- Martin Sitompul

- 24 Sep
- 4 menit membaca
AKSI unjuk rasa yang berujung kerusuhan pada 15 Januari 1974 bikin Jakarta porak-poranda. Beberapa sudut kota dilalap api mengakibatkan kekacauan lalu lintas, kerusakan fasilitas, hingga penjarahan toko-toko. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama kerusuhan Malari (Malapetaka 15 Januari).
Sejumlah aktivis mahasiswa ditangkap karena dianggap sebagai dalang provokasi menentang investasi modal Jepang menjelang kedatangan PM Tanaka ke Jakarta. Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean, seperti diberitakan Indonesia Raya tanggal 16 Januari 1974, menyebut kerusuhan Malari sebagai peristiwa makar.
Sementara itu, Rektor UI Mahar Mardjono membantah pihak-pihak yang menafsirkan adanya andil mahasiswa UI dalam huru-hara tersebut. Menurutnya apa yang diperjuangkan mahasiswa UI adalah perjuangan murni yang senafas dengan aspirasi perjuangan mahasiswa era Angkatan 1966. Namun, pada kenyataannya, pihak berwajib mencokok aktivis mahasiswa UI yang dicurigai menyulut terjadinya Peristiwa Malari.
“Pada tanggal 16 Januari 1974, saya ditahan. Setelah itu, lama saya tidak bertemu dengan Ciil. Kami ditahan di tempat yang berbeda. Saya di Gang Buntu, sedangkan Ciil di Rumah Tahanan Militer di Jl. Budi Utomo. Kami kemudian bersama-sama terus di rumah tahanan politik Nirbaya dari Januari sampai 1976,” tutur Hariman Siregar, salah satu mahasiswa yang ditangkap, dalam testimoninya berjudul “Kawan 'Berseteru" yang termuat dalam kumpulan testimoni berjudul Ciil, disusun Rudy Badil dan Masmimar Mangiang.
Saat Malari, Hariman Siregar masih mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang menjabat ketua Dewan Mahasiswa UI. Sementara, Ciil yang dimaksud Hariman adalah Sjahrir, seniornya dari Fakultas Ekonomi. Ketika Malari, Sjahrir sudah lulus kuliah dan menjadi asisten dosen. Namun, dia tetap dikenal sebagai aktivis mahasiswa karena sebelumnya menjabat sebagai ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Jakarta dan sekjen Senat Mahasiwa FE UI. Selain Hariman dan Sjahrir, Muhammad Aini Chalid termasuk aktivis mahasiswa UGM yang ditahan di Nirbaya.
RTM Nirbaya berada di Pondok Gede, Jakarta Timur, berdekatan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tempat ini merupakan penjara kelas elite yang berfungsi sebagai rumah tahanan politik. Di luar kelompok aktivis mahasiswa, jurnalis Mochtar Lubis juga pernah mendekam di Nirbaya. Pemimpin Redaksi Indonesia Raya itu ditahan lantaran pemberitaan korannya yang kritis menyoal Peristiwa Malari. Sebelum para tahanan Malari, tahanan politik yang terindikasi Gerakan 30 September (G30S) 1965 sudah lebih dulu menghuni Nirbaya.
“Di sini saya berjumpa dengan Laksamana Udara Omar Dani, Jenderal Pranoto, Astrawinata (bekas Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukarno), Soemardjo (bekas Menteri P dan K), dan beberapa perwira tinggi lainnya. Saya juga jumpa Hariman Siregar yang ditahan dalam paviliun poliklinik sendirian. Saya dengar Soebandrio juga di sini,” kata Lubis dalam surat untuk keluarganya yang diterbitkan dalam memoar Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru.

Dalam perjumpaannya dengan Hariman di Nirbaya, Lubis mendapat keterangan bahwa mahasiswa tidak merencanakan untuk menentang pemerintahan Soeharto saat Peristiwa Malari. Sementara, kekerasan dan vandalisme yang terjadi bukan dilakukan oleh mahasiswa. Kata Hariman, dia dan kawan-kawannya telah berhasil mengenal mereka yang mengerahkan orang untuk merampok dan membakari toko dan mobil.
Meski tak cukup bukti sebagai penggerak kerusuhan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Hariman dengan hukuman 6,5 tahun penjara. Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Sjahrir. Namun, baik Hariman maupun Sjahrir kemudian mendapatkan potongan masa hukuman. Hariman bebas pada Agustus 1976 sedangkan Sjahrir keluar dari Nirbaya pada Desember 1977.
Menurut Hariman, hubungannya dengan Sjahrir kian akrab semenjak sama-sama dipenjara di Nirbaya. Hariman mengenang sosok Sjahrir yang pandai dan luwes bargaul dalam tahanan. Sjahrir bahkan berkawan karib tahanan G30S seperti Soebandrio.
“Ciil itu pendekatannya hebat. Dia dihargai oleh tahanan politik G-30-S,” kata Hariman. “Orang-orang komunis, mantan pejabat tinggi itu juga menjadi dekat dengan Ciil.”
Toeti Kakiailatu, jurnalis Majalah Tempo yang biasa meliput ke Nirbaya, juga memotret keberasamaan di antara para tahanan. Toeti bahkan pernah mengajak Sjahrir dan Soebandrio ke luar Nirbaya –dengan seizin komandan RTM– untuk makan sate. Selesai makan dan ngobrol-ngobrol sambal minum kopi tubruk, kedua tahanan itu dikembalikan ke Nirbaya.
Di Nirbaya pula, Sjahrir melamar Kartini Pandjaitan yang merupakan adik dari Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut Kartini, Sjahrir yang telah lama menaruh hati padanya menyatakan niatan untuk meminang ketika mereka lagi jalan-jalan berduaan di halaman penjara pada suatu sore di bulan September 1977. Niatan itu diterima Kartini asalkan Sjahrir menghadap ibunda Kartini dalam tenggat satu pekan. Syarat itu dipenuhi Sjahrir setelah memperoleh izin keluar dari sipir Nirbaya untuk melamar Kartini.
Belakangan, Kartini mengetahui bagaimana Sjahrir bisa begitu mudah keluar Nirbaya, karena Sjahrir sering mengajar pelajaran bahasa Inggris dan koperasi kepada anak-anak pengurus penjara. Sejak itu, Kartini semakin sering membesuk Sjahrir di Nirbaya.
Tentu banyak pengalaman dialami Sjahrir-Kartini sepanjang romansa cinta keduanya di perjode Nirbaya. Tak terkecuali pengalaman lucu.
“Setiap kali dia memeluk saya, badan saya kaku seperti patung Pak Tani, apalagi Pak Ban (Soebandrio) dan Oom Net (Omar Dani) yang sel penjaranya bersebelahan, suka banget ngintipin kalau aku jenguk Ciil,” kenang Kartini dalam bunga rampai Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya.
Sjahrir dan Kartini menikah pada 8 Desember 1977, atau dua pekan sebelum Sjahrir bebas dari Nirbaya. Setelah dinikahi Sjahrir, Kartini lebih dikenal sebagai Kartini Sjahrir. Begitu pula dengan Sjahrir yang resmi menjadi adik ipar Luhut Pandjaitan. Sjahrir kemudian kondang sebagai ekonom terkemuka. Ia juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang ekonomi era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.*













pandu Sjahrir yang jadi masuk di jajaran DANANTARA adalah putra beliau ya