- Randy Wirayudha

- 18 Agu
- 5 menit membaca
USIANYA tujuh bulan lebih tua dari Republik Indonesia yang baru saja merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Suyatno, lelaki sepuh itu, masih menyimpan memori bagaimana ia bisa merantau ke ibukota yang tentu sudah banyak berubah.
“Dulu kotanya (Jakarta) masih sepi. Belum ada gedung-gedung tinggi atau jalan tol. Lebih mirip rawa-rawa yang banyak nyamuk. Dulu upah saya hanya (sekitar) Rp650 sebulan yang cukup untuk menyambung hidup,” ujar Suyatno di rumah sederhananya di kawasan padat Kelurahan Ragunan, Jakarta Selatan.
Upah yang dimaksud adalah upahnya ketika masih bekerja serabutan di sebuah pabrik kayu. Gajinya tak berbeda jauh ketika sudah beralih jadi prajurit di Korps Komando (KKO) Angkatan Laut (kini Korps Marinir). Suyatno kini veteran dengan pangkat terakhir sersan satu (sertu), namun tak lagi mendapat undangan menghadiri upacara HUT RI.
“Sebagai veteran, dulu saya sering diundang ke upacara bendera (HUT RI) di pusat kota. Tetapi sejak COVID sudah tidak lagi. Saya hanya menyaksikan (upacara HUT RI) sama cucu-cucu dan menonton perayaannya di TV saja,” sambungnya.
Dari Solo ke Timor Timur
Duduk santai di ruang tamunya, Sertu (Purn.) Suyatno begitu bangga mengenakan kemeja dan celana cokelat tuanya yang ternyata masih muat. Topi mut kuning kunyit khas seragam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) tak ketinggalan. Hari itu, dia menjamu tamu dari jauh, Nöel van Bemmel, jurnalis media Belanda Volksrant.nl –yang duduk di samping Suyatno– dengan didampingi dua rekan kontributor lokalnya.
Sebagai sosok yang usianya sebaya dengan Republik Indonesia, Suyatno sudah merasakan suka dan duka sebagai warga Indonesia selama nyaris seabad. Lantaran tak merasakan era kolonial, ia tak pernah menyimpan dendam pada orang Belanda seperti Van Bemmel meskipun dirinya tentu turut terdampak kolonialisme Belanda. Suyatno tumbuh sebagai orang yang buta huruf lantaran orangtuanya berasal dari kalangan miskin.
“Selama masa penjajahan, banyak orang Indonesia yang tidak bisa sekolah, yang artinya masyarakatnya sulit berkembang. Hanya anak-anak kaum elite yang bisa sekolah. Saya pikir Belanda harusnya malu. Ya misalnya, Inggris saja membiarkan orang-orang di tanah jajahannya bisa sekolah. Tetapi ya saya tidak marah kalo lihat orang Belanda sekarang. Itu kan sudah berlalu,” sambung Suyatno.
Suyatno lahir di Solo pada 13 Januari 1945. Kedua orangtuanya buta huruf sehingga Suyatno dan keempat saudara dan saudarinya pun tumbuh tanpa pendidikan layak. Ayahnya seorang buruh bangunan serabutan sehingga mereka hanya bisa hidup di sebuah rumah gedeg tanpa kakus, jarang punya makanan, apalagi listrik.
“Waktu bapak saya meninggal, kami harus pindah ke Semarang. Ibu saya menafkahi dengan jualan sayuran di pinggir jalan,” kenangnya.
Suyatno dan saudara-saudarinya hanya bisa mengenyam pendidikan di sebuah sekolah rakyat. Walau bersekolah tanpa sepatu, Suyatno bertekad untuk belajar berhitung, membaca, dan menulis dengan baik. Upaya itu kemudian jadi bekal Suyatno untuk bisa melanjutkan ke sebuah sekolah teknik dan merantau ke Jakarta di usia 19 tahun.
Suyatno atas bekerja di sebuah pabrik kayu di Jakarta. Di masa itulah terjadi Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sebagai buruh pabrik kayu, jelas Suyatno tak paham soal politik apapun yang ia dengar via radio. Kelak ia baru mengetahui bahwa pada peristiwa itu sejumlah jenderal jadi korban dan berujung pada pergantian kekuasaan dari Sukano ke Soeharto.
“Saat itu saya masih kerja di pabrik kayu dan hanya mendengar dari radio bahwa ada beberapa jenderal yang dibunuh. Jujur, saya juga tidak menyaksikan penculikan atau pembunuhan apapun. Pergolakan politik itu mungkin salah satu yang paling kelam dalam bab sejarah kami,” lanjut Suyatno.
Peristiwa G30S faktanya tak hanya jadi titik balik politik di negeri ini tapi juga dalam kehidupan Suyatno. Dari seorang buruh pabrik kayu, ia mendaftar jadi prajurit Angkatan Laut (AL).
“Saya juga tadinya ingin jadi pelaut agar bisa keliling dunia tapi ternyata mustahil. Setidaknya sebagai Marinir, saya tetap di TNI AL. Saya senang kedisiplinannya dan seragamnya,” jelasnya. “Kakak saya bilang kalo saya bisa dapat gaji tetap. Ya saya senang karena kalau tidak punya gaji tetap, saya tidak bisa kawin. Istri saya dulu juga satu kampung di Solo dan kami dikenalkan orangtua kami. Saya tidak pernah pacaran tapi ya jatuh cinta pada pandangan pertama. Untung dia juga suka sama saya. Hahaha...” kenang Suyatno berbalut tawa.
Setelah lebih dulu berdinas di Tanjung Pinang dekat Singapura, Suyatno akhirnya melepas masa lajang. Itupun setelah baru mendapat cuti sampai seminggu. Ia membawa istrinya ke Jakarta dan mengontrak rumah sekitar tahun 1970.
Selain di Tanjung Pinang, Suyatno paling terkenang dengan penugasannya ke Timor Timur (kini Timor Leste). Pemerintah Indonesia melancarkan Operasi Seroja mulai 7 Desember 1975 sebagai invasi anti-komunisme pasca-Fretilin (Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Leste) mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur dari Portugal pada 28 November 1975.
Menurut eks-Komandan Satuan Marinir Armada Barat Mayjen (Purn.) Yussuf Solichien Martadiningrat dalam biografinya, Against All Odds: Prajurit Marinir yang Menjadi Panglima Nelayan, pada mulanya untuk operasi itu Mabes ABRI membutuhkan tambahan pasukan hingga tiga batalyon prajurit KKO yang sebulan sebelum Operasi Seroja sudah resmi kembali menggunakan nama Korps Marinir. Di sisi lain, pengerahan pasukan Marinir ini dapat menghentikan “PHK” massal lantaran banyak anggota dan perwira Marinir yang dikaryakan di luar Korps Marinir dan TNI AL.
Markas Pusat Marinir TNI AL pun kemudian mengerahkan prajurit-prajurit pilihannya. Ada dari Pasmar (Pasukan Marinir, setingkat batalyon) 1, Pasmar 2, hingga Pasmar 3. Setiap pasmar yang disiapkan, masing-masing terdiri dari Detasemen Intai Para Amfibi, Kompi Tank Amfibi, Kompi Panser Ambifi, Kompi Zeni Tempur, Baterai Artileri Medan, Detasemen Perbekalan dan Peralatan, Bagian Kesehatan, dan Polisi Militer. Suyatno termasuk di dalamnya.
“Penugasan saya ke Timor Timur jadi yang paling saya ingat. Komandan kami bilang bahwa kami bertugas melindungi penduduk dari komunis,” kenang Suyatno dengan raut wajah serius.
Suyatno memang bukan prajurit yang “trigger happy” alias mudah menarik pelatuk senjatanya. Namun tak ada penyesalan dari penugasannya di Timor Timur.
“Setiap pekan kami patroli ke desa-desa yang biasanya sudah ditinggalkan. Pernah kami harus patroli sampai sebulan penuh tanpa berhenti, tanpa tidur, tanpa mandi, untuk mengambil-alih suatu area. Kami makan apa saja yang bisa dimakan: burung, kuda, kerbau, singkong. Saat ada Fretilin menembak ya kami balas juga dengan tembakan. Saya enggak tahu apa tembakan saya menewaskan orang. Saya enggak punya ambisi untuk itu,” tambahnya.
Bahaya selalu mengintainya di Timor Timur. Salah satunya di sebuah ladang.
“Saya ingat suatu hari kami tergeletak di sebuah ladang. Dua teman saya kena tembak dan mati. Satu kawan lagi kena tembak kakinya. Hanya saya yang selamat dari baku-tembak itu. Pas mereka pergi ketika kami kejar, ya sudah. Saya juga kasihan sama penduduk Timor Timur yang kelaparan dan dijadikan tameng oleh Fretilin. Menurut saya, kami hanya mencoba membantu mereka. Makanya saya tidak menyesal. Sebagai prajruit, saya hanya menjalankan tugas.”
Timor Timur akhirnya jadi provinsi ke-27 Indonesia via UU No. 7 Tahun 1976. Namun tak sampai 30 tahun kemudian, Timor Timur lepas pada 2002 dan kemudian menjadi negara sendiri: Republik Demokratik Timor Leste.
“Pas kerusuhan 1998, saya sudah pensiun. Kerja jadi satpam di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta sebagai tambahan uang pensiunan saya, (sekitar) Rp250 ribu sebulan. Lalu pas (pemerintah) Indonesia memutuskan Timor Timur boleh merdeka, ya saya enggak setuju. Sampai sekarang pun masih enggak setuju! Kami sudah banyak berkorban di sana dan ternyata rasanya jadi sia-sia,” tegas Suyatno.
Namun Suyatno yang hanya veteran, bisa apa? Mau-tak mau ia mesti mengalihkan pikiran ke hal-hal lain. Kini, Suyatno bisa bahagia melihat anak-cucunya punya kehidupan yang lebih baik dari dirinya di masa lalu. Tentu berkat pembangunan selama 80 tahun terakhir, terlepas dari noktah hitam bernama korupsi yang tak kunjung lenyap.
“Kalau bicara ekonomi ya tentunya Indonesia sudah banyak kemajuan. Lihat saja gedung-gedung tinggi dan jalan yang macet di mana-mana. Bahkan orang miskin sekarang masih bisa sekolah dan berobat ke rumahsakit. Sekarang memang sudah merdeka dan lebih aman hidup di sini. Tentu jauh berbeda dari masa kecil saya. Walapun begitu, Indonesia sudah jadi surga bagi para koruptor! Ini yang membuat kerusakan besar bagi negara kita dan penderitaan rakyat yang tidak semestinya terjadi. Kita sebagai warga jadi tidak bisa menikmati pajak yang kita bayarkan. Semoga nanti ada pemimpin yang kuat yang mampu mengatasi korupsi,” ujarnya.
*) Tulisan ini adalah hasil kolaborasi Volksrant.nl dengan Historia.ID













Komentar