- Randy Wirayudha

- 24 Okt
- 4 menit membaca
KOMITE Olimpiade Internasional IOC menggugat Indonesia sebagai imbas pemerintah Indonesia tak memberikan visa bagi kontingen Israel untuk mengikuti Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta (19-25 Oktober 2025). Ini bukan kali pertama Indonesia berurusan dengan IOC soal Israel.
Israel sempat mengajukan banding atas pembatalan visa enam atlet senam mereka ke Court of Arbitration of Sport (CAS) namun ditolak CAS pada 14 Oktober 2025. Namun ketika banyak tokoh dunia menyerukan sanksi terhadap penjajah zionis Israel di setiap pentas olahraga karena pendudukan dan genosida yang dilakukan terhadap Palestina, IOC –sebagaimana FIFA– menolerirnya.
Jika FIFA menolak desakan memboikot Israel pada awal Oktober 2025 silam, IOC turut membela Israel. Standar ganda FIFA nyatanya juga berlaku untuk IOC. Pasalnya pada 2023 IOC menjatuhkan sanksi untuk Rusia atas serangan ke Ukraina dan bahkan melarang atlet Rusia dan sekutunya, Belarusia, tampil di Olimpiade Musim Dingin 2026. “Piagam Olimpiade” yang dijadikan alasan untuk sanksi terhadap Rusia tak berlaku bagi Israel.
Pada pertengahan Oktober 2025, Dewan Eksekutif IOC mengadakan rapat tertutup di markasnya di Lausanne, Swiss. Persoalan isu-isu global yang merembet kepada akses keikutsertaan atlet di ajang internasional jadi pembahasan utama, khususnya terkait pembatalan visa para atlet Israel di Kejuaraan Senam Artistik 2025 di Jakarta.
Lagi-lagi IOC mengusung Piagam Olimpiade sebagai alasan untuk membuat keputusan. Mengutip laman resmi IOC, Rabu (22/10/2025), Dewan Eksekutif IOC menetapkan empat keputusan untuk menghindari situasi serupa di masa mendatang yang tentu merugikan Indonesia. Antara lain menghentikan segala bentuk dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) tentang pengajuan tuan rumah untuk Olimpiade, Olimpiade Pemuda, atau gelaran-gelaran dan konferensi olimpiade sampai pemerintah Indonesia menyanggupi jaminan akses terhadap semua negara partisipan untuk hadir, terlepas dari kewarganegaraannya. Juga merekomendasikan semua federasi internasional di bawah IOC untuk tidak mengadakan event olahraga berskala internasional atau menggelar pertemuan di Indonesia.
“(Lalu) meminta KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) untuk datang ke markas IOC di Lausanne untuk membicarakan situasi yang terjadi pada Kejuaraan Dunia Senam Artistik FIG ke-53,” urai Dewan Eksekutif IOC.
Atas “hukuman” IOC itu, Israel meledek. Indonesia pun meresponsnya. Menukil laman resmi Kemenpora RI, Kamis (23/10/2025), Menpora Erick Thohir menyatakan pemerintah takkan goyah mempertahankan esensi UUD 1945.
“Kami memahami keputusan ini membawa konsekuensi, di mana selama Indonesia tidak dapat menerima kehadiran Israel, IOC memutuskan bahwa Indonesia tidak dapat menjadi tuan rumah kejuaraan dunia, event Olimpiade, Youth Olympic Games, dan kegiatan lain di bawah payung Olimpiade. Indonesia akan terus berperan aktif dalam berbagai ajang di tingkat Asia Tenggara, Asia, maupun dunia sehingga Indonesia dapat menjadi duta dan cerminan kedigdayaan bangsa di mata dunia,” tegasnya.
Melawan Tekanan IOC
Perkara politis yang merembet ke gelanggang olahraga dan akhirnya berperkara dengan otoritas internasionalnya bukan kali ini saja terjadi. Lebih dari enam dasawarsa lampau, IOC juga tak malu-malu membela Israel. Bedanya, jika kali ini terjadi di Kejuaraan Dunia Senam Artistik, pada 1962 terjadi di Asian Games IV yang sama-sama dihelat di Jakarta.
Semangat Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 menegaskan posisi Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel. Setelah timnas Indonesia memboikot Israel pada kualifikasi Piala Dunia 1958, Presiden Sukarno menitahkan Asian Games 1962 turut memboikot Israel dan Taiwan.
Menurut Stefan Huebner dalam Pan-Asian Sports and the Emergence of Modern Asia: 1913-1974, ada pengaruh politis Kedutaan China dan Perdana Menteri (PM) Zhou Enlai, serta Menteri Luar Negeri Chen Yi yang bersurat kepada Presiden Sukarno untuk melarang partisipasi Taiwan. Sedangkan menyoal Israel, bukan hanya soal konflik dengan Palestina namun juga dukungan negeri zionisn itu kepada Belanda dan PRRI-Permesta.
“Israel mendukung pemberontak PRRI-Permesta dan Belanda selama mereka berkonflik dengan Indonesia terkait Irian Barat. Konflik tentang wilayah Indonesia ini akhirnya terselesaikan beberapa minggu menjelang Asian Games,” tulis Huebner.
Keputusan Indonesia tak menerbitkan visa bagi Israel dan Taiwan membuat IOC meradang. Mereka mengancam untuk tidak mengakui Asian Games 1962 di Jakarta. Federasi Atletik Amatir Internasional IAAF –kini World Athletics– mengumumkan bahwa mereka takkan mengakui hasil event-event cabang atletik di Asian Games 1962. Federasi Angkat Besi Internasional IWF juga mengimbau negara-negara anggotanya untuk tidak mengirimkan atlet ke Jakarta.
Akan tetapi pemerintah Indonesia bertahan dengan kebijakannya. Menteri Luar Negeri dr. Soebandrio menegaskan posisi Indonesia untuk tetap menolak visa untuk kontingen Israel dan Taiwan. Tak peduli konsekuensi yang akan datang.
“Maladi sebagai (ketua) pelaksana Asian Games secara resmi tetap mengirimkan surat undangan. Sebaliknya dalam segala macam kesempatan, Menteri Luar Negeri Soebandrio tetap menyatakan penolakannya. Soebandrio menegaskan bahwa pertandingan olahraga bukan semata-mata masalah olahraga, tetapi juga harus mempertimbangkan persoalan politik. Undangan dikirimkan ke Tel Aviv dan Taipei. Tetapi sebaliknya Departemen Luar Negeri Indonesia tidak pernah memberikan visa masuk,” kata buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno.
Salah satu yang paling lantang memprotes sikap Indonesia adalah Wakil Presiden Asian Games Federation sekaligus wakil India di Komite Eksekutif O. Sondhi. Ia menyatakan tidak akan mengakui Asian Games IV sebagai Asian Games resmi. Imbasnya, ia diusir dari Indonesia dan Kedutaan India dilempari batu oleh massa. Dampak ke depannya, Indonesia dikeluarkan dari IAAF dan FINA atau Federasi Akuatik Internasional (kini World Aquatics).
“Kedua badan internasional ini memiliki pengaruh yang amat besar di IOC karena memayungi olahraga utama di ajang Olimpiade. Dua cabang tersebut memperebutkan sekitar 80 medali emas atau mencapai sekitar 15-20 persen dari total emas yang diperebutkan,” tulis Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani dalam biografi M.F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia.
Presiden Sukarno, lanjut Brigitta dan Primastuti, menitahkan Indonesia angkat kaki dari IOC lewat surat tertanggal 14 Februari 1963 yang dikirim ke Lausanne, atau sehari setelah Indonesia menggelar upacara pembukaan Olimpiade tandingan: GANEFO. Meski begitu, IOC juga mengeluarkan pernyataan memecat Indonesia dari keanggotaan IOC.
“Konsekuensi dari keputusan tersebut sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Sukarno. Bagi Indonesia, pemecatan dari IOC bukan semata-mata persoalan antara kedua belah pihak namun sudah melibatkan prinsip-prinsip Olimpiade secara keseluruhan. Indonesia menentang sikap IOC karena keputusan tersebut dinilai bertentangan dengan jiwa dan semangat Olimpiade,” tandas Brigitta dan Primastuti.













Komentar