- Petrik Matanasi
- 24 Sep
- 3 menit membaca
PADA awal abad ke-20, Pulau Tarakan mulai berkembang akibat industri minyaknya hingga melahirkan sebuah kota bernama Tarakan. Industri minyak di sana dijalankan oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).
Lantaran industri minyak itu, dalam Perang Dunia II Tarakan punya dua posisi penting. Selain karena cadangan minyaknya, letak Tarakan yang ada di sisi utara Selat Makassar membuatnya menjadi salah satu pintu masuk tentara Jepang ke Indonesia. militer Jepang bahkan sudah punya aset di Tarakan, namanya Kitamura. Ia masuk ke Hindia sebagai pengusaha Tionghoa dan bekerja sebagai pemborong bangunan.
“Ia membangun banyak bangunan pertahanan di Tarakan,” tulis Iwan Santosa dalam Tarakan: Pearl Harbor Indonesia, 1942-1945.
Posisi penting Tarakan itu tak “disadari” Belanda sehingga penjagaan Tarakan begitu lemah di tangan militer Belanda. Bahkan, posisi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) di Tarakan mudah terbaca bahkan sebelum tentara Jepang tiba di Tarakan.
Untuk mempertahankan Tarakan, KNIL menempatkan Letnan Kolonel (Letkol) Simon de Waal. Dia baru saja naik pangkat ketika itu. Dalam artikel "Tarakan Januari 1942 Een gevecht uit de vergeten oorlog" di Militaire Spectator Nomor 149-7, 1980, J.J. Nortier menyebut Letkol de Waal memimpin Batalyon Infanteri ke-7 KNIL. Namun, di dalam batalyon itu hanya ada tiga kompi (sekitar 300-an orang). Sementara, batalyon minus itu bersenjatakan beberapa baterai meriam artileri, juga sepeleton (30 orang) personel zeni.
De Waal kemudian mendapat tambahan pasukan lagi hingga diperkirakan dia memimpin 1000 serdadu. Namun, pasukan tambahan itu bukan satu batalyon tentara.
“Berani anak-anak?” tanya de Waal kepada bawahannya ketika tentara Jepang datang dengan kekuatan 20.000 personel, dikutip Het Dagblad tanggal 27 September 1947.
“Berani mati, Tuan Obrus (sebutan lain untuk letnan kolonel, red.),” jawab para prajurit.
Jelas saja jawaban itu hanyalah jawaban “hiburan”. Di bawah komando Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi, tentara Jepang yang masuk Tarakan terdiri dari beberapa batalyon asal Resimen Infanteri ke-146 Tentara ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan satu Batalyon Pasukan Pendarat Kure dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Jumlah mereka jauh lebih banyak, dengan rasio rasio 1:20.
Maka ketika pertempuran pecah di Tarakan pada malam 11-12 Januari 1942, pasukan de Waal tak mampu melawan. Satu-satunya cara KNIL untuk sedikit menghambat hanyalah membakari kilang-kilang minyak BPM supaya tak ada minyak untuk tentara Jepang.
Setelah kilang minyak dan instalasi-instalasi penting lain terbakar hebat, barulah de Waal menyerah kepada tentara Jepang. Dirinya kemudian dibawa ke Jawa, disatukan bersama tawanan perwira Belanda lain. Sebagaimana diberitakan De Locomotief tanggal 8 April 1948, Simon de Waal mengaku punya “perilaku buruk terhadap otoritas Jepang." Dia kemudian dideportasi ke Singapura, Formosa (Taiwan), dan melalui Jepang ke Manchuria. Di sana dia menjadi tawanan perang dan baru bebas setelah perang usai setelah Jepang menyerah kepada Sekutu di Mukden pada 17 Agustus 1945.
Setelah bebas, de Waal kembali bertugas. Pada 1 November 1945, dengan pangkat baru kolonel de Waal ditugaskan ke Malaka untuk membentuk Brigade Infanteri.
Mulai 19 Januari 1946, de Waal menjadi bawahan juniornya, Simon Hendrik Spoor, yang dipercaya menjadi panglima tentara Belanda di Indonesia. Pada Maret 1946, Kolonel De Waal dijadikan komandan Pasukan Jawa Barat, lalu pada 21 April 1946 memimpin Divisi ke-8 dan bulan Mei tahun itu juga pangkatnya naik menjadi Jenderal Mayor.
Kendati kekalahannya di Tarakan tetap diingat, banyak pihak memaklumi kekalahannya. Berdasarkan Koninklijk Besluit 27 Desember 1948 Nomor 19, de Waal mendapat bintang penghargaan Ridders Militaire Willemsorde kelas empat karena kepemimpinannya yang luar biasa di Tarakan dalam perlawanan penuh dan membumihanguskan sumur-sumur dan kilang-kilang minyak sehingga merugikan lawan.*












Komentar