- Martin Sitompul

- 23 Mei
- 3 menit membaca
PRESIDEN Soeharto barangkali satu-satunya presiden Indonesia yang menyatakan maklumat perang terhadap tikus. Tikus di sini bukan bermakna konotatif untuk menyebut koruptor atau penjahat berkerah putih. Namun, tikus yang dimaksud berwujud sebenarnya, yakni hewan pengerat yang acap jadi hama perusak tanaman pertanian.
Bagi petani, hama tikus merupakan musuh besar yang meresahkan. Tanaman pangan yang digerayangi tikus dapat menyebabkan kerugian hingga terancancam gagal panen. Terlebih tikus memiliki perkembangbiakan populasi yang terbilang tinggi. Itulah yang terjadi pada 1985, ketika serangan hama tikus merusak puluhan ribu hektare lahan pertanian di sejumlah daerah Indonesia. Menteri Penerangan Harmoko mengemukakan, sampai akhir Juli 1985 areal yang diserang hama tikus sebesar 22.963 hektar. Angka ini jauh lebih besar daripada serangan hama wereng coklat yaitu 580 hektar dan tungro 1.405 hektar.
“Seandainya produksi padi per hektar rata-rata 8.000 kg gabah, maka produksi padi yang hilang akibat serangan hama tikus ini adalah sebesar 183.704 ton gabah atau senilai kurang lebih Rp27.555.600.000. Kerugian yang cukup berat yang harus dipikul oleh para petani,” lansir Majalah Dharmasena No. 2, Juli 1987.
Hama tikus yang merajalela pada tahun 1985 bikin petani menjerit. Di desa Tokoh, Tengah, dan Padang, Kecamatan Manggeng, Aceh Selatan, misalnya, para petani di tiga desa tersebut mengeluh akibat puluhan hektar tanaman padi mereka digasak tikus. Sebagian besar tanaman padi itu tidak dapat dinikmati hasilnya. Namun, sawah padi yang paling luas terserang hama tikus adalah Jawa Barat dengan areal 11.000 hektare, disusul Jawa Tengah seluas 9.000 hektar.
Di Lumajang, Jawa Timur, para petani sampai harus menunaikan shalat hajat untuk menolak bala hama tikus. Sebagaimana diwartakan Berita Yudha, 19 Juli 1985, sejak Mei 1985 hama tikus mengganas di pelbagai daerah Kabupaten Lumajang sehingga ratusan hektare tanaman padi dan palawija rusak. Berbagai pemberantasan yang dilakukan, termasuk cara tradisional penggropyokan, memang berhasil membinasakan puluhan ribu ekor tikus. Namun, serangan hama ini bukannya mereda malahan makin gencar setiap malam.
“Merasa kewalahan, para petani di Desa Kabuaran, Kecamatan Kunir, 16 km tenggara Lumajang, baru-baru ini melakukan salat hajat dua raka'at memohon bantuan Tuhan mengenyahkan hama ini. Doa bersama ini dilakukan di tengah sawah,” diwartakan Berita Yudha.
Presiden Soeharto turut prihatin atas kegelisahan petani. Sebagai anak petani, Soeharto tentu mengerti betul perasaan petani dirugikan akibat hama tikus. Apalagi Presiden Soeharto sejak jauh-jauh hari telah menginstruksikan agar musim tanam 1985 dan 1986 dipersiapkan sebaik-baiknya sejak dini. Keinginan presiden ini bertujuan untuk meneruskan swasembada pangan yang sudah tercapai pada 1984.
Dalam sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin), Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi untuk memerangi hama tikus. Instruksi itu secara khusus ditujukan penanganannya kepada Panglima ABRI Jenderal Leornardus “Benny” Moerdani. Turut hadir dalam rapat terbatas tersebut Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan sejumlah menteri terkait.
“Instruksi Presiden kepada Pangab: Nyatakan perang terhadap hama tikus,” demikian diwartakan Analisa, 5 September 1985.
Menurut Soeharto, sebagaimana dikutip Menteri Harmoko, pemberantasan hama tikus harus dilaksanakan sampai ke akar-akarnya. Selain itu, diperlukan gerakan bersama dengan masyarakat. Untuk maksud itu, Presiden Soeharto menginstruksikan agar ABRI termasuk Kodam-Kodam mempelajari bagaimana memberantas hama tikus tersebut.
“Tugas memberantas hama tikus ini bukan pekerjaan sepele, tapi merupakan tugas mulia demi produksi padi kita,” imbuh Soeharto sebagaimana dituturkan Harmoko dalam Analisa.
Misi memerangi tikus tentu jadi tantangan tersendiri bagi Benny Moerdani. Bagaimana tidak, jenderal TNI yang dikenal sangar, angker dan berpengalaman di dunia telik sandi itu tiba-tiba ditugaskan presiden untuk membasmi binatang hama.
Namun, Benny Moerdani tak mau tergesa-gesa mengerahkan pasukannya. Seusai sidang terbatas, Benny menyatakan kepada para wartawan untuk mempelajari dulu masalah pemberantasan tikus dan berkonsultasi dengan para ahli pertanian. Ketika ditanya wartawan, apakah perlu dibentuk pasukan khusus untuk memberantas tikus, Benny menjawab dengan hati-hati.
“Bukan begitu, kita ikut menggalakkan dan menggerakkan rakyat untuk memberantas hama tersebut,” kata Benny Moerdani dikutip Analisa.
Pada kenyataannya, TNI memang tidak sampai mengerahkan pasukan khusus untuk membasmi tikus tanah. Di daerah-daerah yang mengalami serangan hama tikus kemudian dilakukan gerakan terpadu untuk memberantas hama tikus. Di Subang, Jawa Barat misalnya, gerakan massal lintas organisasi berhasil menangkap jutaan ekor tikus dalam jangka waktu kurang dari setahun. Selain itu, pengendalian hama tikus juga dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan obat-obatan.
“Tidak kurang dari enam juta ekor tikus yang selama ini memangsa tanaman padi di Subang, berhasil ditangkap dan dimusnahkan petani sejak 1985 yang lalu melalui gerakan serentak dan terpadu dalam pemberantasan hama tikus di daerah tersebut,” lansir Berita Yudha, 21 Agustus 1986.
Meski hama tikus merongrong, Indonesia masih mampu mempertahankan swasembada beras pada 1985. Presiden Soeharto bahkan menerima penghargaan atas prestasi Indonesia mewujudkan swasembada beras. Namun, serangan hama tikus tampaknya cukup mempengaruhi produksi padi Indonesia pada paruh kedua 1980. Kenaikan produksi beras pada 1985, mengutip data Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia 1982—1987, turun menjadi 2,34% dan pada 1986 turun lagi menjadi hanya 0,9%. Terakhir kali Indonesia mencapai swasembada beras pada 1988 dan setelahnya, sampai saat ini, Indonesia tak pernah lagi mengalaminya.*













Komentar