- Randy Wirayudha

- 25 Nov
- 4 menit membaca
SEBUAH foto persegi yang menampilkan potret Jenderal Oerip Soemohardjo terpajang di sebidang tembok sebuah ruangan. Di bidang tembok seberangnya, terpajang sebuah lukisan besar kepala staf angkatan perang pertama itu sedang menunggangi kuda.
Begitulah suasana Ruang Jenderal Oerip Soemohardjo di dalam Museum Satria Mandala, Jakarta. Dulunya, ruangan itu merupakan ruang santai istri Jepang Sukarno, Ratna Sari Dewi.
“Kita berada di ruang santai. Dulu ada meja bulat khas Jepang untuk lesehan. Dulu juga ada televisi. Jadi saat santai bisa menonton televisi,” kata Kepala Sub-Seksi Promosi Museum Satria Mandala Yulianto Setiawan Yulianto kepada Historia.ID, sembari menunjuk posisi lukisan sebagai tempat dulu televisi Dewi Sukarno berada.
Museum Satria Mandala awalnya merupakan rumah tinggal Dewi. Namanya Wisma Yaso.
Di sanalah Dewi menyaksikan berita televisi tentang Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan setelahnya hampir day-to-day. Di hari-hari itu, ia hanya bisa pasrah dan merasakan kegetiran dalam kesendirian. Sejak 1 Oktober 1965 pagi, sang suami, Presiden Sukarno, belum kembali lagi ke Wisma Yaso.
Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi dinikahi Sukarno pada Maret 1962. Menurut Masashi Nishihara dalam The Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations, 1951-1966, Dewi pertama kali diperkenalkan dengan Sukarno medio 1959 oleh seorang pebisnis Jepang Masao Kubo. Kubo berharap dapat proyek bisnis pasca-Indonesia mendapatkan dana pampasan perang dari pemerintah Jepang.
Wisma Yaso merupakan hadiah Sukarno kepada Dewi. Kala itu daerah tempatnya berdiri masih sepi, jalan di depannya masih bernama Bypass.
“Ibu Ratna Sari Dewi minta dinamakan [rumah] ini Wisma Yaso. Karena dia pingin mengenang (Yasoo Nemoto, red.) yang meninggal dengan bunuh diri,” terang Kepala Museum Satria Mandala Letkol Adm. Saparudin Barus.

Bertemu Janda Jenderal Yani
Dewi duduk di ruang santai sambil menyaksikan siaran televisi pada 4 Oktober 1965. Rasa pilu menusuk hatinya kala menyaksikan pengangkatan jenazah para jenderal yang jadi korban keberingasan Gerakan 30 September dari sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
“Hampir-hampir saya menutup mata. Saya sama sekali tidak mengerti, mengapa adegan-adegan sedih harus ditontonkan kepada umum. Barangkali maksudnya untuk memperlihatkan kepada rakyat fakta-fakta mengenai perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu. Kedengkian, kemarahan dan kesedihan hampir-hampir tidak dapat dipercaa bahwa Jenderal (Ahmad) Yani telah meninggal dunia,” tutur Dewi kepada majalah Shukah Asahi, dikutip harian Sinar Harapan, 12 Oktober 1966.
Pada malam kejadian, Dewi mengaku sedang bermalam bersama Presiden Sukarno di Wisma Yaso. Mereka bersama setelah Sukarno menjemput Dewi dari Hotel Indonesia memenuhi sebuah undangan dari duta besar Iran.
Pada pagi 1 Oktober 1965, Sukarno berangkat dari Wisma Yaso tanpa diketahui Dewi tujuannya. Sejak itu ia nyaris sepekan tak bertemu lagi dengan Sukarno.
Sejak menyaksikan pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi tadi, Dewi mengaku sulit tidur setiap malam. Ia juga mengaku kaget dengan prosesi iring-iringan jenazah menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan barisan kendaraan lapis baja karena belum pernah melihat prosesi pemakaman semacam itu sebelumnya.
“Ucapan-ucapan untuk mengenang mereka yang berpulang diucapkan oleh Jenderal (Abdul Haris) Nasution, menyedihkan hatiku. Dia sendiri terluka, kakinya patah sewaktu meloloskan diri dari bahaya. Bahkan ia kehilangan anak perempuannya. Sebenarnya tidak mengherankan bila ia menjadi seorang ‘Setan Pembalas Dendam’. Namun sambil tersedu-sedu, kata-kata terakhir yang diucapkan itu masih mendengung di telingaku,” tambahnya.
Dua pekan berselang, 14 Oktober 1965, seingat Dewi, pertemuan dengan keluarga para Pahlawan Revolusi diadakan di Istana Merdeka. Dewi mengaku sempat berbincang dengan Yayu Rulia Sutowiryo, istri mendiang Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani.
“Kami mengundang Nyonya Yani yang suaminya telah mengakhiri hidupnya dalam suatu kematian yang celaka itu, datang ke Istana Merdeka. Ia seorang wanita yang cantik dan biasanya suka bergurau,” kenang Dewi.
Tentu dalam pertemuan itu Yayu tak seperti biasanya. Dewi bisa memaklumi. Namun meski pandangannya serius dan cenderung hampa, Dewi bisa merasakan ketegaran Yayu sebagai seorang istri perwira militer.
“Saya tidak boleh membiarkan diriku dalam kesedihan. Saya mempunyai lima anak. Terlebih lagi saya harus menjadi contoh bagi janda-janda lain yang juga kehilangan suaminya. Sebagai janda seorang militer secara mental saya telah dibiasakan dengan pendapat bahwa suamiku mungkin tdak akan meninggal di ranjang. Suamiku telah dimakamkan dengan kehormatan sebagai Pahlawan Revolusi dan hatiku telah terhibur,” kata Yayu kepada Dewi.
Sebagai istri presiden yang sehari-hari berada di Jakarta, Dewi bisa lebih dekat dan lebih memahami situasi politik yang mencekam pasca-G30S. Pasalnya selain sering “disowani” para pebisnis Jepang di Wisma Yaso, Nishihara mengungkapkan bahwa Dewi juga sedikit-banyak “dimanfaatkan” pemerintah Jepang.
“Melalui Dewi, para pejabat dan pelobi-pelobi Jepang bekerja sama dengan kelompok-kelompok di Indonesia untuk menjaga Sukarno tetap berada di pihaknya dan menjauhkannya dari genggaman komunis,” ungkap Nishihara.
Tentu saja Dewi meyakini suaminya tak terlibat G30S. Dewi juga kian aktif setelah 1965. Tak hanya pemerintah Jepang, lawan-lawan politik suaminya, termasuk Nasution dan Soeharto, juga memanfaatkan Dewi untuk “jembatan” komunikasi dengan Sukarno.
Ketika situasi kian memanas, Sukarno menginstruksikan Dewi untuk keluar dari Indonesia pada awal November 1966. Dewi kembali ke Jakarta menjelang wafatnya Sukarno pada Juni 1970 dan kemudian untuk berziarah ke Blitar. Ketika ia kembali, ia pun jadi sasaran media massa yang menanyakannya tentang hubungan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Jika yang dimaksud adalah apakah dia siap membubarkan Partai Komunis, ya tentu saja, tetapi tuntutannya adalah agar dibuktikan dengan jelas bahwa Partai Komunis terlibat kudeta. Laporan yang diberikan kepadanya tidak akurat. Dia jujur dan adil, dan sementara itu tentara mulai membunuh. Dia meminta bukti kepada Sukarno karena dia ingin tetap obyektif. Dia tidak setuju bahwa hanya Partai Komunis yang dituduh merencanakan dan melaksanakan kudeta,” tukas Dewi kepada harian Leeuwarder Courant, 29 Juli 1970.*













Komentar