top of page

Sejarah Indonesia

Ahmad Subardjo Dan Keponakannya

Ahmad Subardjo dan Keponakannya

Dalam keluarganya, tidak hanya Ahmad Subardjo yang mendukung Republik Indonesia. Dua keponakan perempuannya jadi pembantunya dan satu keponakan lagi jadi tentara.

2 Maret 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Presiden Sukarno mengambil sumpah Mr. Ahmad Subardjo sebagai anggota DPA dalam sidang pertama DPA pada 4 April 1962. (Perpusnas RI).

SEKITAR tahun 1840, sebuah kapal layar terdampar di pantai utara Cirebon. Pemilik kapal itu adalah Teuku Muhammad Usman dari Aceh. Usman tidak memilih pulang kampung dan menetap di Penganjang. Ia kemudian menikahi seorang gadis Jawa dan dikaruniai lima anak. Salah satunya Teuku Abdul Karim. Dari perkawinan Abdul Karim dengan anak gadis Haji Husein melahirkan beberapa anak termasuk Teuku Jusuf.


Teuku Jusuf yang pandai mengaji lalu menikahi putri seoranng camat Telukagung, yang masih keturunan priayi dari Rembang. Teuku Jusuf bekerja di departemen dalam negeri kolonial dan pernah menjadi mantri polisi. Ia dan istrinya punya empat orang anak. Semuanya tak memakai gelar teuku tapi raden.


Teuku Jusuf termasuk orang tua yang peduli pada pendidikan anak di zaman itu. Ia berani mengirimkan anak-anaknya yang masih kecil untuk belajar di Batavia (Jakarta).


“Aku dan kakakku mondok pada sebuah keluarga Jawa di Kwitang yang berdekatan dengan sekolah kami di Kramat,” kata anak bungsu bernama Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional. Di antara saudara-saudaranya itu, pendidikan Subardjo paling tinggi. Ia lulus sebagai ahli hukum dari Universitas Leiden dengan gelar Meester in Rechten (Mr.).



Anak perempuan tertua Teuku Jusuf adalah Siti Chadidjah, yang kemudian menikah dengan Abdurachman, seorang pegawai negeri. Mereka memiliki anak perempuan, Siti Alimah, yang menikah dengan Latip, dokter keturunan priayi Demak. Anak ketiga mereka adalah Abdul Rachman yang kemudian bekerja di kantor pemerintahan di Jakarta.


“Dokter Latip itu dulu terkenal loh. <…> mapan banget ekonominya. Rumahnya itu adalah yang jadi Hotel Arya Duta,” terang Amir Abdul Rachman.


Rupanya Chadidjah, Alimah, dan suami-suaminya itu berpikiran maju. Salah satu anak dr. Latip, Retnowati, pernah belajar balet di Wina. Sementara itu, anak perempuannya yang lain, Herawati pernah belajar di Amerika. Herawati belakangan dikenal sebagai jurnalis terkenal. Sementara Retnowati punya suami yang ikut mendarat bersama tentara Jepang di Banten.



Anak perempuan dari keluarga kaya di zaman Belanda belum tentu pendidikannya setinggi mereka. Setidaknya anak-anak dr. Latip yang semuanya perempuan berpendidikan SMA. Hanya sedikit orang berijazah Hogare Burger School (HBS) atau Algeemene Middelsbare School (AMS) di zaman Belanda.


Anak Chodidjah dan Abdurachman yang paling terkemuka adalah Yo Paramitha Abdurachman. Sebelum tahun 1942, menurut catatan Ruth McVey dalam “In Memoriam: Paramita Rahayu Abdurachman, 1920–1988,” jurnal Indonesia No. 46, Oktober 1988, Paramitha pernah mengajar di HIS Pasundan, Jatinegara, sambil kuliah sastra.


Sementara itu, Otto Abdulrachman Soemiarto berhasil masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. “Meski begitu, Soemiarto memendam simpati nasionalisme yang samar,” catat Benjamin Bouman dalam Van Driekkleur tot Rode-Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900–1950.



Sebelum Otto di Breda, pamannya, Achmad Subardjo pernah bersama Mohamad Hatta aktif dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Meski lama di Breda, Otto tak pernah jadi perwira KNIL. Sebab, tentara Jerman keburu menduduki Belanda, dan Otto harus jadi tawanan perang di kamp konsenstrasi. Otto baru bebas dari kamp Nazi setelah Perang Dunia II selesai tahun 1945.


Setelah Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, Subardjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama, meski hanya sebentar. Subardjo beruntung karena dua keponakan perempuannya yang terpelajar, Herawati dan Paramitha, ikut menjadi pembantunya. Setelah tak lagi jadi menteri, Subardjo dan keponakannya tetap di belakang Republik Indonesia.



Setelah pulang dari negeri Belanda, Otto Abdul Rachman bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Sialnya, Otto dianggap dekat mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang terlibat peristiwa Madiun 1948. Setelah tahun 1950, Otto direhabilitasi dan kembali berdinas di TNI hingga pangkat brigadir jenderal dan pernah jadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Tanzania. Otto cukup dekat dengan Herawati.


Paramitha yang pernah dekat dengan Tan Malaka itu aktif di Palang Merah Indonesia. Belakangan ia menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan Herawati, jurnalis perempuan terkemuka, belakangan menjadi pemimpin The Indonesian Observer, bersama suaminya, Baharudin Muhammad Diah, sehingga ia pun dikenal dengan Herawati Diah.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page