top of page

Sejarah Indonesia

Jenderal Nasution Setelah Pensiun

Jenderal Nasution Setelah Pensiun

Berkaos oblong dan lebih sering pakai sarung, bahkan pernah pinjam sepatu ajudan. Selain sulit secara ekonomi, dipersulit juga secara politik. Kisah Jenderal Nasution setelah pensiun.

27 April 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution di masa tua. (Berita Yudha, 14 Juni 1997).

SERAGAM militer Angkatan Darat lengkap dengan empat bintang berjajar di pundaknya telah ditanggalkan Jenderal Abdul Haris Nasution sejak pensiun dari TNI. Tidak seperti sindrom jenderal kebanyakan, yang masih berlagak jenderal meski telah pensiun, Nasution sehari-hari malah lebih sering tampil sederhana pakai kaos oblong dan sarung. Begitulah Pak Nas –panggilan akrabnya– yang nyaris tak pernah pakai seragam militer lagi walau menghadiri acara di lingkup TNI tatkala status purnawirawan melekat pada dirinya pada 1972. Pun demikian kalau kedatangan tamu penting di rumahnya, Nasution seolah cuek saja.


“Misalnya saat menemui Menristek BJ Habibie, mantan Kassospol TNI Letjen TNI (Purn.) Harsudiono Hartas yang justru berpakaian jas dan seragam, Pak Nas tetap hanya berkaos dan sarungan,” diwartakan Berita Yudha, 5 Oktober 1997.


Namun, ketika menjadi undangan kehormatan dalam serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dari Jenderal TNI R. Hartono ke Jenderal TNI Wiranto pada 13 Juni 1997, Nasution datang mengenakan seragam hijau AD berikut empat bintang di pundak. Kehadiran Nasution sontak jadi buruan wartawan. Dia mengatakan, terakhir kali dirinya mengenakan seragam hijau itu adalah saat serah terima jabatan KSAD dari Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar ke Jenderal TNI Hartono pada 1995.


“Kalau di rumah, saya biasanya pakai pakaian oblong saja,” aku Nasution seperti dikutip Berita Yudha, 14 Juni 1997. “Sepatu ini saya pinjam dari ajudan,” sambung seraya terkekeh.


Tidak disebutkan siapa ajudan yang meminjamkan sepatunya kepada Nasution. Menurut Bakri A.G. Tianlean, sekretaris pribadi Nasution, pada 1990-an, beberapa perwira prajurit karier mulai ditempatkan sebagai ajudan Nasution. Mereka ini umumnya dari Dari Dinas Bina Mental (Disbintal) AD, seperti Letnan Jamaludin, Jasarudin, dan Haerul Mahdi. Sampai Nasution pinjam sepatu ajudannya untuk menghadiri acara seremonial kiranya menggambarkan bagaimana keadaan KSAD periode 1949-1952 dan 1955-1962 ini selepas pensiun.


Menurut Bakri, merujuk kesaksian istri Nasution Johana Sunarti, Pak Nas untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumah mereka di Jl. Teuku Umar 40, Jakarta Pusat mengalami kesulitan. Pada 1991, keluarga Nasution agak terbantu berkat kebijakan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin yang memberi keringanan PBB sebesar 50 persen bagi pensiunan. Lagipula rumah Nasution terletak di kawasan elite Menteng (kini menjadi Museum Sasmita Loka Jenderal Besar AH Nasution) yang tentu saja nilai objek wajib pajaknya sangat tinggi. Dengan mengandalkan gaji sebagai pensiunan, Nasution ternyata tidak bisa membayar tagihan PBB. Sumber pendapatan utamanya berasal dari gaji pensiunan ketua MPRS sebesar Rp541.000, pensiunan mantan menteri Rp462.000, pensiunan mantan jenderal Rp267.500, dan tambahan dari honor buku yang sifatnya insidental.


“Sebelum Pak Nas ikut menandatangani Petisi 50, kami masih mendapat keringanan biaya telepon dan air ledeng dari Hankam. Setelah itu, secara tiba-tiba, semuanya terputus. Telepon waktu itu sekitar Rp2 juta, kami harus bayar sendiri. Air ledeng juga menjadi beban kami,” ungkap Johana seperti dituturkan Bakri dalam Suka Duka 28 Tahun Mengabdi Bersama Jenderal Besar AH Nasution.


Atas jasa Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Letjen (Purn.) Achmad Tahir, waktu itu saluran telepon kediaman Nasution dipasangkan kembali. Namun, air ledeng tetap terputus.“Maka itu, kami harus memasang sumur pompa untuk keperluan mandi, sedangkan untuk minum kami beli di luar,” demikian Johana Nasution berkisah.


Keterlibatan Nasution dalam Petisi 50 menambah kesulitan yang sudah ada. Petisi 50 adalah kelompok oposisi berisi sejumlah tokoh sipil maupun mantan militer yang kritis dalam mengoreksi kebijakan dan praktik kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto pada dekade 1980-an. Selain Nasution, sejumlah mantan perwira juga tergabung dalam Petisi 50, seperti Ali Sadikin, A.Y. Mokoginta, M. Jasin, Mohammad Nazir, hingga Hoegeng Imam Santoso.


Nasution yang telah menjadi orang nomor satu AD di usia 30 sekaligus KSAD terlama sepanjang sejarah, menteri pertahanan dan keamanan (1959—1966) dan ketua MPRS (1966—1972), menurut pakar politik milter Salim Said, mengalami banyak perlakuan buruk atas keterlibatannya dalam Petisi 50. Seperti misalnya, Nasution harus batal menjadi tamu undangan pengundangnya atas desakan aparat sekuriti kepresidenan. Pasalnya, pada jam yang sama, Presiden Soeharto juga akan hadir.


Itulah yang terjadi ketika Nasution hendak menghadiri resepsi pernikahan anak koleganya Letjen (Purn.) T.B. Simatupang di Balai Kartini. Nasution baru bisa datang pukul 10 malam, yakni ketika Soeharto sudah meninggalkan gedung. Padahal, Nasution dan Simatupang adalah kawan seperjuangan yang karib, baik semasa taruna di Akademi Militer Belanda maupun di masa Perang Kemerdekaan.


“Bisa dipastikan bukan Soeharto yang membuat aturan untuk menghindari jumpa Nasution pada berbagai resepsi perkawinan. Adalah Benny [Moerdani] –menafsirkan kekesalan Presiden terhadap Nasution yang terus mengkritiknya– yang mengatur agar pertemuan kedua tokoh tidak sampai terjadi,” terang Salim dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.


Tidak hanya itu, Jenderal Benny Moerdani yang menjadi panglima ABRI periode 1983—1988 juga disebut-sebut mengirimkan intel untuk mematai-matai kegiatan Nasution. Demi melayani Soeharto, Benny ketika menjadi kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), bahkan sempat menginisiasi rencana untuk menangkap Nasution. Rencana itu ditentang Simatupang yang masih dianggap sesepuh TNI-AD, yang sampai harus datang sendiri ke kantor BAIS. Simatupang membunjuk Benny agar jangan membiasakan diri menangkap seniornya yang pembicaraannya dituturkan ulang Salim Said.


“Tapi, orang itu sudah sangat jengkel,” keluh Benny menjelaskan kemarahan Soeharto kepada kritik-kritik Nasution.


“Ah, Nas itu sudah sakit-sakitan. Nanti saya sampaikan keluhanmu,” bujuk Simatupang.


Perlakuan terhadap Nasution berangsur-angsur melunak memasuki paruh kedua 1990. Salah satunya terlihat dari fasilitas ajudan yang diberikan untuk membantu kegiatan Nasution. Penempatan perwira-perwira muda sebagai ajudan, seperti disimpulkan Bakrie, adalah pertanda bahwa isolasi ketat pada Jenderal Nasution sebelumnya mulai ditiadakan dan bebas bergerak.


“Sayang, usia Pak Nas sudah diambang senja, tutur katanya juga tidak serunut pada waktu-waktu sebelumnya,” kenang Bakri.


Belakangan, pemerintah menganugerahi Nasution gelar “Jenderal Besar TNI” bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Presiden Soeharto pada hari ulang tahun ABRI 1997. Pada hari parayaan itu, Nasution kembali mengenakan seragam kehormatan TNI. Tapi kali ini dengan lima bintang melingkar yang melekat di pundaknya. Tiga tahun berselang, tepatnya 6 September 2000, Nasution wafat dalam usia 81 tahun.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page