- Martin Sitompul

- 28 Nov
- 4 menit membaca
SETELAH lama diusulkan, Tuan Rondahaim Saragih Garingging akhirnya ditetapkan Pahlawan Nasional tahun ini. Ia dikenal sebagai raja ke-14 Kerajaan Raya, yang kini menjadi Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Menurut keterangan Sekretariat Negara, di bawah kepemimpinan Tuan Rondahaim, Pasukan Raya di Simalungun mencatatkan riwayat perjuangan menonjol melawan kolonialisme Belanda, dengan fokus pada pertahanan dan kemerdekaan yang berhasil.
Rondahaim Saragih lahir pada 1828 di Pematang Raya, ibu kota Kerajaan Raya. Ayahnya Tuan Jimmahadim Saragih, raja ke-13 Kerajaan Raya, dan ibunya Ramonta Purba Dasuha berasal dari Kerajaan Panei. Rondahaim menggantikan ayahnya sebagai penguasa Raya pada 1848, ketika usianya menginjak 20 tahun. Sebelumnya, Rondahaim berkedudukan sebagai Raja Goraha, jabatan tertinggi dalam pasukan kerajaan yang membawahkan beberapa panglima. Untuk itu, Rondahaim semasa mudanya menimba ilmu kemiliteran sampai ke Kerajaan Aceh. Rondahaim juga terampil berkuda, suatu kemahiran yang diperlukan dalam peperangan saat itu.
Setelah menjadi raja, Rondahaim tidak hanya mengatur dari istananya, tetapi juga sering turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perangnya. Tercatat sebanyak sepuluh kali ia memimpin pertempuran menghadapi kerajaan-kerajaan tetangga di Simalungun. Delapan di antaranya terhadap daerah bawahan untuk mempersatukan rakyat sekaligus menegakkan wibawa pemerintahan Kerajaan Raya.
“Masih dalam rangka menegakkan wibawa kerajaan, tercatat empat kali dilakukan perang menghadapi pihak luar, yakni menyerang Lokkung, Dolok Sagala, Dolok Kahean (bagian wilayah Kerajaan Dolok Silou, tanpa melibatkan Kerajaan Dolok Silou), dan Basombu (wilayah Panei). Perlawanan yang dilakukannya terhadap Si Sisingamangaraja (yang berkunjung ke Raya), masih dapat kita kategorikan dalam usaha menegakkan wibawa kerajaannya,” catat budayawan Simalungun Mansen Purba dalam Kepahlawanan Tuan Rondahaim.
Sebagai seorang raja, Tuan Rondahaim terkenal dengan ketegasannya. Dalam memperlakukan prajuritnya yang menyeleweng, Rondahaim terkadang dinilai sangat kejam. Rakyat Raya menggelarinya sebagai Tuan Raya Na Mabajan. Artinya, Tuan Raya yang bengis.
Tuan Rondahaim, seperti digambarkan dalam Deli Courant, 27 Februari 1935, bertubuh kekar, bisa dibilang orang yang tegap. Dahinya tinggi, dan dua gigi atasnya yang menonjol membuatnya tampak aneh dan liar. Ia memiliki 120 istri. Pasukan pengawalnya terdiri dari 500 orang membuat Rondahaim sebagai raja yang ditakuti pada masa ia berkuasa.
“Ketika Tuan Rondahaim memacu kudanya melintasi dataran tinggi di depan pasukannya, suaranya terdengar dari jauh, karena kuda perangnya membawa rantai tujuh lonceng perunggu, yang memancarkan nada-nada jernih dan memikat saat ia menunggang kuda,” sebut Deli Courant.
Ancaman dari luar datang ketika Belanda hendak memperluas kekuasannya sampai ke Simalungun. Ekspansi ke Simalungun bermula setelah Belanda berhasil menjadikan tanah Deli sebagai daerah penghasil devisa lewat perkebunan tembakau yang laris manis di pasaran Eropa. Belanda juga menjalin kerja sama dengan Kesultanan Deli yang memberikan konsesi tanah cikal bakal perkebunan tembakau Deli.
Pada 1870, persekutuan kerajaan di Simalungun yang dikenal sebagai Raja Maropat menyusun kekuatan di bawah pimpinan Tuan Rondahaim. Empat kerajaan itu antara lain, Dolok Silou, Siantar, Panei, dan Tanah Jawa. Atas prakarsa Rondahaim pula terjadilah pertemuan perundingan dengan Sisingamangaraja XII di Silou Buttu. Maksud pertemuan itu untuk mengatur siasat dan taktik menyusun kekuatan yang lebih besar menghadapi Belanda.
Untuk memperkuat pertahanan dan usahanya memerangi Belanda, Rondahaim menaklukkan daerah-darah sekitar Simalungun menjadi tunduk kepada Kerajaan Raya. Mulai dari Serdang Raya, Dolok Sagala, Dolog Marawan, Simalas, Sipispis, Bah Sumbu, dan lainnya. Ketika Sultan Deli memecat raja vassalnya Tengku Mohammad Nurdin sebagai penguasa di Padang Bedagai dan menggantinya dengan anggota Kerajaan Deli pada 1884, Rondahaim mengambil sikap. Ia memihak kepada Tengku Nurdin serta menyalakan perlawanan dengan Deli.
Sultan Deli pada mulanya berencana untuk mempersenjatai dan menghasut suku-suku Batak menentang Rondahaim. Namun, provokasi ini tidak disetujui residen Belanda karena bakal menimbulkan pemberontakan besar-besaran di kalangan suku Batak terhadap Belanda. Sebagai ganti siasat, Belanda bernegosiasi dengan Rondahaim. Iktikad Belanda untuk berunding dicium sebagai tipu muslihat oleh Rondahaim. Ia kemudian mengutus salah seorang panglimanya yang mirip perawakan dengannya bernama Tobayas. Dan benar saja, Tobayas ditangkap Belanda.
“Karena Belanda mengkhianati perjanjian, Tuan Rondahaim memerintahkan bala tentaranya membakar bangsal-bangsal tembakau di Deli Serdang. Dalam hubungan ini, Belanda menangkap Tuan Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar, lalu membuangnya ke Bengkalis hingga meninggal di sana,” ulas Tim Peneliti Depdikbud dalam Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Sumatra Utara 1984/1985, yang disunting Fadjira Novari Manan.
Menurut Dada Meuraxa dalam Sejarah Kebudayaan Sumatra, penyerangan Raya terhadap kekuasaan Deli dan Belanda di Padang dan Bedagai masih terus berlangsung sampai tahun 1887. Pasukan Rondahaim menyerang Hulu Padang yaitu Kampung Bandar Bejambu dan kemudian menyerang perkebunan tembakau di sekitarnya. Belanda mendatangkan pasukan tentaranya sebanyak 60 orang dari Medan yang dipimpin Kapten J.C.R. Schenck.
Perlawanan Rondahaim sebagaimana dicatat pejabat Belanda J. Tideman dalam Simeloengoen, betapa gigihnya sehingga pasukan Belanda dibuat cukup repot. Pertempuran sengit terjadi di perbatasan Raya, Padang Bedagai, Bandar Jambu, Sibarou, Dolok Marlawan, Bajalinggei, dan Dolok Kahean. Pasukan Raya berhasil membakar bangsal-bangsal tembakau milik tuan kebun dan menawan sejumlah pegawai perkebunan. Salah seorang pejabat kolonial Belanda, G.L. Tichelman menyebut Rondahaim “Napoleon der Batak”, Napoleon dari Batak.
Hingga akhir hayatnya, Rondahaim terus menyalakan perlawanan menentang kekuasaan Belanda. Ia juga tidak pernah menyerah atau bermufakat dengan penjajah. Dari berbagai sumber, Rondahaim diperkirakan wafat pada pertengahan 1891. Bertahun-tahun setelah kematiannya, Rondahaim tetap dikenang penuh hormat sebagai pahlawan rakyat Simalungun.
“Para perempuan tua yang masih tersisa dari masa-masa Rondahaim itu terharu hingga menitikkan air mata ketika mereka mengenang sang pahlawan yang maju ke medan perang dengan menunggang kuda belang-belangnya, membawa pedang dalam sarung perak yang indah, pisau bergagang gading yang berhias, perisai besar melengkung ke dalam dari kulit kerbau, dan senapan musketnya yang berat, yang gagangnya bertatahkan logam mulia,” demikian diberitakan Deli Courant.*













Komentar