- Martin Sitompul
- 22 Apr
- 5 menit membaca
TAK jauh dari Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di kawasan Braga, Bandung, kita dapat melangkah sejenak ke Jalan Palestina (Palestine Walk). Ujung sebelah utara Jalan Palestina akan membawa kita tiba di Tugu Asia Afrika. Meski hanya jalur pedestrian, orang-orang suka mengabadikan momen dengan berfoto ketika melintas di Jalan Palestina. Ia menjadi istimewa karena di balik namanya tersisip muatan dan pesan sejarah.
Penamaan Jalan Palestina tentu bukan berasal dari unsur lokal Priangan atau Sunda. Palestina adalah sebuah negeri di Timur Tengah yang sampai sekarang berjuang untuk merdeka dari pendudukan Israel. Untuk itulah, pada 2018 pemerintah Indonesia menyematkan nama Jalan Palestina sebagai simbol solidaritas terhadap Palestina.Saat peresmiannya, Menlu RI Retno Marsudi dan Menlu Otoritas Palestina Riyad al-Maliki hadir untuk memberikan sambutan. Jalan sepanjang 100 meter ini dihiasi bunga-bunga dan monumen “Bandung Love Palestine”
“Monumen ini menjadi pengingat komitmen kita untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Palestina,” kata Menlu Retno seperti dikutip Kompas, 14 Oktober 2018. Retno menambahkan, Bandung dipilih menjadi kota simbol dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina karena memiliki nilai sejarah yang kuat.
Di Bandung, 70 tahun silam, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA). Untuk pertama kali, para pemimpin dari negara-negara Asia dan Afrika berkumpul dan menyatukan pandangan. Dari Gedung Merdeka, seruan untuk menentang penjajahan di atas dunia sekaligus hidup berdampingan secara damai bergaung keras. Gedung Merdeka kini menjadi Museum KAA yang letaknya berdekatan dengan Palestine Walk.
Tumpah-ruah di Bandung
KAA berlangsung pada 18-24 April 1955. Lima negara menjadi penggagasnya: Indonesia, India, Pakistan, Myanmar, dan Srilanka. Sebanyak 29 negara yang kebanyakan baru merdeka dari kolonialisme turut serta ketika konferensi dihelat. Bagi para negara peserta, KAA memiliki arti penting untuk meninjau kedudukan serta kontribusi mereka dalam pergaulan internasional.
Ketika berjalan menuju Gedung Merdeka, beberapa ketua delegasi yang hadir jadi daya pikat tersendiri bagi warga Bandung. Mereka antara lain Perdana Menteri (PM) India Pandit Jawaharlal Nehru, PM Mesir Gammal Abdul Nasser, dan PM Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Chou En Lai. Dalam pemberitaan media asing, prosesi berjalan para pemimpin negara Asia-Afrika itu disebut “freedom walk” atau jalan kemerdekaan, yang tentu menarik perhatian pembaca dari seantero dunia.
“Tiap-tiap ketua delegasi disambut dengan tampik sorak oleh rakyat tetapi yang paling mendapat sambutan yang meriah dari rakyat ialah ketua delegasi RRT Chou En Lai, PM India Nehru, dan PM Mesir Gammal Abdul Nasser. Alat-alat negara dengan susah payah menahan serbuan rakyat waktu pemimpin-pemimpin negara ini lewat,” demikian diberitakan harian Indonesia Raya, 21 April 1955.
Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo, yang ditunjuk sebagai Ketua Umum KAA untuk memimpin jalannya konferensi, mengenang, mulai pukul 7 pagi kedua belah jalan menuju Gedung Merdeka sudah disesaki rakyat. Mulai ujung jalan di depan Hotel Priangan sampai depan kantor pos. Pukul 8.30, para delegasi dari berbagai negara mulai terlihat keluar dari Hotel Homann dan Hotel Priangan. Secara berkelompok, mereka berjalan kaki menuju ke Gedung Merdeka untuk menghadiri pembukaan KAA.
“Banyak di antara mereka mengenakan pakaian nasional mereka masing-masing sehingga Jalan Asia-Afrika menjadi sangat meriah, penuh dengan orang-orang berpakaian beraneka ragam yang beraneka warna pula. Mereka disambut oleh rakyat banyak di tepi-tepi jalan dengan sorak-sorai dan tepuk tangan yang jebat dan riang gembira," tutur Ali dalam otobiografinya Tonggak-tonggak di Perjalananku.
Pukul 9 pagi, semua delegasi sudah masuk Gedung Merdeka. Sejurus kemudian, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta juga tiba dan disambut oleh rakyat dengan pekik “merdeka” dan gemuruh sorak sorai. Bung Karno membuka konferensi dengan berpidato dalam bahasa Inggris “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru” (“Let a New Asia and Africa be Born”).
“Dengan ucapan 'Bismillah', Presiden Sukarno kemarin telah membuka dengan resmi Konferensi Asia Afrika bertempat di Gedung Merdeka Bandung. Sebelumnya Presiden telah mengucapkan pidato pembukaan selama 55 menit, dalam bahasa Inggris yang mengharapkan agar konferensi berhasil, dengan demikian lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru, dan membawa manfaat bagi bangsa-bangsa Asia Afrika dan bagi rakyat segala bangsa,” lansir Indonesia Raya, 19 April 1955.
Spirit Bandung terus Bergaung
Selama KAA dihelat, isu-isu penting yang dihadapi antar-negara Asia dan Afrika diangkat dan dibahas. Mulai dari perjuangan beberapa negara untuk merdeka, termasuk isu Palestina dan bahaya zionisme Israel, hingga kolonisasi Belanda di Irian Barat. Saling silang pendapat, bahkan ketegangan acap mewarnai perdebatan di Komite Politik. Kendati demikian, perbedaan pandangan itu ditutup dengan guyub kembali, seperti yang terjadi pada delegasi Srilanka Sir John Kotelawala dengan Chou En Lai.
Secara umum, hasil dari KAA menyerukan semangat antikolonialisme dengan segala manifestasinya. Saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara, tidak mencampuri urusan internal negara lain, memajukan kepentingan bersama dan kerjasama secara timbal-balik. Ia juga meninginkan tatanan dunia yang hidup berdampingan secara damai (peacefull coexistence). Prinsip ini terangkum dalam “Dasasila Bandung” (10 Dasar Bandung).
“Lahirnya tidak mudah, disertai penuh salah pengertian, kecurigaan, dan ketegangan. Tetapi tokh akhirnya dapat lahir pula dengan selamat, berkat toleransi, kebijaksanaan, dan kerjasama baik antara para negarawan Asia dan Afrika yang turut serta di dalam Konferensi Bandung,” kenang Ali Sastro.
Gema sprit Bandung tidak hanya berkumandang di Gedung Merdeka. Ia terus merajut solidaritas antar-bangsa Asia dan Afrika dalam berbagai bentuk maupun cakupan. Tak lama usai perhelatan KAA, Indonesia Raya edisi 28 April 1955 memberitakan tentang pembentukan Persatuan Wartawan Asia Afrika. Berlanjut lagi dengan Konferensi Pelajar Asia-Afrika di Bandung (1956), Konferensi Perempuan Asia-Afrika di Colombo (1958), Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent (1958), Konferensi Pemuda Asia-Afrika Kairo (1959), Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta (1964), dan Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1965). Konferensi negara dunia ketiga yang berpengaruh seperti Gerakan Non-Blok (GNB) juga dianggap kelanjutan dari KAA.
GNB diselenggarakan di Boegrad, Yugoslavia pada 1961. Indonesia kembali menjadi pencetusnya bersama Yugoslavia, India, Mesir, dan Ghana. GNB menjadi bukti eksistensi negara-negara yang tidak teraliansi di tengah puncak Perang Dingin yang saling berebut pengaruh. Roeslan Abdulgani, yang menjadi Sekjen KAA, bahkan menyebut GNB sebagai “anak kandung Bandung”.
“Jelas kiranya bahwa persyaratan keanggotaan Gerakan Non-Blok yang ditentukan pada 1961 itu didahului, dan diilhami oleh Dasasila Bandung. Itulah salah satu sebab dan bukti, Beograd adalah anak kandung Bandung. Dengan begitu semangat Bandung yang semula dicetuskan di kota Bandung dikobarkan kembali di Beograd,” ungkap Roeslan dalam Indonesia Menatap Masa Depan.
Menurut Wildan Sena Utama, sejarawan yang menjadikan KAA sebagai studi tesisnya di Universitas Leiden, KAA adalah suatu peristiwa yang belum ada bandingannya ketika negara-negara Asia dan Afrika yang baru dan hampir merdeka memonopoli panggung utama politik dunia di pertengahan abad ke-20. Ia sekaligus jadi momentum bagi negara-negara tertindas Asia dan Afrika untuk membangun kepercayaan dan merajut jaringan diplomatik. Yang lebih penting lagi, konferensi ini memberi panggung bagi cita-cita pascakolonial negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika untuk mempertanyakan status quo dan ketidakadilan dalam tatanan global.
"KAA masih terus dikenang sebagai peristiwa besar dalam sejarah, sebuah landmark melawan ketidakadilan politik global. Ia tetap menjadi sumber inspirasi dari visi besar, tidak hanya bagi gerakan yang state-centered dan elitis, tetapi juga yang people-centered dan egaliter,” terang Wildan dalam bukunya Konferensi Asia-Afrika: Asal-Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme.*
Comments