top of page

Sejarah Indonesia

Memaknai Perobohan Patung

Memaknai Perobohan Patung

Sebuah konfrontasi untuk mengajukan pemahaman baru tentang masa lalu.

Oleh :
13 Juni 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Patung Edward Colston yang ditarik massa untuk digulingkan. Sumber: BBC.

SETELAH patung Edward Colston di Bristol, Inggris diceburkan ke sungai pada Minggu, 7 Juni 2020, perobohan patung yang melambangkan penjajahan pada bangsa kulit hitam terjadi di beberapa tempat dalam protes Black Lives Matter. Beberapa patung yang dirobohkan yakni patung King Leopold II di Belgia, Robert Milligan di London, Jefferson Davis di Virginia, Christopher Columbus di Minnesota; dua yang terakhir di Amerika Serikat. Daftar perobohan terus berlanjut.


“Sebetulnya, patungnya itu benda mati, tidak bersalah. Yang bermasalah itu konstruksi makna atas patung itu,” kata sejarawan UGM Budiawan, yang menulis buku Sejarah dan Memori, pada Historia.


Sebuah patung dibuat untuk mengingatkan orang akan heroisme seorang tokoh sejarah. Makna yang direpresentasikan sebuah patung bergantung pada pembentukan wacana dominan seputar patung tersebut, dalam hal ini kisah sejarah mainstream yang sudah dilembagakan. Keberadaan patung sebagai pengingat beserta narasi yang dibangun kemudian menjadi ingatan bersama masyarakat.


Budiawan dalam buku Sejarah dan Memori juga menjelaskan bahwa hal paling utama dalam pembentukan politik ingatan bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan bagaimana masa lalu itu ingin diingat. Pertentangan selalu muncul ketika ingatan kolektif suatu kelompok masyarakat yang sebelumnya dibungkam mengancam ingatan kolektif yang telah mapan. Hal inilah yang terjadi pada sederet aksi perobohan patung di Eropa dan Amerika.


Pendirian patung sebagai wujud penghargaan pada tokoh yang memperbudak leluhur suatu kelompok tidak hanya menghina, tetapi juga meminggirkan orang-orang kulit hitam. Ada penyingkiran narasi sejarah orang-orang yang tersakiti dan menderita akibat ulah tokoh yang dipatungkan. Orang-orang kulit hitam dan pendukungnya melihat ini sebagai wujud ketidakadilan historis. Lebih jauh, hal ini makin mengukuhkan supremasi kulit putih dalam wacana sejarah Barat.


Edward Colstone, misalnya, meski dikenal sebagai dermawan dari Kota Bristol, kekayaannya diperoleh dari perdagangan budak. Bisnisnya menyebabkan puluhan ribu orang Afrika menderita di mana ribuan di dalamnya meregang nyawa. Selain Colstone, pedagang budak yang sosoknya dipatungkan di Inggris ialah Robert Milligan.


Sementara, perobohan juga menyasar patung Jefferson Davis di Amerika. Perobohan itu didasarkan pada fakta historis bahwa Jeffersonlah yang melanggengkan perbudakan orang kulit hitam dalam perang saudara Amerika (1891-1865).


BBC News mengabarkan, keberadaan patung Christopher Columbus juga mendapat penolakan di beberapa wilayah. Di Minnesota, patung Columbus dirobohkan. Di Boston, patung serupa dipenggal kepalanya. Di Richmond, patung Columbus dicorat-coret.


Dalam narasi sejarah mainstream, Columbus dikenal sebagai penemu benua Amerika. Namun bagi penduduk asli Amerika, ekspedisi yang dilakukan Columbus menjadi penyebab kolonialisme dan genosida besar-besaran pada suku Indian.


Di Belgia, patung Raja Leopold II diturunkan setelah dibakar, dicorat-coret, dan adanya petisi untuk menurunkan patung tersebut. Raja Leopold II merupakan raja yang melakukan ekspansi hingga ke Congo. Metode ekspansinya kemudian ditiru kerajaan lain di Eropa, seperti Jerman dan Prancis.


Menurut Budiawan, pembuatan patung Raja Leopold II dilatarbelakangi rasa bangga orang Belgia di masa lalu atas kebesaran rajanya. Mereka menganggap masuknya Belgia ke Congo sebagai misi pemeradaban karena membawa kebudayaan Eropa ke Congo.


“Buat kaum kolonialis, membangun koloni di luar Eropa tidak dipahami sebagai perampokan atau penjarahan tanah dan penduduknya. Tetapi dibingkai sebagai misi pemeradaban. Tapi buat orang Congo, masa kejayaan kolonialisme itu diingat sebagai sebuah penderitaan,” kata Budiawan.


Penjajahan Belgia tehadap Congo (1885-1908) itu mengakibatkan penderitaan dan kematian sekira 10 juta rakyat Congo baik karena dibunuh, kelaparan, atau mati disiksa aparatur Belgia.

Di Irlandia Utara, seperti dikabarkan The Guardian, muncul petisi untuk menurunkan patung John Mitchel. Kontroversi tokoh Irlandia yang menentang pemerintahan Inggris pada abad ke-19 itu terletak pada dukungannya terhadap perbudakan di Amerika.


Kampanye perobohan patung lambang supremasi kulit putih terus merebak di Eropa seiring protes Black Lives Matter. Aksi ini hanya bagian kecil dari upaya menentang narasi sejarah dominan, bahwa tokoh-tokoh yang dipatungkan merupakan sosok yang tak layak dipuja. Disebut bagian kecil karena untuk menjungkirbalikkan narasi sejarah dominan diperlukan perangkat kelembagaan yang, sayangnya, hanya dikuasai kaum elite.


“Masalahnya kelompok ini tidak punya perangkat kelembagaan untuk menggantikan wacana yang dominan, caranya ya robohkan saja. Lupakan dia sebagai pahlawan,” kata Budiawan.


Menurut sejarawan Madge Dresser dalam artikelnya “Remembering Slavery and Abolition in Bristol”, keberadaan patung tokoh perdagangan budak memancing orang untuk mempertanyakan siapa yang harus dihormati di ruang publik, juga kelompok mana yang masa lalunya diwakili secara kolektif. Perdebatan tentang sosok Colston, misalnya, membuktikan adanya kebutuhan untuk menciptakan masa lalu yang dapat diterima oleh semua penduduk kota secara kolektif.


“Diperlukan kepekaan dan kejujuran untuk mengakui sejarah beserta warisannya yang mengakibatkan trauma dan penindasan akibat perbudakan,” tulisnya.


Dengan makin banyaknya patung yang dirobohkan, narasi sejarah tentang buruknya perbudakan di masa lalu menjadi diingat.

Commentaires

Noté 0 étoile sur 5.
Pas encore de note

Ajouter une note
Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Di masa Orde Baru para jenderal purnawirawan mengajukan pandangan untuk mengoreksi Dwifungsi ABRI. Kini para jenderal purnawirawan bersuara untuk memakzulkan wakil presiden.
Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Dari menjadikan rumahnya sebagaik pondokan, di masa revolusi Haji Hilal dekat dengan pemuda-pemuda Sulawesi di Yogyakarta. Beberapa di antara mereka kelak jadi orang top.
Sultan Bagi-bagi Uang di Masa Perang

Sultan Bagi-bagi Uang di Masa Perang

Kedermawanan Sultan Hamengkubuwana IX tak semata berupa menyantuni rakyat. Sultan membantu membiayai pemerintahan republik semasa diterpa gejolak. Enggan digembar-gemborkan.
Tangan Besi Daendels dalam Menjaga Ketertiban di Jawa

Tangan Besi Daendels dalam Menjaga Ketertiban di Jawa

Daendels menggunakan kebijakan tangan besi untuk menjaga ketertiban di Jawa. Hukuman yang diberikan beragam, mulai dari pemecatan, penjara, hingga dibuang.
Klarifikasi Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal dalam Kerusuhan Mei 1998

Klarifikasi Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal dalam Kerusuhan Mei 1998

Anggota Komisi X DPR RI menuntut Menteri Kebudayaan Fadli Zon meminta maaf atas pernyataan kontroversialnya terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
bottom of page