top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Di Tak Terkendali

Ketika DI Tak Terkendali

Setelah sempat dibuat jinak, eks anggota Darul Islam kembali bergerak.

Oleh :
30 Mei 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Tiga tokoh Komando Jihad dari Sumatera: Rifai'i Ahmad, Djaenuri Saleh dan Gaos Taufik. (Repro NII Sampai JI: salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin).

MISBACH (75) masih ingat kejadian itu. Suatu hari di tahun 1976, ia tengah berjalan di tengah kota Medan ketika suatu ledakan mirip suara petasan besar menghentak khalayak. Tak lama kemudian situasi menjadi ricuh. Banyak orang bergerak ke arah sumber ledakan untuk mendapatkan kepastian apa yang sebenarnya sedang terjadi.

 

“Saya sendiri ikut bersama mereka dan jadi tahu bahwa yang dibom itu ternyata Apolo”, ungkap lelaki Jawa tersebut seraya menyebut nama bar yang lumayan besar di Medan saat itu.


Tahun 1976 memang merupakan tahun penuh teror bagi kota Medan. Selain bar Apolo, Bioskop Ria menjadi target peledakan pula.Bahkan selanjutnya bukan hanya tempat hiburan, para pelaku teror pun membom sejumlah gereja dan masjid serta melakukan penggranatan terhadap acara MTQ (Musabaqoh Tilawatul Qur’an).


“Morev alias Momok Revolusiener mengklaim berada di balik aksi-aksi itu,” ungkap Ken Conboy dalam Intel (Bagian II): Medan Tempur Kedua.


Perjuangan Jilid Dua

Menurut Ken Conboy, Morev merupakan sel baru yang dibentuk oleh para aktivis DI (Darul Islam) di Sumatera Utara. Anggota Morev mayoritas terdiri dari anak-anak muda yang tak memiliki hubungan apapun sebelumnya dengan DI.


Peneliti DI Solahudin mengkonfirmasi pendapat Conboy. Namun secara rinci ia menambahkan bahwa Morev memang dibentuk sebagai organ teror oleh salah seorang tokoh DI di Sumatera yakni Timsar Zubil, asisten tokoh DI terkemuka Gaos Taufik. Istilah itu sendiri didapat setelah Timsar berdiskusi dengan Abdullah Umar (aktivis DI Medan) yang merupakan rekan seperguruan Timsar di Pesantren Gontor, Jawa Timur.


“Momok itu sendiri diambil dari kata Momoc, singkatan dari Mobile Moment Comande, nama pasukan khusus DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan pimpinan Sanusi Daris,” ujar peneliti yang juga jurnalis itu.


Sebenarnya pasca Ikrar 1962, para tokoh DI memilih untuk mengambil jalur kompromi dengan pemerintah RI. Bahkan pada 1965-1967, mereka dilibatkan secara aktif buat menghabisi PKI dan orang-orang Sukarno. Kerjasama erat itu berlanjut saat mereka dimanfaatkan oleh Opsus (Operasi Khusus) pimpinan Ali Moertopo guna menggembosi perolehan suara parta-partai Islam dalam Pemilihan Umum 1971. Lantas apa yang menyebabkan para aktivis DI kembali mengangkat senjata?


Rupanya jalan kerjasama dengan Opsus hanyalah salah satu taktik politik para aktivis DI. Berkaca pada kasus Perjanjian Hudaibiyyah yang melibatkan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam di era Nabi Muhammad Saw, kerjasama dengan pihak pemerintah RI diperlukan untuk mengkondisikan perlawanan lebih matang lagi terutama dalam soal pengumpulan logistik dan dana perang. Setelah merasa kuat, maka perjuangan jilid kedua pun wajib dilakukan kembali.


Aksi-aksi teror pun kemudian dilaksanakan. Tidak hanya di Medan tapi juga di Bukittinggi, Aceh, Sulawesi Selatan, Riau dan Jawa. Dengan memanfaatkan jaringan lama seperti Tengku Daud Beureh di Aceh, DI coba kembali membangun berbagai sel perlawanan. Salah satu sel mereka diberi nama Komando Jihad.


Opsus Berlepas Diri

Menurut Solahudin dalam NI Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, sejak awal BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) sudah mengetahui bahwa para aktivis eks DI akan melakukan tindakan subversif. Setidaknya itu bisa disimpulkan dengan membiarkan Adah Djaelani dan kawan-kawannya menghidupkan kembali DI.


“Mereka secara sengaja menunggu gerakan para eks DI ini membesar dan memulai aksi-aksi teror baru setelah itumengadakan penangkapan-penangkapan terhadap mereka,” ungkap Solahudin.


Analisa Solahudin dikuatkan oleh Busyro Muqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen. Dalam kasus Komando Jihad, kata Busyro, unsur rekayasa politik yang dilakukan Opsus terlihat jelas dengan adanya penyalahgunaan aparat Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di tingkat pusat  dan Pelaksanaan Khusus Daerah (Laksusda).


Namun, pendapat-pendapat itu dibantah keras oleh Aloysius Sugiyanto. Menurut mantan orang kepercayaan Ali Moertopo itu, BAKIN dan Opsus sama sekali berlepas diri dari situasi yang melanda DI pada pertengahan tahun 1970-an. Alih-alih merencanakan sebuah jebakan politik, Opsus justru menginginkan para eks anggota DI melupakan sama sekali cita-cita mereka untuk mendirikan suatu negara Islam di wilayah Republik Indonesia.


“Mereka menjadi tak terkendali setelah Opsus dibubarkan. Jadi jika ada orang mengatakan itu ulah Opsus ya tidak benar. Saya tidak tahu kalau mereka disusupi kepentingan lain atau kekuatan lain setelah Opsus tidak ada,” ungkap Aloysius kepada Historia.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Ayah Zohran Mamdani pernah diusir Diktator Idi Amin. Karya-karyanya menyinggung Afrika pasca-kolonial hingga hukum adat di Indonesia.
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

HR Rasuna Said turut berguru pada Rahmah El Yunusiyah. Universitas Al-Azhar di Kairo terinspirasi membuka kampus khusus perempuan darinya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page