top of page

Sejarah Indonesia

Balada Benny Dengan Baret Merahnya

Balada Benny dengan Baret Merahnya

Sangat bangga pada korps Baret Merah, Benny Moerdani justru "disakiti". Semua atribut Baret Merah yang dibanggakannya dia buang dan tak ingin memakainya lagi.

28 Agustus 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Panglima ABRI Jenderal TNI L.B. Moerdani dan Komandan Kopassus Sintong Panjaitan. (Repro Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando).

MARKAS komando Kopassus, Cijantung, 1985. Di ruang kerjanya, Komandan Kopassus Brigjen Sintong Panjaitan ditemani wakilnya Kolonel Kuntara berbincang santai dengan Panglima ABRI Jenderal TNI L.B. Moerdani, KSAD Jenderal TNI Try Sutrisno, dan Wakil KSAD Letjen TNI Edi Sudrajat. Mereka sedang menunggu tamu penting dari negeri seberang tiba.


Meski semua akan melakukan upacara resmi, suasana di ruang itu santai. Obrolan mengalir begitu saja. Di tengah perbincangan itu, Sintong berjalan ke mejanya. Ditariknya laci mejanya dan kemudian diambilnya sebuah baret merah dari dalamnya.


“Ini baret merah Bapak yang akan Bapak pakai dalam upacara nanti,” kata Sintong sambil memberikan baret itu kepada Moerdani, dikutip Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.


Sintong tak menduga niat baiknya itu justru membuat Benny, sapaan Moerdani, jadi kecewa. Setelah berdiri dan mencobanya, Benny lalu melepas baret itu dan melemparkannya. Baret merah itu pun jatuh ke lantai diikuti Benny yang kembali ke kursinya, duduk, dan tak mengucapkan sepatah katapun.


Suasana seketika berubah menjadi kaku. Upaya KSAD Try mencairkan suasana tak berhasil. Wajah Benny tetap beda dari sebelumnya. Maka ketika Sintong melihat Benny keluar dari toilet, dia segera menghampirinya karena merasa dikecewakan.


“Pak Benny tidak dapat dipisahkan dengan Korps Baret Merah. Jadi aneh kalau Bapak tidak berkenan memakai baret merah,” kata Sintong kepada Benny.


Alih-alih menjawab, Benny tetap diam. Benny tahu Sintong bermaksud baik. Namun, Benny yakin Sintong mungkin tak mengetahui alasan di balik penolakannya itu. Upaya Sintong telah memaksanya kembali merasakan luka lama yang terjadi pada awal 1965.


Sebelum hatinya terluka, Benny selalu bangga pada korps yang telah melambungkan namanya menjadi prajurit tempur itu. Di korps baret merah itulah cita-citanya menjadi tentara “sungguhan” setapak demi setapak dia wujudkan. Kerja keras dan dedikasinya di korps itu sampai mengantarkannya menggapai reputasi sebagai prajurit lapangan berprestasi. Puncaknya, dia dianugerahi Bintang Sakti oleh Presiden Sukarno karena keberhasilannya dalam Operasi Naga semasa Trikora.


Namun, usai berbulan madu pada awal Januari 1965, Benny mendapati semua “kemanisan” kariernya itu seketika berubah jadi pahit. Pemicunya adalah sikap Benny di dalam rapat internal RPKAD pada akhir 1964.


Dalam rapat yang dipimpin Komandan RPKAD Kolonel Moeng Parhadimuljo itu dibahas gagasan untuk mengeluarkan anggota RPKAD yang cacat tubuh. Salah satu yang mendapat pembahasan untuk dikeluarkan adalah anak buah Benny di Yon I RPKAD Kapten Agus Hernoto, yang kehilangan satu kakinya saat bertempur melawan Marinir Belanda sewaktu Trikora. Mendengar pembahasan itu, Benny tidak terima dan angkat suara.


“Pokoknya saya tegaskan, Agus jangan dipindah hanya karena kakinya tinggal satu. Dia korban pertempuran yang justru harus dijadikan teladan. Sebab dia tidak mau menyerah, meski sudah tertembak dan semua anak buahnya habis. Dia itu baret merah sejati. Dan jelas lebih pantas memakai baret merah daripada beberapa di antara kita, perwira yang nggak tahu apa-apa, langsung dari kesatuan lain dipindah ke RPKAD, lantas disuruh pakai baret merah,” kata Benny sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis.


Entah siapa yang menyampaikan hasil rapat internal itu kepada Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani, yang pasti Benny kemudian mendapat surat panggilan dari Menpangad.


“Saya menerima surat tanggal 4 Januari, esoknya harus datang menghadap Pak Yani di MBAD,” kata Benny dalam biografinya yang ditulis.


Begitu menghadap, Benny mendapati Yani terlihat marah, jauh dari biasanya ketika Benny bertemu Yani yang ramah dan ngemong. Suasana pertemuan empat mata itu begitu tegang. “Saya tahu perasaanmu sebagai perwira muda. Mungkin saya juga akan berbuat sama dalam keadaan seperti itu. Tetapi, perbuatanmu tersebut salah, ...tetap salah karena menilai pimpinan,” kata Yani terhadap Benny, dikutip Julius Pour.


Yani menumpahkan segala unek-uneknya dalam pertemuan itu. Puncaknya, Yani memberi perintah singkat, “Sudah, lapor ke Mas Harto sana!”


Perintah itu membuat Benny terperanjat. Lapor ke Mas Harto (Soeharto, pangkostrad) yang dimaksud Yani berarti perintah agar Benny meninggalkan korps baret merah untuk masuk ke Kostrad. Maka tanpa berlama-lama, Benny memberi hormat dan keluar.


Peristiwa itu begitu membekas di benak Benny. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Sakit hatinya makin bertambah ketika sesampainya di Cijantung dari MBAD, dia mendapati anak buahnya sedang latihan upacara untuk serah-terima jabatan (sertijab) Dan Yon I RPKAD (yang saat itu dijabat Benny) keesokan harinya.


Esoknya, 6 Januari 1965, upacara sertijab digelar. Benny resmi menyerahkan jabatannya ke Mayor Chalimi Iman Santosa. Usai upacara, Benny langsung pulang. Di rumah, dia menumpahkan semua kekesalannya dengan melepas semua atribut kesatuan komando dari baju-bajunya. Bersama baret merahnya, semua atribut itu langsung dimasukkannya ke plunge-zak dan dia kembalikan ke kesatuan.


“Peristiwa tersebut sangat membekas di hatinya. Perasaannya sangat kecewa, karena merasa diperlakukan tidak adil. Ingatannya masih sedih setiap kali mengenang suasana tersebut,” tulis Julius Pour.


Maka ketika pada 1985 Sintong memberikan baret merah kepada Benny agar dipakai, Benny marah karena kembali teringat masa dua dekade sebelumnya itu. Sikap Benny tak berubah sampai ketika sirene yang mengiringi kedatangan Yang Dipertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar, tamu dari seberang yang ditunggu mereka, terdengar di ruang kerja Sintong. Pun ketika turun ke bawah untuk menyambut tamu agung itu.


Namun begitu membuka pintu, Benny tiba-tiba berteriak memanggil ajudannya, Lettu Tono. “Ton! Mana baret merah itu tadi? Ambil dulu, nanti marah si Batak ini,” ujarnya, dikutip Hendro.


Pernyataan Benny langsung membuat Sintong mafhum. Dengan sigap dia berlari ke ruang kerjanya untuk mengambil baret yang tadi dibuang Benny. Benny pun mau kembali menggunakan baret merah setelah diberikan Sintong.


Usai upacara, Benny berkata pada Sintong. “Saya sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tidak akan memakai baret merah lagi, setelah mereka mengusir saya dari Cijantung. Tiga jam setelah saya menerima perintah keluar dari RPKAD, saya sudah meninggalkan Cijantung,” kata Benny.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
bottom of page