top of page

Sejarah Indonesia

Pangku Memanusiakan Mereka Yang Terjebak Fenomena Kopi

Pangku Memanusiakan Mereka yang Terjebak Fenomena Kopi Pangku

Dulu Wiji Thukul memvisualisasikan fenomena kopi pangku lewat puisi, hari ini Reza Rahadian merekamnya dalam film “Pangku”. Begitu humanis dan mudah dicerna.

17 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

AKTOR kawakan Reza Rahadian mulai beralih ke belakang layar. Bersama rumah produksi Gambar Gerak, ia menggebrak perfilman Indonesia lewat film Pangku yang jadi debutnya sebagai sutradara. Film drama ini meramu tentang kegetiran dan rumitnya bertahan hidup dalam dunia remang-remang di jalur Pantai Utara Jawa alias Pantura.


Dibintangi Fedi Nuril, Claresta Taufan, Christine Hakim, hingga aktor cilik Shakeel Fauzi, Pangku merekam aneka dimensi manusia-manusia yang terjebak fenomena warung kopi pangku di kawasan Pantura Indramayu, Jawa Barat. Reza mengaku sudah memendam premis tenatang isu sosial dan ekonomi itu sejak tujuh tahun terakhir.


Dalam pemutaran khusus dan diskusi filmnya di Kemang, Jakarta Selatan pada Kamis (16/10/2025) kemarin, Reza berkisah bahwa Pangku berawal dari pengalamannya melihat sendiri fenomena itu setelah selesai syuting sebuah film pada 2018.


“Kita enggak turun (dan mampir), hanya melewati saja. Dulu mereka persis di pinggir jalan Panturanya, terus mereka digusur-gusur. Mereka nomaden sebetulnya. Terus saya kepikiran kalau bikin film, saya mau di sini lokasinya dan mengangkat isu dan fenomena ini karena secara latar belakang menarik dan jarang ada di film Indonesia juga,” tutur Reza.


Meski memotret kehidupan keras di Pantura, Reza yang juga bertindak sebagai penulis skenario bersama Felix K. Nesi tak ingin menonjolkan, apalagi menjual aspek kemiskinan dan penderitaan. Pangku menghadirkan pendekatan realis yang jujur apa adanya tentang kehidupan para sopir di pelelangan ikan, para buruh tani di persawahan, hingga pemilik dan pelayan warung kopi.


“Truk (mobil pick up) yang saya pakai sampai saya bawa ke rumah selama tiga hari. Keliling-keliling pakai itu. Di Indramayu, satu hari saya observasi bagaimana keseharian orang-orang di situ lalu saya terapkan ke karakter saya,” ujar Fedi yang memerankan tokoh Hadi si sopir pick up pelelangan ikan.


Pangku juga menghadirkan karakter-karakternya yang berlapis-lapis dimensi dengan perspektif humanis. Tentang bagaimana para wanita yang sering dicap negatif itu sejatinya juga manusia yang harus bertahan hidup dengan pilihan mencari nafkah terbatas di tengah krisis moneter 1998 yang jadi latar waktunya. Tokoh Sartika Puspita (diperankan Claresta) tak lain personifikasi dari banyak perempuan yang –kebanyakan adalah ibu tunggal– terjebak dalam fenomena itu.


“Di Pantura saya ngobrol langsung dengan mereka yang profesinya sama dengan Sartika dan juga ibu (pemilik) warung supaya bisa engage. Saya bisa lebih mengerti perspektif kehidupan di Pantura dari mereka langsung. Mereka tahu (hidup mereka) itu tidak mudah tapi mereka tidak mengeluh, tidak menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan orang lain. Mereka perempuan yang bisa diambil sisi positifnya soal bertahan hidup,” timpal Claresta.


Maka, Pangku yang akan mulai tayang di bioskop-bioskop tanah air mulai 6 November 2025 membawakan pengalaman berbeda di tengah gempuran film-film komedi, drama romantis, dan horor. Pangku bakal jadi pilihan tontonan yang menarik, tidak hanya untuk para cinephile namun juga penonton umum karena mengangkat fenomena sosial yang relatif mudah dicerna.


Tawaran berbeda itu agaknya turut membuat Pangku mendapat apresiasi secara internasional dan menang empat penghargaan pasca-penayangan world premier di Busan International Film Festival ke-30 pada 20 September 2025. Pasalnya meski mengangkat fenomenal lokal di Indonesia, esensi filmnya begitu universal.


“Dari yang kami ambil pelajarannya di Busan ternyata cerita lokal ini juga universal. Apalagi ketika bicara peran dan sosok ibu. Easy resonate, bisa nyambung dan (audiens mancanegara) bisa ikut berempati,” ungkap produser Gita Fara.


Hal serupa diungkapkan Reza. Terlebih di Korea Selatan ada tradisi kisaeng, perempuan dari kelas rendahan yang dilatih untuk jadi penghibur dalam hal menari, bernyanyi, hingga menyajikan teh sejak era Goryeo (918-1392 Masehi) dan Dinasti Joseon (1392-1897).


“Jadi ada tradisi berbeda tapi mereka punya (profesi perempuan) dengan service yang mirip di Korea. Mungkin itu yang buat mereka mudah untuk relate sehingga muncul reaksi yang baik karena enggak completely hard to digest dan mereka get the point. Mereka juga merasa enggak tahu budaya kopi pangku tapi mereka juga bisa melihat perspektif lain yang menurut mereka itu adalah pengalaman sinema yang terlewatkan tentang film Indonesia,” sambung Reza.


Adegan tokoh Hadi dan Sartika di warung kopi pangku (X@gambargerakfilm)
Adegan tokoh Hadi dan Sartika di warung kopi pangku (X@gambargerakfilm)

Mula Kopi Pangku

Hari ini Reza Rahadian merekam dan mengalihwahanakan fenomena kopi pangku lewat gambar bergerak. Sebelumnya, akvitis-penyair Wiji Thukul juga memvisualisasikannya dalam bentuk puisi, bertajuk “Malam di Kota Khatulistiwa”. Wiji Thukul memvisualisasikan kehidupan malam di sekitaran Sungai Kapuas dan dermaga Pelabuhan Pontianak yang bercampur kawasan prostitusi semasa ia bersembunyi di ibukota Kalimantan Barat tersebut.


Puisinya bertanggal 28 Desember 1996 itu sedikit-banyak menggambarkan fenomena kopi pangku sudah begitu lama eksis dan melekat di kawasan-kawasan ramai kelas proletar. Di lain daerah ada yang menyebut kopi senang, dakocan (dagang kopi cantik), atau kopi pangkon.


Namun, belum diketahui pasti sejak kapan fenomena itu muncul. Eko Setiawan dalam artikelnya di Jurnal Habitus Vol. 6, No. 2, Tahun 2022, “Menyingkap Fenomena Konstruksi Sosial Warung Kopi Pangku di Gresik”, mengungkap kopi pangku mulanya muncul di Gresik, Jawa Timur. Kota itu dikenal sebagai penghasil legen atau air nira yang mana jika difermentasi bisa menghasilkan tuak. Minumal beralkohol itu lazim dijual di warung-warung kopi dan keberadaan pembuat atau pelayan yang cantik jadi daya tarik pelanggan.


Booming dangdut erotis dan dangdut koplo pada 1980-an dan 1990-an juga turut jadi faktor mempopulerkan warung-warung kopi pangku di daerah Pantura. Para pelanggan kopi pangku lazimnya menikmati kopi sambil memangku perempuan pelayan atau pembuat kopi sembari karaoke atau sekadar bergoyang mengikuti irama dangdut.


“Masyarakat banyak mengenal dangdut koplo karena persoalan goyang pinggul yang terlalu berani. Jika kita pergi ke Jawa Timur, kesenian inilah yang berperan besar sebagai media masyarakat dalam merayakan sebuah fase atau siklus hidup di daerah Pantura dan sekitarnya. Kopi pangku kerap menggunakan dangdut dalam praktiknya sehari-hari dan kiranya masih banyak lainnya praktik penggunaan dangdut koplo untuk hal-hal yang negatif,” tulis Michael H.B. Raditya dalam Merangkai Ingatan Mencita Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan.


Sejak 1980-an pula fenomena kopi pangku merambah ke “Bumi Borneo”, sebagaimana yang digambarkan Wiji Thukul dalam puisinya. Menurut Murdijati-Gardjito dkk. dalam Seri Pusaka Cita Rasa Indonesia: Ragam Minuman Khas Indonesia, Pontianak jadi salah satu daerah yang dikenal dengan kopi robustanya hingga membentuk masyarakat pecinta kopi kental dan pekat.


“Terdapat istilah terkait kebiasaan minum kopi di Pontianak, kopi pancong atau kopi setengah yang disajikan hanya dalam setengah gelas kaca kecil dan diminum 2-3 teguk saja. Istilah yang tidak kalah populer pada era 80-an adalah kopi pangku karena pelanggan menikmati kopi sambil memangku dan dilayani wanita cantik sehingga harga kopinya menjadi cukup mahal,” ungkap Murdijati-Gardjito dkk.


Pada akhirnya, kebiasaan masyarakat –mereka dari kelas menengah ke bawah– “ngopi” di warung untuk melepas penat seringkali mengubah fungsi warung kopi dari awalnya tempat nongkrong, bersantai, dan bersilaturahim jadi tempat transaksi prostitusi terselubung. Menurut Yuyung Abdi dalam Prostitusi: Kisah 60 Daerah di Indonesia, warung kopi jadi cara paling bisa diterima untuk mengaburkan transaksi seksual dan ditiru di banyak tempat.


“Kejadian adegan pangku-memangku sebenarnya tidaklah selalu ada. Lebih banyak para perempuan dipeluk atau dipegang dan diraba-raba. Mereka lebih senang diajak karaoke dan jika cocok bisa berkencan seusai waktu kerja. Dalam bisnis warung kopi terselubung, para perempuannya sangat bergairah, apabila konsumen memberi banyak tip. Mereka juga bermain cantik, agar tidak terlihat menjual jasa seksual secara vulgar,” tandas Yuyung.




Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page