ribu hektare, kini luas hutan alam Taman Nasional Tesso Nilo hanya 18 ribu hektare akibat pembukaan hutan.


“Ini sangat mengerikan. Tengok saja mereka menebang sampai ke akarnya, meninggalkan batang pohon, membakar semuanya. Wow, sungguh tidak dapat dipercaya. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu menteri kehutanan. Benar-benar tidak sabar,” ujarnya geram.


Ia akhirnya bersua sang menteri kehutanan di Jakarta pada episode 2 “End of the Woods”. Sebagaimana cuplikan dokumenter itu yang belakangan viral di banyak media sosial, ia penasaran dan punya banyak pertanyaan kenapa pemerintah seperti gagal melindungi hutan yang bahkan berlokasi di taman nasional.


“Kami ke Taman Nasional Tesso Nilo. Itu tidak lucu. Hanya tersisa 18 persen. Kami melihat (pembukaan) jalan-jalan baru yang ilegal, pohon-pohon ditebang dan dibiarkan, dibakar, itu sungguh melukai hati melihatnya. Anda juga melihatnya. Anda menjanjikan resolusinya. (Tapi) apa yang sudah Anda lakukan? Ada banyak waktu untuk menghentikan tindakan dan aktivitasnya,” cecar Ford pada sang menteri.


Tak hanya sang menteri, aktor yang kondang membintangi film waralaba Indiana Jones (1981-2023) itu juga akhirnya bersua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia kembali mengadukan aktivitas-aktivitas ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo dan berharap SBY mampu menegakkan hukum demi melindungi kawasan hutan lindung.


Momen Harrison Ford bertemu Presiden SBY (Tangkapan Layar Youtube The YEARS Project)
Momen Harrison Ford bertemu Presiden SBY (Tangkapan Layar Youtube The YEARS Project)

Ketenaran untuk Lingkungan

Dalam serial dokumenter itu baik di season 1 maupun 2, Ford tidak sendiri. Sejumlah bintang Hollywood pun ikut terlibat dalam episode-episode lain. Ada Don Cheadle, Arnold Schwarzenegger, David Letterman, Gisele Bündchen, Jack Black, Jessica Alba, Matt Damon, hingga Sigourney Weaver. Mereka bukan sekadar “pemanis” lantaran memang punya kepedulian pada isu lingkungan.


“Saya mulai terlibat sekitar 25 tahun lalu. Saya mengalami dan merasakan sumber daya (alam) yang berlebihan dan tidak masuk akal dan sedang mencari cara untuk menebus diri secara moral. (Saya Datang) dari dunia di mana saya biasa berada dan jadi bagian dari percakapan itu sungguh membuat saya tertarik,” kata Ford, dikutip CNN, 29 April 2013.


Semua bermula dari momen Ford memiliki sebuah ranch seluas 325 hektare dekat Pegunungan Teton, Jackson Hole, Wyoming. Ia membelinya pada awal 1980-an untuk dijadikan tempat menyepi dari keriuhan Hollywood bersama istri keduanya, Melissa Mathison.


Ford sudah mulai terbawa arus untuk memperhatikan isu-isu lingkungan sejak 1980-an yang juga notabene di masa puncaknya di perfilman Hollywood. Masa di mana Ford sering mendapat nominasi penghargaan untuk film Indiana Jones and the Temple of Doom (1985) dan Witness (1986).


Virginia Luzón-Aguado dalam biografi Harrison Ford: Masculinity and Stardom menulis, pada 1985 Ford menghibahkan sekitar 157 hektare lahan miliknya itu kepada The Jackson Hole Land Trust. Yayasan non-profit itu berfokus pada pelestarian alam di barat laut Wyoming. Setelah tahu lahannya juga jadi habitat bagi 65 spesies tanaman dan hewan, Ford rela mendonasikannya ketimbang dibeli developer yang ingin membangun banyak proyek.


“Saya lebih merasa seperti penjaga daripada pemilik. Saya sungguh ingin melestarikannya untuk anak-anak saya, agar mereka bisa memahami apa yang paling saya cintai daripada tumpukan uang. Saya tidak bisa memikirkan warisan yang lebih baik dari apa yang bisa Anda lindungi terhadap lahan kecil di belantara,” kata Ford, dikutip Luzón-Aguado.


Ketertarikannya pada isu-isu konservasi lingkungan kian besar seiring hadirnya organisasi riset lingkungan non-profit Conservation International pada 1987. Ford lantas mendapat kehormatan menjadi anggota dewan direksi dan wakil ketuanya pada 1991 setelah terkesan dengan kapasitas intelektual para perisetnya.


Maka sejak itu pula ia secara terbuka di publik menyatakan ia juga seorang aktivis lingkungan. Tak malu-malu ia memanfaatkan ketenarannya untuk menyuarakan kesadaran dan kampanye terkait konservasi lingkungan seperti memelihara keanekaragaman hayati, sumber daya alam, dan dampak deforestasi.


“Sejak menjalankan perannya pada 1991, Ford secara aktif bertemu para pejabat pemerintahan, komunitas-komunitas lokal, dan organisasi-organisasi lain di seluruh dunia untuk menyuarakan isu-isu lingkungan yang krusial. Dalamnya perhatiannya terhadap hutan Amazon membawanya menyaksikan langsung kehancuran dari dampak deforestasi,” tulis buku Harrison Ford: A Legacy in Film.


Ford pun jadi ujung tombak Conservation International ketika pada 2008 menggencarkan kampanye bertajuk, “Lost there; felt here”. Ia bahkan rela melenyapkan bulu dadanya yang lebat lewat proses waxing sebagai simbol deforestasi Hutan Amazon.


“Kampanye dengan motto ‘Lost there; felt here’ itu adalah usaha untuk menyuarakan kerusakan hutan hujan, tak peduli jaraknya yang jauh, (namun) tetap berdampak pada semua korang karena pelepasan karbon dioksidanya ke udara, begitu berefek pada pola-pola keanekaragaman hayati dan pemanasan global, belum lagi soal kualitas udara yang dihirup. Ford melakukan waxing untuk bisa merasakan perihnya dampak deforestasi yang meskipun terjadi ‘di sana’ tetapi berdampak ‘ke sini’,” ungkap Luzón-Aguado dalam artikel “The Film Star as Eco-Warrior” yang terhimpun di buku Ecomasculinities: Negotiating Male Gender Identity in U.S. Fiction.


Isu soal deforestasi Hutan Amazon juga “dikemas” lagi dan disampaikan dengan data-data terbaru pada 2019. Tepatnya ketika ia berpidato di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Climate Action Summit. Ia sangat berharap pada para generasi penerus, mengingat para pemimpin dunia seolah gagal lantaran pembicaraan tentang kerusakan Hutan Amazon sudah jadi isu sejak tiga dekade silam.


“Sampai sekarang kita masih membicarakan isunya: Amazon, hutan hujan terbesar di dunia...kita tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri. Kita butuh semua bantuan yang. Pendanaan harus langsung diberikan kepada komunitas warga asli dan masyarakat sipil, mereka yang ada di garis depan dan di lapangan. Ada generasi muda yang, sejujurnya, telah kita kecewakan. Generasi muda yang marah, yang berkumpul, yang mampu membuat perbedaan. Merekalah barisan moral. Hal terpenting yang bisa kita lakukan adalah menyingkir dari dari jalan mereka,” tukas Ford, di laman resmi PBB, 23 September 2019.



Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page