- Amanda Rachmadita
- 2 Jun
- 6 menit membaca
Diperbarui: 16 Jun
PERNAH mendengar anggapan bahwa negara-negara bekas jajahan Inggris lebih maju dibandingkan negara-negara jajahan bangsa Eropa lain seperti Belanda, Portugis, Prancis, dan Spanyol? Sebagian orang menyampaikan argumennya dengan mengacu pada negara-negara bekas koloni Inggris yang menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Singapura.
Pandangan tersebut salah satunya dikaitkan dengan sistem ekonomi liberal yang diberlakukan Inggris di wilayah koloninya. Sistem ekonomi ini mulai diadopsi Kerajaan Inggris pada awal abad ke-19. Sebelumnya, seperti banyak negara Eropa lainnya, Inggris menerapkan model ekonomi merkantilisme yang memungkinkan terjadinya monopoli perdagangan oleh pihak tertentu.
Berbeda dengan merkantilisme yang membatasi impor dan mendorong ekspor hanya pada sesama wilayah koloni maupun negara Eropa yang bekerja sama, perdagangan bebas menyerukan pembukaan pasar untuk impor asing tanpa tarif. Model ekonomi seperti ini menentang proteksi terhadap kegiatan industri dan komersial nasional atau sub-nasional melalui intervensi pemerintah.
“Salah satu yang dikritik oleh para pendukung perdagangan bebas terkait dengan model ekonomi merkantilisme adalah kemungkinan terjadinya korupsi sebagai dampak dari monopoli perdagangan. Selain itu mereka juga percaya bahwa Inggris memiliki komitmen moral untuk membudayakan dunia melalui perusahaan dan penyebaran etos kerja kapitalis; kemajuan komersial, yang dipupuk oleh perdagangan bebas, adalah tujuan moral itu sendiri,” tulis peneliti sejarah Christian Müller dalam “Free Trade”, termuat di The British Empire: A Historical Encyclopedia.
Keterbukaan Kerajaan Inggris terhadap perdagangan luar negeri membantu mengurangi gesekan dengan kekuatan-kekuatan Uni Eropa lainnya. Setelah tahun 1850, para pejabat Inggris merasa tidak terlalu penting untuk menguasai wilayah daripada menjaga agar wilayah tersebut tetap terbuka untuk perdagangan. Banyak kebijakan Inggris setelah tahun 1850, terutama di India, Cina, dan beberapa bagian Afrika, bergantung pada gagasan ini. Meski begitu, wilayah jajahan tetap menjadi pasar penting bagi ekspor Inggris.
Sementara itu, menurut Matthew Lange, James Mahoney, dan Matthias vom Hau dalam “Colonialism and Development: A Comparative Analysis of Spanish and British Colonies”, termuat di American Journal of Sociology, Vol. 111, No. 5, Maret 2006, merkantilisme yang memanfaatkan intervensi negara dalam menetapkan pembatasan perdagangan dan mendukung institusi di luar pasar yang memberikan keuntungan pada kelompok tertentu, serta menolak hak istimewa bagi kelompok lain menyebabkan sistem ekonomi ini membentuk suatu masyarakat yang hierarkis secara kaku, di mana mayoritas penduduk bergantung pada elite kecil.
Sebaliknya, sistem ekonomi liberal mengorganisir aktivitas produksi untuk memaksimalkan keuntungan melalui perdagangan bebas. Berbeda dengan merkantilisme, sistem ekonomi liberal tidak terkait dengan negara yang mengutamakan kelompok status dan secara eksplisit memaksakan hubungan hierarkis ketergantungan. Yang terjadi justru pihak berwenang yang otoritatif memanfaatkan kebijakan negara untuk menjaga kepemilikan pribadi, mendorong produksi komersial, dan menegakkan hukum. Walaupun negara tidak terlibat langsung dalam produksi ekonomi, negara sangat penting dalam menyediakan infrastruktur dasar untuk mempertahankan ekonomi pasar.
Selain sistem ekonomi yang diterapkan, faktor lain yang memengaruhi perkembangan negara bekas jajahan Inggris adalah jenis pemerintahan yang dijalankan di wilayah koloni, apakah pemerintahan langsung, tidak langsung, atau hybrid yang memadukan pemerintahan langsung dan tidak langsung. Pemerintahan langsung diterapkan di wilayah koloni pemukim, di mana pendatang yang menetap secara permanen mengimpor berbagai macam institusi dari Inggris tanpa melestarikan sistem yang sudah ada di wilayah koloni. Wilayah jajahan yang menerapkan kolonialisme langsung memiliki tingkat organisasi birokrasi yang serupa dengan negara penjajah. Inggris menggunakan strategi ini di wilayah yang jarang penduduknya dengan ancaman penyebaran penyakit yang dapat dikendalikan. Wilayah koloni pemukim Inggris di antaranya adalah Amerika Utara dan Australasia –Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Sebelum era kolonialisme, wilayah-wilayah ini dihuni oleh masyarakat prakolonial yang jarang penduduknya dan tidak memiliki organisasi negara –mayoritas penduduk di Amerika Utara dan Australasia adalah suku asli yang hidup berkelompok. Penyakit dan perang yang dibawa Inggris menghancurkan populasi ini, dan mereka yang tersisa secara sistematis diisolasi dan ditindas setiap kali berinteraksi dengan pemukim di wilayah perbatasan. Penghapusan masyarakat-masyarakat ini membuka jalan bagi pengenalan institusi-institusi Inggris secara besar-besaran; koloni-koloni permukiman berkembang menjadi miniatur Inggris Raya, meskipun dengan karakter yang lebih kasar dan tanpa aristokrasi tanah yang kuat. Karena hal terakhir ini, koloni-koloni permukiman tersebut cenderung memiliki institusi politik yang aktif dan partisipatif serta ekonomi yang lebih egaliter.
Dengan kolonialisme langsung, Inggris membentuk sebuah negara kolonial yang terintegrasi, terorganisir secara birokratis, dan memiliki jangkauan wilayah yang luas. Jenis pemerintahan seperti ini biasanya diterapkan Inggris di koloni-koloni yang berorientasi pada perdagangan seperti Hong Kong dan Singapura, serta koloni-koloni perkebunan di Hindia Barat.
Pada saat ditaklukkan oleh Inggris, Hong Kong sudah padat penduduk dan bagian dari salah satu kekaisaran paling maju di dunia. Sementara Singapura memiliki populasi yang sedikit meskipun secara historis berada di pinggiran Kesultanan Malaka dan Johor. Walaupun sebelumnya telah berkembang, wilayah-wilayah ini dikuasai Inggris secara intensif karena lokasinya strategis dalam hal militer dan perdagangan. Selain itu, ukuran wilayah yang kecil memudahkan Inggris menerapkan kolonialisme langsung atas penduduk asli.
Di lain pihak, jika wilayah jajahan banyak dihuni oleh masyarakat prakolonial yang kompleks, Inggris biasanya menerapkan pemerintahan kolonial tidak langsung, yang memungkinkan para pemimpin lokal mempertahankan kekuasaan politik dan hukum atas rakyatnya, sambil mewajibkan mereka untuk melaporkan dan membayar pajak kepada pemerintah kolonial.
“Kombinasi yang tidak nyaman antara birokratisasi pusat dan patrimonialisme periferal (sistem pemerintahan yang dipengaruhi oleh kekuasaan pribadi dan jaringan patron-klien di wilayah yang berada di ‘pinggiran’ kekuasaan pusat, red.) ini adalah ciri khas pemerintahan tidak langsung yang dijalankan Inggris di beberapa wilayah koloninya... Berbeda dengan pemerintahan langsung yang umum diterapkan di wilayah koloni pemukim, kolonialisme tidak langsung mensyaratkan tingkat transfer kelembagaan yang rendah dari Inggris,” tulis Lange, Mahoney, dan vom Hau.
Jenis pemerintahan kolonial tidak langsung umum diterapkan di beberapa koloni Afrika, di mana para penjajah Inggris menjalankan kekuasaan melalui lembaga-lembaga adat tanpa menggusur struktur politik, pengadilan, dan pola kepemilikan tanah yang sudah ada. Dalam konteks ini, kolonialisme Inggis secara radikal mengubah struktur sosial dan politik lokal dengan memberikan kekuasaan yang dominan kepada para pemimpin lokal dan menjunjung tinggi otoritas mereka. Sedangkan kolonialisme tidak langsung yang digabungkan dengan jenis pemerintahan langsung terjadi di beberapa koloni Asia dan Pasifik, termasuk koloni-koloni yang terlalu besar untuk dapat dengan mudah dikontrol oleh birokrasi pusat, seperti India.
Rudra Sil mencatat dalam Comparative Politics: Interests, Identities, and Institutions in a Changing Global Order, pada awalnya kolonialisme Inggris di India berjalan melalui pemerintahan tidak langsung. Sistem ini berfungsi melalui serangkaian aliansi dengan para penguasa regional yang mempertahankan gelar, harta, dan otoritas lokal mereka sebagai imbalan untuk mendukung para administrator Inggris dan kepentingan ekonomi mereka. Sistem pemerintahan kolonial ini berubah menjadi kolonialisme langsung setelah pemberontakan besar pada 1857 yang dilancarkan oleh para pengawal India yang dilatih oleh Inggris.
Berdasarkan sistem ekonomi dan jenis pemerintahan kolonial yang diterapkan di berbagai wilayah koloni Inggris ini terlihat sebuah pola, ketika Inggris menduduki sebuah wilayah, mereka cenderung menciptakan institusi, terutama aturan hukum untuk mengoordinasikan pasar dan birokrasi yang mendukung pembangunan ekonomi. Sebaliknya, ketika Inggris tidak terlalu banyak menetap di suatu wilayah, mereka cenderung menerapkan sedikit institusi untuk mengatur ekonomi dan negara. Akibatnya, beberapa wilayah bekas jajahan Inggris termasuk di antara negara-negara terkaya di dunia, sementara yang lain termasuk di antara yang termiskin.
“Di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, kolonialisme Inggris meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi di masa depan dengan meninggalkan sistem hukum yang berfungsi dengan baik yang dapat menopang pembangunan kapitalis... Secara umum di seluruh koloni pemukim asing, sistem common-law melindungi para kolonis dari tindakan sewenang-wenang negara dan menjadi penghalang bagi penggunaan instrumental pemerintah kolonial untuk memperkaya elite tertentu,” tulis Lange, Mahoney, dan vom Hau.
Dalam kasus Hong Kong dan Singapura, lokasi yang strategis sangat berpengaruh pada perkembangan wilayah ini. Selain kehadiran lembaga-lembaga hukum yang ekstensif, koloni yang didirikan sebagai pelabuhan bebas itu dilengkapi dengan sistem pajak dan tenaga kerja yang membantu masing-masing mengambil keuntungan dari lokasi perdagangan strategis mereka untuk menjadi pusat ekonomi global.
Sementara kolonialisme pemukim dan kolonialisme langsung membentuk lembaga-lembaga negara yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, koloni-koloni yang diperintah secara tidak langsung oleh Inggris secara jelas menunjukkan lembaga-lembaga yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi. “Di banyak koloni Afrika, Inggris tidak terlibat dalam pembentukan aturan hukum yang berfungsi atau pembentukan administrasi yang efektif. Selain itu, penerapan pemerintah tidak langsung meningkatkan elit pribumi untuk menggunakan sistem perpajakan kolonial dan kontrol hukum adat untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya, negara-negara patrimonial dan terpecah-pecah muncul di seluruh Afrika yang pernah menjadi wilayah koloni Inggris,” jelas Lange, Mahoney dan vom Hau.
Warisan kolonial berupa diskriminasi dan eksploitasi etnis juga terlihat di hampir seluruh koloni Inggris, terutama di wilayah koloni yang diperintah secara tidak langsung dan hybrid. Upaya menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yang disusun secara hierarki berkontribusi pada polarisasi yang bertahan lama. Di Afrika Selatan, Inggris memelopori pemisahan kelompok masyarakat berdasarkan warna kulit yang berujung pada penerapan apartheid, sedangkan di India, lembaga-lembaga Inggris memperkuat perbedaan berdasarkan kasta dan agama. Kebijakan itu mendorong ketidaksetaraan sosial dan meningkatkan konflik sektarian, yang salah satunya menjadi pemicu ketegangan antara India dan Pakistan.
“Bahkan ketika tidak memicu konflik melalui strategi memecah belah dan memerintah, kolonialisme Inggris pada tingkat rendah memolarisasi masyarakat melalui konstruksi identitas etnis yang dipolitisasi dan sistem patron-klien. Di seluruh Afrika sub-Sahara, misalnya, pemerintah kolonial menyalurkan sumber daya melalui para pemimpin lokal, yang kemudian meneruskannya kepada para pendukung utama untuk mempertahankan posisi mereka... Selain itu, karena sumber daya yang terbatas dan persaingan memperebutkan negara pascakolonial, para pemimpin lokal dan pihak-pihak lainnya sering kali menarik dukungan dan mobilisasi etnisitas, sehingga negara pascakolonial menjadi terpecah belah dalam masyarakat sipil,” tambah Lange, Mahoney dan vom Hau.*













Komentar