- Amanda Rachmadita
- 13 Agu
- 4 menit membaca
RAJA Charles VI yang memerintah Prancis tahun 1380–1422 memiliki keyakinan aneh. Ia percaya dirinya terbuat dari kaca. Sehingga, raja yang naik takhta di usia 12 tahun ini memiliki ketakutan berlebihan akan tubuhnya. Karena takut tubuhnya hancur berkeping-keping jika disentuh, ia mengenakan pakaian khusus dan melarang para pelayan terlalu dekat dengannya.
Apa yang terjadi pada Raja Charles VI, menurut Petteri Pietikainen dalam Madness: A History, merupakan kasus pertama dari delusi kaca, sebuah fenomena kejiwaan di mana orang-orang yang merasa dirinya terbuat dari kaca, kerap disebut “orang-orang kaca”, berpikir bahwa mereka rapuh sehingga takut pecah jika kontak fisik dengan seseorang atau benda. Beberapa orang percaya jika dirinya sebuah lampu minyak, pot atau benda lain yang terbuat dari kaca. Sedangkan yang lainnya meyakini diri mereka terpenjara di dalam botol kaca.
“Delusi kaca lebih sering terjadi di kalangan bangsawan dan cendekiawan. [...] Asumsi mereka dibentuk oleh doktrin bahwa kesehatan dan umur panjang mengharuskan ‘kekuatan hidup yang vital’ ditampung dalam wadah yang rapuh dan transparan. Pada saat yang sama, dosa terkadang dikaitkan dengan bejana yang pecah sementara kaca dikaitkan dengan kemurnian dan kesucian. [...] Orang-orang kaca sering kali percaya pada kerentanan diri mereka, yang dilambangkan dengan kaca yang rapuh,” tulis Pietikainen.
Sementara itu, Paul Fallon menulis dalam Madness: A Biography, alih-alih dipandang sebagai gejala psikotik atau gejala gangguan jiwa, di mana seseorang mulai kehilangan kontak dengan realitas, delusi dapat muncul karena didorong oleh kecemasan individu yang menemukan bentuknya dalam suatu gagasan tertentu, dalam hal ini keyakinan bahwa dirinya terbuat dari kaca. Pada akhirnya, bila melihat kondisi di abad pertengahan, di mana harapan hidup terbilang pendek karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, delusi kaca dapat dipandang sebagai ekspresi dari kekhawatiran seseorang tentang kehidupan.
Dalam kasus Raja Charles VI, delusi kaca yang dialaminya tidak muncul sejak muda. Putra Charles V dan Jeanne dari Bourbon itu awalnya tampil sebagai penguasa yang teliti. Menurut Geoff Tibbals dalam Royalty’s Strangest Characters, pria yang lahir tahun 1368 itu tumbuh sebagai sosok yang menarik dan rendah hati. Ia tidak hanya piawai menunggang kuda, tetapi juga pemanah ulung. Pada 1388, dengan bantuan saudaranya Louis, Duke of Orleans, Charles menyingkirkan empat pamannya yang licik dari kekuasaan dan mengganti mereka dengan sekelompok penasihat ayahnya. Sebelumnya, mereka menjadi walinya dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri dan merugikan rakyat sehingga memicu pemberontakan. “Pada tahap ini tidak ada indikasi bahwa Charles akan segera kehilangan kendali dan akal sehatnya,” tulis Tibbals.
Pada April 1392, Charles terserang penyakit misterius, kemungkinan besar adalah ensefalitis atau peradangan otak yang menyebabkan rambut dan kukunya rontok. Gejala penyakit ini meliputi halusinasi, delirium, dan kelemahan parah pada anggota tubuh. Charles menunjukkan sifat-sifat yang mengkhawatirkan, seperti demam tinggi dan perilaku tidak masuk akal saat mengetahui adanya upaya pembunuhan terhadap penasihat favoritnya, Olivier de Clisson, di jalanan Paris.
Pada Agustus 1392, Charles yang marah mengabaikan nasihat para dokter kerajaan yang menyatakan bahwa ia demam dan belum mampu berkuda untuk memimpin penyerbuan terhadap tersangka utama, yaitu Duke of Britanny. Di tengah penyerbuan, di suatu hari yang panas di hutan dekat Le Mans, sang raja melihat penampakan seorang pria berpakaian compang-camping yang seakan mengejarnya. Hal ini membuat Charles paranoid dan menyerang prajuritnya sendiri.
Victoria Shepherd menulis dalam A History of Delusions, kondisi mental Charles semakin memburuk ketika ia terlibat kecelakaan mengerikan di pesta dansa bertopeng pada 1393. Ketika itu, Charles bersama beberapa pelayannya mengenakan kostum yang dipenuhi bulu. Nahas, percikan api tidak sengaja mendarat di salah satu kostum dan membakarnya. Api yang semakin liar merembet kemana-mana. Kendati lolos dari maut, kematian sejumlah pelayannya menjadi pukulan bagi kesehatan mental Charles yang memburuk.
Sebuah peristiwa pada Agustus 1395 menandai dimulainya delusi kaca. Charles VI yang berusia 26 tahun tidak mengenali keluarganya sendiri. Ia gelisah dengan persepsinya sendiri yang terdistorsi dan dari keadaan inilah delusi kaca pertama kali muncul.
“Ia sering berlari ke sana kemari di istana, sampai tenaganya benar-benar habis... Raja juga mengklaim dirinya terbuat dari kaca, membalut dirinya dengan alat pelindung diri, takut pecah saat jatuh, dan lain sebagainya. Ia menganggap dirinya kadang-kadang terbuat dari kaca, tidak boleh disentuh. Karena ketakutannya itu ia menyisipkan sebatang besi pada pakaiannya,” tulis Shepherd.
Tidak hanya takut jika ada orang yang telalu dekat dengannya, Charles VI juga menolak bepergian dengan kereta karena takut getarannya akan membuat tubuhnya hancur berkeping-keping. Selama beberapa bulan pada 1405 Charles menolak mengganti pakaian, mandi, dan dicukur. Hal ini membuatnya menderita masalah kulit dan kutu.
Menurut Tibballs, kondisi ini membuat para pelayan kebingungan. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap raja yang meyakini dirinya adalah kaca. Dokter kerajaan mencari cara untuk mengatasi keadaan raja yang seringkali tak terkendali. Setelah kehabisan cara, dokter memutuskan bahwa satu-satunya obat adalah bentuk radikal dari perawatan kejut.
Suatu hari pada November 1405, dokter kerajaan mengatur sepuluh orang dengan wajah menghitam menyelinap ke kediaman raja dan menakutinya. Ketika raja masuk, mereka melompat keluar dan meneriakkan kata-kata seperti “Booo!”. “Hebatnya, tipu muslihat seperti ini berhasil dan selama beberapa minggu berikutnya, Charles setuju untuk dimandikan, dicukur, dan diberi pakaian,” tulis Tibballs.
Kondisi ini membuat posisi Raja Charles VI tidak lebih dari seorang penguasa boneka. Tak jarang ketika harus membuat keputusan penting, ia berpihak pada siapa pun yang berbicara paling keras. Keadaan ini membuka peluang perebutan kekuasaan.
“Dengan negara yang terpecah belah dan raja yang tidak berdaya untuk campur tangan, Prancis berada di bawah belas kasihan para penjajah asing dan pada 1415, Henry V dari Inggris menekan klaimnya sendiri atas takhta Prancis dengan mengalahkan pasukan Galia yang secara angka lebih unggul di Agincourt,” tulis Tibballs.
Kehidupan Charles VI yang tersesat dalam fenomena kejiwaan delusi kaca menjadi kasus paling terkenal ketika membahas “orang-orang kaca”. Jauh setelah kematian sang raja pada 1422, kasus-kasus delusi kaca menyebar di luar istana Prancis dan berkembang di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-17. Seiring meningkatnya perhatian terhadap fenomena kejiwaan ini, kasus-kasus delusi kaca diangkat menjadi cerita sastra, yang paling terkenal adalah cerita pendek The Glass Graduate karya Miguel de Cervantes tahun 1613.*













Komentar