top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Akhir Perlawanan Tuan Rondahaim Terhadap Belanda

Tuan Rondahaim melawan Belanda di Simalungun hingga akhir hayatnya. Dia tidak pernah menyerah. Penyakit rajalah yang menghentikan perlawanannya.

25 Des 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret Tuan Rondahaim Saragih. (Yusuf M.A/Historia.ID)

ORANG Aceh turut menyertai rombongan Sisingamangaraja XI ketika berkunjung ke Simalungun. Salah satu dari orang Aceh itu bergelar “Panglima Perang”, segera menarik perhatian Tuan Rondahaim Saragih, penguasa Kerajaan Raya. Konon katanya, Panglima Perang punya ilmu bertempur dan kanuragan. Tuan Rondahaim minta Panglima Perang mengajarkan cara melawan serdadu Kompeni. Untuk itu, Tuan Rondahaim rela membayar uang sebanyak $24. Namun, pengajaran yang diberikan Panglima Perang rupanya tak sesuai harapan.


“Ambil cabe, lalu digiling, kemudian percikkan ke mata serdadu itu, agar mereka hanya bisa meraba-raba, katanya [Panglima Perang]. Uang pun ludes,” sebagaimana dikisahkan Pdt. Wismar Saragih dalam Barita Ni Tuan Rondahaim atau Riwayat Hidup Tuan Rondahaim.


Menurut Augustin Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, pertemuan Sisingamangaraja dengan Tuan Rondahaim terjadi pada 1871. Kedatangan Sisingamangaraja ke Pematang Raya untuk bertemu Tuan Rondahaim guna membicarakan suatu perjanjian pertahanan bersama. Aliansi keduanya terkait kuat dengan penetrasi Belanda yang sudah menguasai sebagian besar wilayah Sumatra Timur. Begitu pula dengan takluknya kerajaan-kerajaan Melayu setempat yang mengakui kekuasaan Belanda, seperti Kesultanan Deli, Serdang, Asahan, dan Langkat.


Wilayah Deli terutama menjadi penyangga penting kekuasaan Belanda di Karesidenan Sumatra Timur. Lewat konsesi yang diberikan Sultan, sebagian besar Tanah Deli dibeli oleh pemodal Belanda untuk dijadikan perkebunan tembakau yang bernilai tinggi di pasaran Eropa. Ekspansi ini kemudian merambah ke wilayah lain seperti Tanah Karo dan Simalungun. Namun, usaha Belanda untuk memasukan Simalungun ke dalam karesidenan menemui jalan terjal.


Menurut Erika Revida Saragih, dkk. dalam Napoleon Der Bataks: Kisah Perjuangan Tuan Rondahaim Saragih Melawan Belanda di Sumatra Timur, 1828–1891, penaklukkan daerah Simalungun, yang ketika itu disebut oleh Belanda dengan istilah Batak Timur, sangat memperhitungkan kekuatan pasukan Kerajaan Raya yang dipimpin Tuan Rondahaim Saragih. Selama Tuan Rondahaim berkuasa di Raya, pemerintah kolonial Hindia Belanda kesulitan untuk memasuki wilayah Simalungun. Pengaruh Tuan Rondahaim sangat besar di kalangan raja-raja Simalungun.


“Beliau berpinrinsip tidak ada kompromi dengan penjajah Belanda, termasuk dengan penguasa pribumi yang dipandang sudah tunduk kepada Belanda,” catat Erika Revida, dkk.


Tuan Rondahaim mulai menyalakan perlawanan terbuka terhadap Belanda setelah Raja Padang (kini wilayah Tebingtinggi), Tengku Muhammad Nurdin diturunkan dari takhtanya pada 1885. Tengku Muhammad Nurdin masih terikat tali kekerabatan dengan Tuan Rondahaim. Setelah didongkel dari kekuasaannya, Tengku Nurdin kemudian ditawan di Medan oleh Sultan Deli atas hasutan Belanda.


Di setiap kampung, Tuan Rondahaim memerintahkan mobilisasi rakyat untuk dipersiapkan menjadi Pasukan Raya. Untuk itu, Tuan Rondahaim melibatkan secara aktif semua lembaga patron masyarakat Simalungun seperti parbapaan, partuanan, dan pengulu yang tunduk di bawah kekuasaannya sesuai dengan kepakarannya. Pasukan-pasukan dari setiap kampung dipimpin oleh para panglima perang masing-masing yang terampil dan terlatih. Nama-nama panglima perang Tuan Rondahaim antara lain Gaim, Dongdong, Luan, Juram, Jarap, Riang, Salain, Jingkar, Poda, Tobayas, Tuan Angga, dan Toralima. Mereka umumnya memiliki keahlian dalam ilmu bela diri tradisional Simalungun, seperti pencak silat Simalungun, dihar, kebal peluru, hingga ahli strategi perang. Tuan Rondahaim juga mendatangkan prajurit tangguh dari Aceh Gayo untuk melatih pasukan Kerajaan Raya.


Ribuan pasukan Raya disebar di sepanjang perbatasan antara Raya dengan Deli, Serdang, dan Tanah Karo. Mereka selalu berpatroli menjaga wilayah perbatasan Simalungun dengan daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Patroli pasukan Raya ini mengamankan perhubungan antara Buntu Raya di Pematang Raya sebagai pusat pemerintahan Raya dengan Padang-Bedagai-Tebingtinggi, Bajalingge, Pagurawan, atau wilayah pelabuhan di pesisir timur Sumatra. Kehadiran mereka sekaligus menjamin lancarnya hubungan perdagangan dengan pedagang asing di Penang (Selat Malaka).


“Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila bentrokan antara pasukan Raya dengan pasukan Belanda selalu terjadi di kampung Dolok Merawan, Dolok Kahean, Bandar Bejambu, Si Barau, Tebing Tinggi, Padang [Bulian], dan kampung-kampung yang menghubungkan pusat Kerajaan Raya dengan wilayah pesisir,” tulis Erika Revida, dkk.


Pada September 1885, Tuan Rondahaim mengerahkan pasukannya menyerbu Padang Bulian. Ribuan pasukan Raya menduduki Hulu Padang dan Bedagai. Selanjutnya menyerang kampung Bandar Bejambu di Sungai Sibarau. Peristiwa ini dikenal sebagai Perang Padang I atau Perang Raya. Perang Padang II terjadi pada Oktober 1887. Pasukan Raya menyerang perkebunan di Tebingtinggi dari arah Pagurawan sehingga mencemaskan para tuan kebun dan kontrolir Belanda. Namun, perlawanan Tuan Rondahaim mulai dipatahkan setelah Belanda melancarkan balasan lewat ekspedisi militer di bawah pimpinan Letkol Van de Pol.


Perlahan pasukan Raya dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Ketika perlawanan frontal tidak mampu lagi dimenangkan, Tuan Rondahaim mengalihkan kekuatannya secara gerilya. Bergerak di malam hari dengan unit-unit kecil, melancarkan sabotase, dan membakar kampung-kampung, perkebunan, serta bangsal tembakau yang dikuasai Belanda. Tuan Rondahaim juga menjalankan taktik lain, yaitu menyuap kuli-kuli kebun tembakau untuk merusak dan membakar kebun-kebun tembakau milik tuan kebun Belanda.


Hingga akhir hayatnya, Tuan Rondahaim tak pernah menyerah kepada Belanda. Dia juga tak pernah disentuh apalagi ditangkap pasukan Belanda. Sayangnya, perjuangan terhenti akibat kondisi fisik yang menua dan didera penyakit. Menurut Wismar Saragih, Tuan Rondahaim menderita penyakit raja. Ini adalah penyakit yang lazim diderita oleh orang yang mempunyai banyak istri. Kemaluannya membengkak.


“Semua datu di Raya dikumpulkan untuk mengobati beliau, namun beliau tetap bicara bersemangat sampai enam hari sebelum meninggal dunia. Alat kelaminnya terpaksa dibungkus agar beliau tahan membawa-bawanya,” kata Wismar.


Tuan Rondahaim Saragih wafat pada 1892. Sepeninggal Tuan Rondahaim, Kerajaan Raya kian melemah. Anak-anaknya terlibat friksi internal sehingga mengundang Belanda untuk mengintervensi. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan lain di Simalungun, seperti Siantar, Panei, dan Tanah Jawa, yang berhasil ditundukkan Belanda memasuki abad ke-20. Sejak itu, Tanah Simalungun masuk ke dalam bagian Karesidenan Sumatra Timur di bawah kuasa pemerintah kolonial Belanda.*

Advertisement

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja bersekutu melawan Belanda. Keduanya telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Mengintip Kelamin Hitler

Mengintip Kelamin Hitler

Riset DNA menyingkap bahwa Adolf Hitler punya cacat bawaan pada alat kelaminnya. Tak ayal ia acap risih punya hubungan yang intim dengan perempuan.
bottom of page