- Martin Sitompul
- 1 Jul
- 4 menit membaca
Diperbarui: 2 Jul
DAFTAR pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi bertambah satu lagi setelah Kepala Dinas PUPR Sumatra Utara Topan Ginting tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Topan Ginting diduga terlibat suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dengan nilai kontrak mencapai Rp231,8 miliar. Dari nilai kontrak tersebut, Topan dijanjikan mendapat jatah sekira 4—5 persen (senilai Rp.8 miliar) sebagai imbalan atas perannya memuluskan tender proyek.
Topan mengawali kariernya sebagai birokrat di Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Medan pada 2018. Setahun kemudian, Topan menjadi camat Medan Tuntungan. Kariernya kian moncer ketika menjadi orang dekat Wali Kota Medan Boby Nasution sebagai kepala bagian di Sekretariat Daerah Kota Medan. Setelah Boby naik menjadi gubernur Sumatra Utara, Topan ikut ketiban jabatan sebagai kepala dinas PUPR Sumatra Utara hingga tersandung skandal korupsi. Kasus ini tentu menambah coreng hitam pada citra aparat-birokrat Indonesia.
Berkebalikan dengan Topan Ginting, orang Karo dulu pernah bangga dengan sosok bupati pertama mereka: Rakutta Sembiring Brahma. Tokoh sipil jebolan kader Taman Siswa Medan ini terpilih lewat musyawarah Komite Nasional Indonesia Tanah Karo pada 13 Maret 1946. Saat menjabat bupati pertama Tanah Karo, usia Rakutta masih terbilang muda, 32 tahun.
Rakuta Sembiring dikenal sebagai bupati yang sederhana namun gesit dan cakap. Semasa Perang Kemerdekaan, Rakutta juga turut andil dalam menyokong perjuangan Republik di wilayah Tanah Karo. Kesan terhadap kepempimpinan Rakutta itu ditangkap dengan cermat oleh Mohammad Radjab, jurnalis Kantor Berita Antara ketika berkunjung ke Kabanjahe, ibu kota Tanah Karo, pada Juni 1947.
“Baru di sinilah kami menjumpai seorang model bupati, dan alangkah baiknya, bila semua bupati yang lembek dan statis di Jawa, seperti Bupati Kabanjahe ini. Beliau sudah berkali-kali ke medan pertempuran,” catat Radjab dalam memoarnya Catatan di Sumatra.
Menjadi Bupati
Sebelum menjadi bupati, Rakutta yang kelahiran Desa Limang, Tiga Binanga, 4 Agustus 1914, merupakan tokoh pergerakan nasional Tanah Karo. Setelah menjadi kader Taman Siswa, Rakutta kemudian aktif dalam organisasi Partindo hingga periode 1940-an. Memasuki era Indonesia merdeka, Rakutta tergabung sebagai pengurus Seksi Penerangan Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Memasuki 1946, Rakutta mengetuai Komite Nasional Indonesia wilayah Tanah Karo.
Revolusi sosial yang melanda Sumatra Timur pada Maret 1946 menghapus kedudukan daerah swapraja yang berdiri sendiri sejak masa kolonial. Revolusi itu sekaligus mengakhiri kekuasaan raja-raja lokal yang bercorak feodal, termasuk para sibayak (raja) di Tanah Karo. Untuk memastikan pemerintahan berjalan di daerah ini, Komite Nasional Indonesia Tanah Karo menetapkan pembentukan Kabupaten Tanah Karo. Musyawarah itu sekaligus mengangkat Rakutta Sembiring sebagai bupatinya.
Wilayah Tanah Karo saat itu meliputi Kawedanan Karo Utara, Karo Selatan, dan Karo Jahe. Masing-masing kawedanan terdiri dari lima kecamatan. Terletak di dataran tinggi, Tanah Karo dikenal dengan tanahnya yang subur sebagai penghasil tanaman pertanian.
Radjab mengenang sosok Rakutta, bupati Tanah Karo pertama itu, yang masih terlihat muda dan tegap, tidak banyak cakap tapi gesit dalam semua tindakan. Semua perintah yang diucapkannya dengan tegas, seakan-akan tidak boleh dibantah lagi. Begitulah Rakutta saat rombongan wartawan utusan Kementerian Penerangan singgah di Brastagi dan Kabanjahe untuk meliput keadaan di Sumatra dalam suasana perjuangan di tengah perang. Radjab, salah satu wartawan dalam utusan itu, menyaksikan bagaimana Rakutta mampu menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk menyambut utusan pemerintah pusat itu. Rakutta bahkan menjamu mereka dengan hiburan pertunjukan film di kedua kota tersebut, dan pertemuan khusus di Hotel Brastagi.
“Selama di bawah bupati ini, dalam lima bulan telah ada 12.000 orang yang telah pandai membaca dan menulis. Orang-orang itu dipaksa belajar dan jika tidak mau, kata Bupati Rakutta, mereka akan diserobot dan didudukkan di bangku sekolah pemberantasan buta huruf itu,” beber Radjab.
Semasa memimpin Tanah Karo di masa perang, Rakutta beberapa kali harus memindahkan pusat pemerintahan. Mulai dari Kabanjahe, Tigabinanga, Laubeleng, Kutacane, Tiganderket, hingga kembali lagi ke Kabanjahe pada 1950. Perpindahan pusat pemerintahan itu mencerminkan situasi yang gawat akibat ancaman agresi Belanda yang hendak menduduki Sumatra sampai ke Aceh. Saat Perang Kemrdekaan, dalam buku kenangan Ketua Diakonia Sosial HKBP yang Pertama: St. Lucius Siahaan, Rakutta disebutkan sangat sibuk mengurus para pengungsi, terutama anak-anak yang ditinggal orang tuanya, janda-janda dan orang tua renta di sekitar Tigabinanga.
Ketokohan Rakutta membuat sosoknya tak asing di kalangan tentara republik yang bertugas di Tanah Karo. Tokoh-tokoh militer Sumatra Utara seperti Djamin Gintings dan Raja Sjahnan mencatat peran Rakutta dalam memoar mereka masing-masinh. A.R. Surbakti, veteran Perang Kemerdekaan, juga mengenang sosok Rakutta dengan takzim.
“Salah seorang tokoh pejuang, yang tidak asing namanya di daerah Karo, Rakutta Sembiring Berahmana adalah salah seorang juru penerangan yang tidak dilupakan sepanjang masa,” ungkap Surbakti dalam bukunya Perang Kemerdekaan di Karo Area.
Pejabat yang Merakyat
Setelah menyelesaikan tugas memimpin Tanah Karo, Rakutta sembiring kemudian menjadi bupati Asahan periode 1953—1959 merangkap walikota Tanjung Balai. Setelahnya, sedari 1960—1964 Rakutta menjabat walikota Pematang Siantar sekaligus menjadi pengabdiannya yang terakhir dalam pemerintahan. Selama menjadi kepala daerah, Rakutta dikenal sebagai pejabat sederhana.
Sejarawan Universitas Sumatra Utara (USU) Suprayitno dalam medanbisnisdaily.com menuturkan betapa sederhananya kehidupan Rakutta Sembiring sebagai seorang pejabat negara yang mengenyam masa 18 tahun menjadi kepala daerah. Pola hidup sederhana itu juga diterapkan dalam budaya anggota keluarganya. Anak-anaknya selalu diberikan kain bahan pakaian untuk dijahitkan kepada tukang jahit. Ukurannya harus besar agar bisa lama dipakai, sehingga bisa berhemat selama beberapa tahun.
“Suatu ketika anak-anaknya membawa kain itu ke tukang jahit minta dibuatkan dengan ukuran yang tidak lebar. Melihat kelakuan anaknya ini, Rakutta marah. Dengan prinsip hidup seperti ini, Rakutta dikenal sebagai bupati yang sampai masa akhir hidupnya tidak memiliki harta berlebih,” terang Suprayitno.
Sementara itu, menurut Eva Angelia Sembiring, semasa Rakutta menjabat sebagai bupati maupun walikota, dia tak canggung untuk berbaur bersama masyarakat. Sekadar main catur atau minum kopi pun dilakoni Rakutta di tengah warga yang dipimpinnya. Hal ini menyebabkan orang sangat kagum melihat sosok Rakutta Sembiring Brahmana.
“Kesederhanaan Rakutta Sembiring tetap beliau pertahankan hingga akhirnya tutup usia,” sebut Angelia dalam skripsinya di USU berjudul “Biografi Rakutta Sembiring Brahmana (1914—1964)”.
Rakutta Sembiring wafat di Kabanjahe pada 28 Januari 1964 dalam usia 49 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kabanjahe. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Pematangsiantar.*
Comments