- Andri Setiawan
- 18 Agu 2020
- 2 menit membaca
Fenomena buzzer media sosial tengah ramai diperbincangkan. Beragam isu yang berkembang di media sosial seringkali disinyalir turut didengungkan oleh para buzzer. Lalu apakah buzzer itu sebenarnya dan bagaimana kaitannya dengan propagandis partai yang dikenal dalam sejarah?
Direktur Riset Paramadina Public Policy Intitute Ika Karlina Idris memaparkan mengenai istilah buzzer dalam Dialog Sejarah “Fenomena Buzzer dari Masa ke Masa” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa, 18 Agustus 2020.
Ika menyebut banyak istilah yang memiliki kemiripan dengan buzzer, misalnya humas, advertiser atau marketer dan opinion leader atau influencer yang secara umum berguna untuk mempersuasi orang. Sementara, buzzer media sosial kemudian muncul dengan tujuan untuk membuat sebuah pesan menjadi viral atau untuk mengamplifikasi pesan.
Munculnya buzzer ini berkaitan dengan kararkteristik media sosial. Misalnya, terbatasnya kolom status atau komentar membuat pesan yang disampaikan harus to the point. Kemudian, pesan tersebut perlu disebarluaskan dengan mengikuti algoritma media sosial.
“Karena di media sosial itu pesan yang kuat aja nggak cukup. Pesannya bagus tapi kalau nggak ada yang like, nggak ada yang comment, nggak ada yang share, itu nggak kebaca sama algoritma media sosial. Itu artinya pesannya garing. Tapi kalau semakin banyak interaksi di situ akhirnya kan naik tuh, naik ke timeline, lama-lama jadi trending topic,” jelas Ika.
Ika menambahkan bahwa buzzer media sosial dibutuhkan untuk membangun suatu agenda tertentu. Hal ini menggeser media massa yang dulu sering dipakai untuk mempromosikan suatu agenda kepada publik.
“Nah kalau sekarang, memang kita butuh, secara struktur butuh buzzer ini untuk naikin (agenda -red) yang kuat. Cuma kan buzzer balik lagi apakah buzzer-nya organik, non-organik, atau bots misalnya,” terangnya.
Apakah buzzer media sosial ini merupakan bentuk baru dari agitator atu propagandis di zaman dulu? Sejarawan Soewarsono menyebut ada beberapa perbedaan. Ia menyebut bahwa agitasi-propaganda tidak bisa langsung dikonotasikan negatif.
Soewarsono menyebut, misalnya, terbentuknya negara Indonesia merupakan hasil dari agitasi dan propaganda yang berlangsung panjang sejak tahun 1910-an. “Dimulai dengan tulisan Seandainya aku Seorang Belanda yang ditulis oleh Soewardi Soerjaningrat,” katanya.
Agitasi-propaganda kemudian banyak dipakai oleh partai politik, baik komunis, sosialis, nasionalis, hingga fasis. Partai politik memiliki media masing-masing untuk menyampaikan agenda-agenda mereka, sementara penguasa juga memiliki media sendiri.
“Kalau agitasi propaganda zaman dulu tuh alatnya kan bacaan, kebanyakan bacaan. Dunia film itu nanti zaman Jepang,” ujarnya.
Adanya agitasi dan propaganda menurunya adalah hal yang bebas nilai. Tergantung persepsi penerimanya. Soewarsono mencontohkan, slogan Sukarno “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” pada zaman Jepang merupakan salah satu bentuk propaganda pemerintah Jepang.
“Ini yang namanya agitasi-propaganda. Tidak jelek. Dalam propaganda itu netral. Itu alat netral tergantung persepsi yang menerima,” jelasnya.
Menaggapi munculnya fenomena buzzer sekarang, Soewarsono menyebut bahwa telah terjadi penurunan dalam berpolitik bangsa Indonesia. “Jadi politik buzzer itu dangkal, banal,” sebutnya.
Agitasi-propaganda yang dulu dilancarkan partai politik maupun penguasa memiliki struktur yang jelas. Selain memiliki divisi resmi, materi yang disampaikan juga merupakan suatu tawaran ide dan gagasan politik alih-alih hanya seruan kosong.
“Jadi ini ada fenomena yang mendangkalkan politik itu menjadi semacam praktek-praktek politicking. Membenci, mencintai, membenci, mencintai. Bukan semacam proyek politik sebagai seni. Dari bodoh menjadi pintar, dari tidak maju menjadi maju,” jelas Soewarsono.
Kommentare